Sunday, May 8, 2016

Tokoh Terkenal "ELIAS DANIEL MOGOT AKA DAAN MOGOT - PAHLAWAN MUDA DARI MANADO - PART 4"

http://massandry.blogspot.com
Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Indonesia kemudian mengangkat Daan Mogot sebagai pahlawan nasional. Namanya juga diabadikan menjadi nama Jalan yang menghubungkan Jakarta dengan Tangerang. Jalan Ini memiliki sahabat setia yaitu Kali Mookervaat.

Daan Mogot tutup usia pada tanggal 25 Januari tahun 1946. Hanya sempat merasakan sebulan hidup di usia 17 tahun atau dikenal sebagai saat sweet seventeen saat ini. Mungkin bagi anak muda akan diperingati sebagai masa yang indah, namun bagi Hadjari Singgih, pacar Mayor Daan Mogot, adalah sebuah pengorbanan yang sangat berarti bagi negeri ini. Kado yang terindah darinya adalah dengan memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot.

Kini di antara kemewahan kawasan Serpong, Tangerang Selatan, “terselip” sebuah sejarah bernilai tinggi bagi Republik Indonesia. Sebuah rumah tua, bekas markas serdadu Jepang di Desa Lengkong, menjadi saksi “Pertempuran Lengkong.” Di sebelah kanan rumah itu berdiri sebuah monument yang dibangun sejak tahun 1993. Terukir sejumlah nama taruna dan perwira yang gugur dalam peristiwa heroik yang itu. Namun yang patut disayangkan adanya perbedaan antara museum Lengkong dengan obyek-obyek sejarah lainnya di Tanah Air ini.

Markas tentara Jepang di Desa Lengkong
Museum dan Monumen Lengkong bukanlah salah satu sarana obyek wisata yang bisa dikunjungi oleh masyarakat luas. Pemanfaatannya hingga saat ini hanya sekedar tempat peringatan peristiwa pertempuran. Sehingga banyak dari masyarakat sekitar yang tidak tahu akan keberadaan bangunan historis tersebut. Apalagi seharusnya di museum terpampang foto-foto perjuangan para taruna militer di Indonesia beserta akademinya, namun sayang sekali foto-foto bersejarah tersebut kini berada di Akademi Militer Tangerang dan akan dipasang kembali tiap tanggal 25 Januari dalam upacara peringatan peristiwa Pertempuran Lengkong.

Kisah kepahlawanan Daan Mogot menjadi tamparan bagi kita, saat usia muda ia telah berbakti untuk negerinya. Seharusnya kita terus kabarkan, agar para pemuda tahu bahwa sejarah negeri ini bermula dari kaum pemuda. Agar para orang pemimpin negeri ini tak memandang remeh pada jeritan kaum muda. Simak dan renungkan, apa yang terukir di pintu gerbang Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang.

Tokoh Terkenal "ELIAS DANIEL MOGOT AKA DAAN MOGOT - PAHLAWAN MUDA DARI MANADO - PART 3"

http://massandry.blogspot.com
Namun entah mengapa, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan yang tidak diketahui dari mana asalnya. Disusul tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Tentara Jepang yang berbaris di lapangan ikut pula memberikan perlawanan dengan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk milik TKR.

Terjadilah pertempuran yang tak seimbang, apalagi pengalaman tempur dan persenjataan para Taruna tak sebanding dsengan pihak Jepang. Taruna MAT menjadi sasaran empuk, diterjang oleh senapan mesin, lemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.

Ketika mendengar pecahnya pertempuran, Mayor Daan Mogot segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Mayor Daan Mogot bersama beberapa pasukannya menyingkir meninggalkan asrama tentara Jepang, memasuki hutan karet yang dikenal sebagai hutan Lengkong.

Namun Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran ini tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan persenjataan dan persediaan peluru yang amat terbatas.

Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.

Monumen Lengkong
Dari pertempuran di hutan Lengkong, 33 taruna dan 3 perwira gugur serta 10 taruna luka berat. Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, hanya 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.

Pasukan Jepang selanjutnya bertindak penuh kebuasan. Mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup (walau mereka dalam keadaan terluka) dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya.

Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agoes Salim yang puteranya bernama Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut beserta para anggota keluarga taruna yang gugur. Dan bagi R.Margono Djojohadikusumo, pendiri BNI 1946, ia kehilangan dua putra terbaiknya yaitu Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Taruna R.M. Soejono Djojohadikoesoemo (keduanya paman dari Prabowo Subianto).

Tokoh Terkenal "ELIAS DANIEL MOGOT AKA DAAN MOGOT - PAHLAWAN MUDA DARI MANADO - PART 2"

http://massandry.blogspot.com
Hutan Lengkong – Serpong Tangerang
Pada tanggal 30 November 1945 dilakukan perundingan antara Indonesia dengan delegasi Sekutu. Indonesia diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri Agoes Salim yang didampingi oleh dua dua perwira TKR yaitu Mayor Wibowo dan Mayor Oetarjo. Sedangkan pihak Sekutu (Inggris), Brigadir ICA Lauder didampingi oleh Letkol Vanderpost (Afrika Selatan) dan Mayor West.

