Bacaan Ringan "BABAD TANAH CIREBON - PART 9"
http://massandry.blogspot.com
Pupuh Keduapuluh Delapan
Pangkur, 11 bait. Adipati Terung—dengan menggenggam keris pusaka si Gagak—maju ke medan perang. Tak seorangpun tentara Bonang yang berani melawan Adipati Terung. Demikian pula Raden Patah, ia pun kalah dan terlempar ke Gunung Kumbang.
Pupuh Keduapuluh Sembilan
Dangdanggula, 17 bait. Raden Patah yang terlempar ke Gunung Kumbang bertapa disana tujuh bulan lamanya. Kemudian, ia mendapat petunjuk Tuhan bahwa untuk mengalahkan Adipati Terung ia harus berguru kepada Sunan Jatipurba di Cirebon sebagai Puseurbumi. Ia pun segera berangkat menuju ke sana. Di Losari, ia bertemu dengan seorang tua yang memberinya sebuah panah bernama si Hantu. Orang tua itu tidak lain adalah Sunan Jati. Dalam peperangan yang berlangsung kemudian, Raden Patah berhasil membunuh adiknya sendiri, Adipati Terung dengan panah Hantu.
Pupuh Ketigapuluh
Sinom, 22 bait. Meskipun panglima perangnya telah gugur, raja dan para pembesar Majapahit tetap tidak mau memeluk agama islam. Panembahan Paluamba membaca aji sikir yang berakibat raja serta para pembesar Majapahit menghilang ke dunia siluman, dan berkumpul di Tunjungbang.
Cerita kembali pada kisah para wali yang tengah berkumpul di Bonang mereka sepakat untuk menemui Syarif Hidayat di cirebon. Disana, Raden Patah diresmikan menjadi raja di Bintaro, dan dinikahkan dengan kemenakan sunan Jati yang berasa dari Mesir, Nyi Mas Ratu Pulunggana. Setelah pertemuan tersebut, para wali seluruhnya kembali ke Demak untuk merayakan penobatan dan pernikahan Raden Patah.
Sementara itu, durakhman yang telah menyelesaikan tapanya di Gunung Dieng langsung pergi ke Cirebon. Segala sesuatu yang diperolehnya di Dieng ia bawa. Setibanya di istana, ternyata baru saja para wali meninggalkan cirebon menuju Demak. Tetapi, baru saja ia beranjak pergi, terdengar suara mempersilahkan duduk yang keluar dari meja dan kursi, tanpa seorangpun. Tak lama kemudian, keluar teko serta cangkir mempersilahkan minum. Agak bingung juga Durakhman menyaksikan semua itu. Akhirnya, ia duduk saja menunggu disana selama sembilan malam.
Pupuh Ketigapuluh Satu
Asmaranda, 19 bait. Pupuh ini menceritakan pertemuan para wali di Cirebon. Ketika Sunan Gunung Jati baru kembali dari Mekah, ia membawa batu Mukadas dan peta kota Mekah untuk dijadikan contoh pembuatan masjid agung. Bersamaan dengan itu, para wali pun berdatangan ke Cirebon. Ketika melihat Syarif Hidayat, Pangeran Tuban bermaksud menyembahnya, tetapi Syarif Hidayat justru segera memeluk Durakhman. Pangeran tuban alias Durakhman, lalu menyerahkan Surat Kalimusada yang ternyata bunyinya sama dengan Kalimat Syahadat. Selain itu, diserahkan pula sebuah kitab kepada Sunan Jati yang di dalamnya tidak terlihat adanya tulisan, bahkan para wali pun tidak ada yang dapat melihat selain Pangeran Tuban. Kitab tersebut ternyata berisi ketentuan pangkat dan sebutan para wali.
Menurut kitab tersebut, Syarif Hidayat bergelar Kanjeng Sinuhun Cirebon; Syekh Giri Gajah bergelar Sultan Giri Gajah; Syekh Kamarullah bergelar Kanjeng Sunan Bonang; Ki Cakrabuana bergelar Sunan Jelang, Syekh Bentong bergelar Suhunan Bentong; Syekh Nusakambangan bergelar Sunan Kudus; Pangeran Kendal bergelar Pangeran Karangkendal atau Sunan Kedaton; Pangeran Panjunan bergelar Sunan Sasmita; Pangeran Kajoran bergelar Sunan Kejamus atau Pangeran Kejaksan; dan wali penutup Suhunan Kalijaga bergelar Suhunan Adi.
Pada kesempatan itu, para wali membuat singgasana kerajaan dan masing-masing mengeluarkan ilmunya berupa cahaya sehingga berpencaran sembilan macam cahaya yang memancar sampai ke gunung Dieng—mengingatkan pada janji Samiaji yang akan segera datang ke Cirebon bila ada sembilan cahaya bersinar. Ternyata, Samiaji tidak bersedia menerima sembah para wali. Tak lama kemudian, ia meninggal dan dikebumikan di Jatimulya.
Pupuh Ketigapuluh Dua
Sinom, 18 bait. Seorang murid syarif Hidayat bernama Ki Gedeng Palumbon sudah tiga tahun belajar agama islam, namun merasa bosan karena berulang kali ia hanya hanya disuruh menghafal kalimat syahadat. Akhirnya, ia mengundurkan diri karena kecewa terhadap pelajaran yang diterimanya. Ia pun kembali ke kampung halamannya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Ki Gedeng Kemuning yang hendak berguru kepada Sunan Jati. Ki Gedeng Palumbon berusaha mempengaruhi Ki Gedeng Kemuning karena menurutnya untuk apa berguru kepada Sunan Jati yang diajarkannya hanya syahadat, azan, komat, dan takbir. Akan tetapi, Ki Gedeng Kemuning tidak terpengarh oleh bujuk rayunya, dan ia tetap hendak berguru kepada Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, Ki Gedeng Kemuning bersama Ki Gedeng Pamijahan, Ki Jopak, Ki Kaliwedhi, Ki Gedeng Babadan, Ki Bungko, Ki Judi, Ki Gebang, Ki Gedeng Mundu, Kiyai Wanasaba, dan Ki Kalijati diajarkan berbagai macam ilmu, antara lain, syahadat, salat, zakat, puasa, dan berbagai jenis tarekat, seperti Satariyyah, Naksabandiyah, serta Muhammadiyah. Selesai berguru, Ki Gedeng pulang ke Kuningan, dan tak lama kemdian, ia meninggal.
Jenazah Ki gedeng Kemunig membengkak besar sekali. Kebetulan, Ki gedeng Palumbon juga melayat. Mayat yang membesar itu, menurut Ki Gedeng Palumbon, disebabkan oleh ilmu yang diajarkan Sunan Jati. Bersamaan dengan itu, datanglah seorang murid Sunan Jati yang berasal dari Gebang bernama Kamil. Kedatangannya berniat memandikan mayat. Mula-mula, mayat Ki Gedeng Kemuning menjadi semakin besar dan mengeluarkan bau busuk. Lalu, mengecil dan berganti menyebarkan bau harum. Melihat keadaan itu, Ki Gedeng Palumbon terkejut dan kagum. Ia pun kembali ke Cirebon dan ingin berguru lagi kepada Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, ia disuruh bertapa di Gunung Cigugur.