Pertemuan yang merupakan Meeting of Minds, menghasilkan ketetapan tentang pengambil-alihan primary objectives tentara Sekutu oleh TKR yang meliputi perlucutan senjata dan pemulangan 35 ribu tentara Jepang yang masih di Indonesia, pembebasan dan pemulangan Allied Prisoners of War and Internees (APWI) yang kebanyakan terdiri dari lelaki tua, wanita, dan anak-anak berkebangsaan Belanda dan Inggris sebanyak 36 ribu.

Berdasarkan kesepakatan 30 November 1945, tentara Sekutu tidak lagi memiliki alasan untuk memasuki wilayah kekuasaan Indonesia maupun menggunakan tentara Jepang untuk memerangi Indonesia dengan dalih mempertahankan status quo pra- Proklamasi. Perintah itu disampaikan oleh pihak Sekutu kepada Panglima Tentara Jepang Letjen Nagano.

Sekitar tanggal 5 Desember 1945 ditegaskan oleh Kolonel Yashimoto dari pimpinan tentara Jepang kepada pimpinan Kantor Penghubung TKR di Jakarta cq Mayor Oetarjo bahwa para komandan tentara Jepang setempat sesuai dengan keputusan pimpinan tentara Sekutu, telah diperintahkan tunduk kepada para komandan TKR setempat yang bertanggung jawab atas pemulangan mereka.

Namun pada tanggal 24 Januari 1946, Daan Mogot mendengar pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung. Dan bisa dipastikan mereka akan melakukan gerakan merebut senjata tentara Jepang di depot Lengkong.

Ini sangat berbahaya karena akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang. Untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang jatuh ke tangan sekutu, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna Militer Akademi Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha pada tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00. Ikut pula bersamanya beberapa orang perwira seperti Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo.

Dengan mengendarai tiga truk dan satu jip militer hasil rampasan dari Inggris, para prajurit berangkat dan sampai di markas Jepang Lengkong pukul 16.00 WIB. Di depan pintu gerbang, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dengan Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan taruna Alex Sajoeti (fasih bahasa Jepang) berjalan di depan. Pasukan taruna diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.

Kapten Abe, dari pihak Jepang, menerima ketiganya di dalam markas. Mendengar penjelasan maksud kedatangan mereka, Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta. Ia beralasan bahwa ia belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Saat perundingan berjalan, ternyata Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. 40 orang Jepang telah terkumpulkan di lapangan.

Tokoh Terkenal "ELIAS DANIEL MOGOT AKA DAAN MOGOT - PAHLAWAN MUDA DARI MANADO - PART 1"

http://massandry.blogspot.com
Penduduk Jakarta pasti sudah pernah mendengar nama sebuah jalan bernama Daan Mogot. Jalan yang terbentang dari perempatan Grogol hingga Tangerang. Tapi apakah banyak yang sadar bahwa nama jalan Daan Mogot itu berasal dari sebuah nama seorang pemuda?

Pemuda belia itu bernama Elias Daniel Mogot. Daan Mogot adalah nama populer Elias Daniel Mogot. Pemuda ini cukup mengagumkan. Bayangkan ketika anak-anak saat ini yang berumur 14 tahun masih doyan main playstation ataupun ber-FB ria, ternyata saat umur 14 tahun Daan Mogot sudah ikut berperang.

Pemuda kelahiran Manado, 28 Desember 1928, ini dibawa oleh orang tuanya ke Batavia (Jakarta) saat berumur 11 tahun. Daan Mogot adalah anak dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta) dan Irjen. Pol. A. Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulut). Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota VOLKSRAAD (Dewan Rakyat masa Hindia-Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang.

Di umur 14 tahun (tahun 1942) Daan Mogot masuk PETA (Pembela Tanah Air) yaitu organisasi militer pribumi bentukan Jepang di Jawa, walaupaun sebenarnya ia tak memenuhi syarat karena usianya belum genap 18 tahun. Oleh prestasinya yang luar biasa ia diangkat menjadi pelatih PETA di Bali. Kemudian dipindahkan ke Batavia.

Saat kejatuhan Jepang dan selepas Proklamasi 1945, Daan Mogot bergabung dengan pemuda lainnya mempertahankan kemerdekaan dan menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat Mayor. Uniknya saat itu Daan Mogot baru berusia 16 tahun namun sudah berpangkat Mayor.

Malang tak dapat ditolak, saat ia berjuang membela negeri ini, ayahnya tewas dibunuh oleh para perampok yang menganggap “orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda. Kesedihannya itu ia sampaikan pada sepupunya Alex Kawilarang.

“Banyak benar anarki terjadi di sini,” kata Alex Kawilarang.

“Memang, itu yang mesti torang bereskan. Oleh karena itu, senjata harus berada di torang pe tangan” kata Daan Mogot. “Torang, orang Manado, jangan berbuat yang bukan-bukan. Awas, hati-hati! Torang musti benar-benar menunjukkan, di pihak mana kita berada.”

Daan Mogot berkeinginan mencurahkan pengetahuannya, apa yang dulu didapatkannya saat masih dibawah PETA. Ia ingin mendidik para pemuda yang mau menjadi tentara. Dan keinginan besarnya itu akhirnya terwujud dengan berdirinya Akademi Milter di Tangerang 18 November 1945 bersama Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin. Dan Daan Mogot diangkat menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) saat ia berusia 17 tahun dengan calon Taruna pertama yang dilatih berjumlah ada 180 orang.

Bacaan Ringan "TRADISI NYEKEP - LAMBANG KEJANTANAN PRIA MADURA - PART 3"

http://massandry.blogspot.com
Pada umumnya, sekep diperoleh dari turun temurun nenek moyang mereka merupakan benda (harta) sangkol (waris) yang tidak dapat dipindah tangankan kepada orang lain. Baik sebagai wujud pemberian maupun penjualan. Bila hal ini dilangkahi, sebagaimana keyakinan mereka maka akan berakibat buruk bagi pemiliknya.

Fungsi lain, sekep dapat memberikan kekebalan bagi si pemakai. Sekep semacam ini biasanya banyak digunakan orang-orang Madura ketika berhadapan dengan musuh pada jaman pra kemerdekaan. Sekep semcam ini, biasanya banyak diperoleh dari seorang kyai sebagai senjata terselubung antara lain disebut ” jasa’ “. Pada jaman Hisbullah dan terakhir saat terjadi pemberontakan G 30 S PKI, banyak orang Madura menggunakan ” jasa’ “. Jadi apabila seseorang telah di-jasa’, maka mereka akan bebas menyerang musuh meski dengan menggunakan senjata apapun.

Pada tahun terakhir ini, sekep banyak dicari orang karena sekep yang ampuh tentu memiliki nilai tinggi, dan mereka berani membeli dengan harga jutaan rupiah, khususnya bagi orang-orang yang gemar menyimpan senjata tajam. Puluhan tahun yang silam, memang tidak begitu sulit untuk mendapatkannya, karena sementara orang masih ada yang “nglakoni” untuk mendapat wangsit dalam bentuk sekep yang benar-benar mapan dan ampuh. Namun, mungkin kesadaran masyarakat semakin tinggi, atau sesepuh-sesepuh pengolah sekep semakin berkurang, maka sekarang jarang ditemui di Pulau Madura.

Cara memperoleh sekep ada beberapa cara. Ada yang secara langsung memesan kepada empu (pande) bila dalam bentuk senjata, ada pula yang secara langsung “nyepi” dan bersemedi ditempat (kuburan) leluhur yang dianggap keramat. Cara pertama, memang lebih gampang, yaitu setelah benda yang dipesan jadi, maka untuk selanjutnya diisi (jasa’) yaitu diisi kekuatan magis yang hanya orang-orang tertentu bisa melakukannya. Untuk yang satu ini, saratnya harus memiliki kekuatan yang sama. Artinya disamping sekep sebagai pendamping hidupnya kelak, sang pemilik harus membekali “ilmu” yang melebihi dari sekep itu sendiri. Sebab apabila lebih kuat sekepnya, maka tak heran akan berakibat fatal bagi pemiliknya bahkan mungkin berpengaruh besar terhadap ketenangan dan ketentraman kehidupan rumah tangganya. Yaitu besar kemungkinan akan selalu ditimpa musibah, penyakit yang tidak mungkin disembuhkan melalui medis atau mungkin selama memiliki sekep itu selalu dililiti kekurangan dalam penghidupan sehari-hari, bahkan harta bendanya bisa ludes karena sekep itu. Hal yang demikian, orang Madura menyebut “karas” atau “taras”.

Mungkin begitulah mengapa hingga kini kalangan orang Madura tradisional tidak lepas dari sekep, yang menjadi lambang kejantanan

Bacaan Ringan "TRADISI NYEKEP - LAMBANG KEJANTANAN PRIA MADURA - PART 2"

http://massandry.blogspot.com
Senjata tajam sebangsa celurit sebenarnya terdiri banyak jenis dan bentuknya, antara lain are’ lancor, takabuwan, bulu ajem, bulu pete’, daun perrengan, karangkengan dan sejenisnya. Sedang bentuk senjata tajam konvensional lainnya, juga banyak macamnya, yakni ; taji, gobang, cakkong, bireng, pangabisan, todi’, golok, tombag, dan lainnya sesuai dengan fungsi dan keperluannya.

Sekep bukan hanya dalam wujud benda saja. Justru dibalik benda yang disekep itu, tersimpan suatu kekuatan yang mungkin tak terduga sebelumnya, yaitu bila saat digunakan (katakanlah untuk membunuh orang) mempunyai akibat yang lebih fatal bagi korbannya. Sebab benda (tajam) tersebut telah “diisi” suatu kekuatan yang melebihi senjata tajam yang disekep.

Di lain hal, sekep-sekep tertentu mempunyai fungsi lain, yaitu sebagai alat penangkal bila berhadapan dengan lawan (musuh). Sekep semacam itu, merupakan senjata yang cukup ampuh untuk menipu lawan. Sebab lawan yang dihadapi tidak tampak pada dirinya, sedang yang ber-sikep akan lebih leluasa melakukan serangan. Hal ini tentu berlaku bagi lawan yang “kosong” tenaga dan ilmunya.

Ada juga jenis sekep yang cukup diletakkan dibagian pintu rumah. Sekep ini berfungsi untuk menghalangi bila suatu saat ada orang yang bermaksud jahat, misalnya pencuri. Apabila sebuah rumah telah dilengkapi dengan sekep semacam ini, maka rumah itu akan selalu aman dari tangan-tangan jahil. Karena siapa yang bermaksud jahat memasuki rumah itu, seakan mereka dihadapkan oleh berbagai keganjilan.

Peristiwa semacam ini pernah terjadi di sebuah desa, di kecamatan Dungkek Sumenep. Seorang pencuri berhasil masuk dan menggaet perabot rumah tangga. Namun beberapa saat kemudian terdengar suara ombak yang mendebur diluar rumah. Mendengar suara itu tentu sang pencuri kalang kabut, maka secepat kilat ia keluar rumah. Namun apa yang terjadi, ternyata disekitar rumah itu telah berubah menjadi laut yang menggenangi disekitar rumah. Melihat kenyataan itu, sang pencuri tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuggu air surut. Hingga pagi hari, ia baru tersadar bahwa ia telah terjebak oleh tipuan kekuatan magis yang dipasang pemilik rumah. Dan akibatnya, masyarakat setempat tidak sulit menagkap pencuri tersebut lengkap dengan bukti barang curiannya.

Dan banyak lagi tipuan-tipuan fatamorgana semacam ini dengan berbagai macam bentuk dan akibatnya, bahkan menurut cerita jebakan-jebakan semacam itu seakan pencuri terdampar ditengah hutan belantara lengkap dengan binatang buasnya

Bacaan Ringan "TRADISI NYEKEP - LAMBANG KEJANTANAN PRIA MADURA - PART 1"

http://massandry.blogspot.com
Salah satu kebanggaan yang kerap menjadi teman hidup bagi orang Madura ialah “sekep”. Sekep dalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya.

Senjata yang disekep, ada beberapa macam bentuk, biasanya bentuk senjata tajam yang mudah diselipkan dipinggang. Baik berupa pisau, clurit, golok, keris dan atau sejenisnya. Maka tak heran bila suatu ketika berpapasan dengan seseorang Madura, khususnya orang-orang Madura yang hidup di pedesaan, akan tampak tonjolan kecil dibalik baju bagian pinggang.

Pada dasarnya orang yang bersekep atau “nyekep”, hanyalah semata-mata menjaga kemungkinan untuk lebih waspada bila suatu ketika harus berhadapan dengan lawan maupun pada saat suasana genting menghadapi ancaman disekitarnya.

Dan sekep itu sendiri pada umumnya dimiliki oleh kaum pria. Tapi tidak menutup kemungkinan, kaum wanitapun tak lepas dari yang namanya sekep itu. Cuma bedanya, sekep bagi kaum wanita Madura kerap disebut “patterm”, yaitu berupa konde yang diisi racun yang disusukkan disanggul. Fungsinyapun sama, sebagaimana yang digunakan oleh kaum laki-laki, yaitu untuk menjagadiri bila suatu ketika diserang oleh lawan atau penjahat yang mengganggunya. Atau juga untuk berjaga-jaga dirumah bila suatu ketika sang suami harus berlama-lama meninggalkan rumah.

Sebagaimana dimaklumi, bahwa suatu bentuk kebiasaan para orang Madura lama, wanita merupakan bagian yang sangat penting bagi kaum pria. Maksud disini, kaum wanita merupakan lambing kehormatan dan prestise bagi kaum pria. Maka tak heran, bila akhirnya sampai terjadi keributan pada awalnya kebanyakan ditimbulkan oleh masalah wanita.

Terlepas dari fungsi senjata tajam bagi orang Madura yang tradisional dijadikan alat pengaman bagi dirinya, juga mempunyai nilai tradisi turun temurun, bahwa lambing kejantanan bagi orang Madura terletak bagaimana kemantapan dan ketegaran dirinya tatkala mereka bersekep dipinggangnya. Untuk itu dalam masyarakat Madura lalu timbul pemeo, bila seorang laki-laki tidak “nyekep”, tak lebih dari seorang banci.

Namun kenyataan yang terjadi pada peristiwa-peristiwa pembunuhan, senjata yang banyak bicara ternyata senjata tajam yang berbentuk celurit (Caloret, Mdr), yang kerap dijadikan identitas senjata tajam orang Madura.

Celurit sebenarnya tak lebih dari “are’(arit)”, mungkin karena bentuknya lebih besar dan lekukan panjang, maka celurit sangat beda bila dibandingkan dengan senjata tajam lainnya. Sedang are’ yang memiliki bentuk hamper sama dengan celurit, kerap digunakan sebagai penyabit rumput atau kebutuhan lainnya yang sifatnya sebagai alat pemangkas.

Tokoh Terkenal "SAKERA - PEJUANG BURUH ASLI TANAH MADURA - PART 3 VERSI LAIN"

http://massandry.blogspot.com
Sakera adalah seorang tokoh pejuang yang lahir di kelurahan Raci Kota Bangil, Pasuruan, Jatim, Indonesia. Ia berjuang melawan penjajahan Belanda pada awal abad ke-19. Sakera sadalah seorang jagoan daerah yang melawan penjajah Belanda di perkebunan tebu Kancil Mas Bangil. Legenda jagoan berdarah Bangil ini sangat populer di Jawa Timur utamanya di Pasuruan dan Madura.

Sakera bernama asli Sadiman yang bekerja sebagai mandor di perkebunan tebu milik pabrik gula kancil Mas Bangil. Ia dikenal sebagai seorang mandor yang baik hati dan sangat memperhatikan kesejahteraan para pekerja hingga dijuluki Pak Sakera (dalam bahasa kawi sakera memiliki arti ringan tangan, akrab/mempunyai banyak teman).

Suatu saat setelah musim giling selesai, pabrik gula tersebut membutuhkan banyak lahan baru untuk menanam tebu. Karena kepentingan itu orang Belanda pimpinan ambisius perusahaan ini ingin membeli lahan perkebunan yang seluas-luas dengan harga semurah-murahnya.dengan cara yang licik orang belanda itu menyuruh carik Rembang untuk bisa menyediakan lahan baru bagi perusahaan dalam jangka waktu singkat dan murah, dan dengan iming-iming harta dan kekayaan hingga carik Rembang bersedia memenuhi keinginan tersebut. Carik Rembang menggunakan cara-cara kekerasan kepada rakyat dalam mengupayakan tanah untuk perusahaan.

Sakera melihat ketidak adilan ini mencoba selalu membela rakyat dan berkali kali upaya carik Rembang gagal. Carik Rembang melaporkan hal ini kepada pemimpin perusahaan. Pemimpin perusahaan marah dan mengutus wakilnya Markus untuk membunuh Sakera. Suatu hari di perkebunan pekerja sedang istirahat, Markus marah-marah dan menghukum para pekerja serta menantang Sakera. Sakera yang dilapori hal ini marah dan membunuh Markus serta pengawalnya di kebon tebu. Sejak saat itu Sakera menjadi buronan polisi pemerintah Hindia Belanda. Suatu saat ketika Sakera berkunjung ke rumah ibunya, disana ia dikeroyok oleh carik Rembang dan polisi Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh maka Sakera ahirnya menyerah, Sakera pun masuk penjara Bangil.

Siksaan demi siksaan dilakukan polisi belanda kepada sakera setiap hari. selama dipenjara Pak Sakera selalu kangen dengan keluarga dirumahnya, Sakera memiliki istri yang sangat cantik bernama Marlena dan seorang keponakan bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera yang berjiwa besar, Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi dan sembunyi-sembunyi mengincar Marlena istri Sakera. Berkali kali Brodin berusaha untuk mendekati Marlena. Sementara Sakera ada dipenjara, Brodin berhasil berselingkuh dengan Marlena.

Ketika kabar itu sampai di telinga Sakera maka Sakera marah dan kabur dari penjara. Brodin pun tewas dibunuh Sakera. Kemudian Pak Sakera melakukan balas dendam secara berturut turut, dimulai Carik Rembang dibunuh, dilanjutkan dengan menghabisi para petinggi perkebunan yang memeras rakyat. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tanganya dengan senjata khasnya ‘Clurit’ ketika mencoba menangkap Sakera. Dengan cara yang licik pula polisi belanda mendatangi teman seperguruan sakera yang bernama Aziz untuk mencari kelemahan Pak Sakera. Dengan iming-iming akan diberi imbalan kekayaan oleh Goverment Belanda di Bangil Aziz menjebak Sakera dengan mengadakan tayuban, karena tahu Sakera paling senang acara tayuban akhirnya Sakera pun terjebak dan dilumpuhkan ilmunya degan pukulan bambu apus. Lagi-lagi belanda berhasil mertangkap kembali Pak Sakera yang kemudian diadili oleh Government Bangil dan diputuskan untuk dihukum gantung.

Sakera gugur digantung di penjara Bangil dan Ia dimakamkan di Bekacak, Kelurahan Kolursari (daerah paling selatan Kota Bangil)

Tokoh Terkenal "SAKERA - PEJUANG BURUH ASLI TANAH MADURA - PART 2"

http://massandry.blogspot.com
Peristiwa tersebut akhirnya menjadi buah bibir baik di kalangan pekerja perkebunan, masyarakat maupun Belanda. Bagi Sakera, penjara merupakan resiko yang harus diterima dalam memperjuangkan pekerja perkebunan tebu yang tertindas. Para pekerja perkebunan tebu sangat senang dan bersuka cita dengan meninggalnya pegawai Belanda yang keji itu. Sejak saat itu, Sakera dikenal sebagai pahlawan yang berani oleh seluruh pekerja perkebunan dan masyarakat. Dalam menjalani hukuman penjara pun, Sakera selalu menjadi panutan yang paling di segani baik oleh narapidana maupun petugas penjara.

Semasa menjalani hukuman penjara, Sakera menitipkan Marlena istrinya kepada Brodin untuk dijaga. Karena Brodin sahabat Sakera, Brodin melaksanakan amanah yang diberikan sahabatnya. Lanjut cerita karena lamanya masa pidana Sakera, Brodin menaruh hati pada kecantikan Marlena. Dengan berbagai cara Brodin akhirnya berhasil memperistri Marlena tanpa sepengetahuan Sakera. 

Di dalam penjara, Sakera banyak mendapatkan laporan dan berita jika Brodin telah memperistri Marlena. Mengetahui hal itu Sakera marah dan berhasil kabur dari penjara. Ia kemudian mencari Brodin untuk membuat perhitungan dengannya. Mendengar hal tersebut Brodin takut bertemu Sakera dan bersembunyi, karena terlanjur cintanya kepada Marlena, Brodin berkeinginan untuk membunuh Sakera. Brodin menyusun siasat dengan bekerjasama dengan Belanda. Brodin memfitnah Sakera jika sekarang ini Sakera sangat membahayakan Belanda. 

Belanda sendiri takut dengan keberanian Sakera yang menjadi pejuang dan di elu-elukan masyarakat. Siasat kemudian disusun, bagaimana cara membunuh Sakera yaitu dengan mengadakan tayuban. Dengan tontonan tayuban diyakini Sakera bakalan muncul dan tampil. Akhirnya Sakera muncul dan oleh cecunguk Brodin, Sakera dijamu diajak naik ke pentas yang di sana sudah disiapkan jebakan agar Sakera bisa terperosok masuk lubang. Naiklah Sakera ke atas panggung dengan mengikuti musik dan tarian sehingga tidak menyadari dirinya jatuh terperosok dalam lubang jebakan. Saat itulah Sakera dihujani batu-batu besar yang telah dipersiapkanoleh cecunguk Brodin.

Di akhir riwayatnya, Sakera meninggal atau tidak meninggal itupun masyarakat banyak yang tidak berani memastikan. Karena Sakera itu terkenal sakti dan sulit untuk dibunuh. Sakera oleh masyarakat Bangil dan sekitarnya sangat dikenang berkat kegigihan dan perjuangannya membela kaum tertindas,tidak pernah pamrih, adil dan sangat berani dalam mengambil keputusan. Akhir cerita sampai saat ini makam Sakera ada dua versi yakni di Tampong Rembang dan di Bekacak Kolursari Bangil. 

Tokoh Terkenal "SAKERA - PEJUANG BURUH ASLI TANAH MADURA - PART 1"

http://massandry.blogspot.com
Sakera, yang lahir dan hidup pada masa penjajahan Belanda ini adalah seorang keturunan Madura. Dia kemudian mengadu nasib ke tanah Jawa dan sampailah pada wilayah Rembang – Pasuruan. Di tempat inilah dia merasa cocok dan nyaman karena daerahnya sangat hijau dan subur, selain itu juga karena mayoritas penduduknya berasal dari Madura. Sakera kemudian bekerja di sebuah perkebunan tebu milik Belanda sebagai mandor. 

Pekerjaannya adalah mengawasi pengairan lahan perkebunan tebu di wilayah Rembang, Sukorejo, Kraton, Warungdowo, Wonorejo, Pasrepan, Raci, Bangil, Beji sampai dengan perbatasan Sidoarjo. Pekerja perkebunan tebu sangat menghormati dan menyegani Sakera karena sifatnya yang bijak dan adil tanpa membedakan siapapun, termasuk ketika menyelesaikan kasus antar pengguna air, Sakera bersikap bijak dan berani. Sakera sendiri sangat terkenal dengan perwatakannya yang kaku dan tidak bisa diajak kompromi. 

Dalam bekerja, dirinya dikenal sangat ramah dan memilikisopan santun kepada seluruh pekerja perkebunan tebu. Karenanya jika ada permasalahan, para pekerja selalu meminta bantuan kepada Sakera. Semasahidupnya, Sakera dikenal sebagai figuryang menjadi tokoh panutan masyarakat.

Dalam perjalanan perantauannya, Sakera memiliki sahabat bernama Brodin. Kemana saja Sakera pergi, dia selalu bersama dengan Brodin. Brodin sendiri adalah sahabat yang patuh dan setia kepada Sakera, apa yang ditugaskan kepadanya selalu dilaksanakan dengan baik. Brodin pun bangga dengan posisinya sebagai sahabat Sakera. Dalam perantauannya ini pula Sakera menemukan sang pujaan hati, adalah Marlena seorang gadis cantik nan rupawan yang berhasil dipersuntingnya menjadi istrinya.

Pihak Belanda telah menerapkan aturan dalam pengelolaan perkebunan tebu yang wajib dipatuhi oleh seluruh pekerja, mereka dibagi tugas sesuai dengan jabatannya masing-masing dan semuanya berjalan dengan baik. Masalah terjadi ketika ada seorang pegawai melakukan pemotongan gaji terhadap pekerja perkebunan. Dia adalah orang kepercayaan Belanda yang berwatak bengis, kejam dan melakukan tindakan sewenang-wenang. Peristiwa ini akhirnya didengar oleh Sakera, ia mendapat banyak laporan dari para pekerja perkebunan yang pada intinya mereka tertindas dan disengsarakan. Akhirnya Sakera mendatangi sang pegawai untuk menagih sisa gaji para pekerja, tapi sang pegawai menolak bahkan dengan marah ia menodongkan pistol ke arah Sakera. Karena khawatir dengan keselamatannya, Sakera mengeluarkan celurit dan langsung menggorok leher dan badan pegawai itu hinggameninggal.Karena peristiwa inilah akhirnya Sakera ditangkap dan dijebloskan kepenjara.

Tuesday, May 3, 2016

Bacaan Ringan "BENANG MERAH CAROK DAN CELURIT PADA MASYARAKAT MADURA - PART 6"

http://massandry.blogspot.com
Sistim Pertarungan Ala Carok Madura
Bicara sistim pertarungan ala carok Madura dibutuhkan satu penelitian yang cukup panjang dan melelahkan. Tak hanya penggalian data dari nara sumber yang pernah terlibat langsung, namun juga harus menggali secara langsung kejadian-kejadian di TKP. Sepanjang penelitian yang dilakukan oleh lembaga CV, sistim pertarungan ala carok dewasa ini adalah sebagai berikut :

Mereka akan melakukan satu permainan keroyokan 1:3 atau lebih.

Mereka akan memancing lawannya dengan tusukan pisau cap garpu dari depan. Kadang sengaja untuk ditangkap namun kemudian diperkuat agar saling dorong hingga lawan lengah kadang pula memang ditusukkan secara sungguh-sungguh

Sementara dari belakang bersiap yang lainnya untuk melakukan bacokan mematikan dengan clurit atau calok.

Mereka juga mempersiapkan dan melengkapi dengan berbagai ritual dan azimat dari para kyai.

Yang paling sering adalah bacokan langsung dari belakang kepada lawannya yang sedang lengah.

Nyaris dan sangat jarang terjadi pertarungan carok sistim duel satu lawan satu.

Oleh:
Mas Mochamad Amien: Pengasuh Pencak Silat Madura | CHAKRA-V MMA STYLE sekaligus pemerhati Budaya Madura, Ilustrasi by: gilasih.blogspot.com

Bacaan Ringan "BENANG MERAH CAROK DAN CELURIT PADA MASYARAKAT MADURA - PART 5"

http://massandry.blogspot.com
Oto’-Oto’ Sarana Mencari Saudara yang Mimbingungkan
Tingkat pendidikan masyarakat Madura memang dipandang sebagai pemicu utama munculnya Carok yang tidak berkesudahan. Hal ini terbukti di daerah Sumenep. Nyaris masyarakat Madura di daerah ini yang merupakan pusat keraton Sumenep pada masa kerajaan Pajajaran, Tumapel hingga Majapahit tidak terdengar soal perselisihan yang mengakibatkan carok. Di Sumenep rata-rata masyarakatnya memiliki pendidikan yang tinggi disamping pengetahuan agamanya yang merupakan wajib dan harus dikuasai. Tingkat kematian atas nama carok didaerah tersebut nyaris tak ada. Asumsi beberapa ahli kriminalitas mengatakan dan berpendapat sama soal yang satu ini. Meski sama-sama suku Madura, namun orang Sumenep jauh lebih modernt ketimbang daerah lainnya.

Ada budaya lain yang pada awal berdirinya merupakan cara saudara-saudara Blater Madura untuk mengurangi pembunuhan tersebut, yakni Oto’-oto’. Sejenis kumpul-kumpul atau perkumpulan dalam rangka mengumpulkan saudara satu kampung yang diisi dengan acara saling membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan duit semacam arisan yang merupakan pengikat dari kumpulan ini.

Pada awalnya budaya ini cukup topcer dan mampu meredam Carok. Karena apabila terjadi carok antara satu dengan yang lain, atau antara desa satu dengan yang lain, maka masing-masing tetuah blateran dari otok-otok tersebut akan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti banyak bermanfaat.

Sayangnya kegiatan ini kemudian bergteser dan bahkan terkadang muncul permasalahan baru. Yakni bagi mereka yang punya utang dari arisan tersebut, bisa timbul carok. Dan ini terjadi dibeberapa kasus. Bahkan tak jarang dari anggota tersebut kemudian kabur menjadi TKI. Celakanya lagi, sang tetuah yang mestinya sebagai penengah, akan ikut-ikutan memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian membingungkan. Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut bukan sebuah ajang yang baik dan bisa jadi penengah, namun justru sebaliknya menambah permasalahan baru.

Kaum Blateran juga turut mewarnai politik kepemimpinan di tanah Madura. Hingga ada istilah yang jadi Klebun/Lurah itu harus dari kalangan Blater, kalau tidak maka akan banyak maling. Namun kenyataannya meski kalangan Blater yang menjadi lurah didesa tersebut, masih banyak yang terjadi maling-maling sapi di desa tersebut.

Banyak klebun Blater tersebut justru sibuk dengan remoh/oto’-oto’ dengan blater lainnya sehingga malas mengurus desanya. Bahkan yang paling parah justru terjadi sebagian lurah memelihara maling sapi untuk mencari keuntungannya sendiri.

Dewasa ini kaum blateran sudah mulai sedikit dan lurah dari kaum blateran sudah mulai terkikis. Hal tersebut terjadi oleh karena tingkat pendidikan mereka yang kini mulai memadai. Selain itu peraturan seorang lurah yang harus lulusan SLTA cukup mendongkrak kredibilitas lurah Madura.

Bacaan Ringan "BENANG MERAH CAROK DAN CELURIT PADA MASYARAKAT MADURA - PART 4"

http://massandry.blogspot.com
Pergeseran Budaya Carok
Dewasa ini Carok yang dilakukan oleh saudara-saudara  Madura telah bergeser. Jika dahulu merupakan duel hidup mati dan bisa menyambung terus pada keturunannya hingga ke 7, maka sekarang ini Carok dilakukan secara pengecut. Beberapa kasus yang terjadi justru timbul dengan alasan yang tidak masuk akal. Hanya karena carger poncelnya dihilangkan, seorang saudara sepupu tega membunuh kakaknya dengan keroyokan(bolodewo-surabaya 12/1/2008). Gara-gara adiknya digoda tetangga, seorang kakak membunuh tetangganya dari belakang (Arimbi-surabaya1999). Gara-gara istrinya yang sudah dicerai 4 tahun silam kawin dengan temannya, mantan suaminya mengeroyok suami istrinya tersebut bahkan membunuh sang mantan istrinya (nyamplungan-surabaya 1993).

Carok yang terjadi sekarang berbeda dengan Carok pada masa kejayaannya. Carok yang dilakukan sekarang sistimnya keroyokan yang tidak berimbang. Kadang 1 lawan 3 atau 1 lawan 5. Celakanya lagi carok sekarang kebanyakan menggunakan pembunuh bayaran yang rela masuk penjara atas nama uang yang cuman Rp 100.000,-.. Contoh lagi yang sangat menggemparkan terjadi di tahun 2005 di desa Galis. Ramai tersiar kabar pembunuhan massal karena kalah jadi calon lurah.

Yang membuat esensi Carok menjadi terlihat pengecut justru terjadi apabila yang membunuh masuk penjara, maka yang akan menjadi incaran pembunuhan pihak korban adalah anaknya yang masih usia belasan atau saudara lainnya yang masih ada hubungan darah meski jauh. Dan ini kerap terjadi. Sekarang seorang tewas, maka dalam tempo 5 jam saudara atau keluarga pihak yang membunuh akan tewas dibantai di tempat lain. Karena itu tak jarang apabila seseorang telah melakukan pembunuhan pada orang lain, yang was-was justru keluarga lainnya, karena takut dibantai pula.

Tamperamental watak suku Madura yang keras dengan kondisi pulau yang panas, hampir penuh dengan perbukitan batu gamping dengan kontur tanah yang nyaris tandus dan sedikit sumber mata air, jelas mempengaruhi kondisi fisik maupun watak keras suku ini. Meski tidak semuanya demikian, namun hampei rata-rata berwatak keras dan bersuara lantang kadang suka ngomong yang ngawur.

Omongan inilah yang kerap jadi pemicu terjadinya Carok. Contoh kasus yang terjadi di Jakarta pada tahun 2006. Seorang Madura yang ditagih uang kontrakannya justru menjawab dengan “nanti saya bayar dengan clurit” membuat tuan rumah geram dan membantainya dengan 16 tusukan dan tewas seketika. Ini semua merupakan awal dari carok.

Meski iklim pesantren cukup membuat suasana watak suku Madura dingin, namun hal itu tak bertahan lama. Karena rata-rata para tokoh agamawan di Madura cenderung diam bila bicara soal harga diri. Hampir 90% masyarakat Madura memilih anaknya untuk di pondokkan ke pesantren ketimbang disekolahkan. Hal ini menurut beberapa sumber juga jadi penyebab tingkat pendidikan yang kurang menimbulkan pikiran pendek masyarakatnya. Tak jarang beberapa tokoh agamawan memberikan semacan azimat atau ijazah kepada mereka untuk keselamatan, celakanya yang terjadi justru adalah keselamatan bagi pembunuhnya bukan bagi target yang akan dibunuh.

Namun demikian, sekarang ini seiring dengan intelektual masyarakat madura yang mulai banyak mengerti karena berpendidikan tingga, menjadikan Carok mulai pudar sedikit demi sedikit. Carok yang awalnya bukan budaya Madura, kemudian bermetamorfosa dengan kondisi dan menjadi lekat dengan tradisi Madura, kini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh generasi mudanya.

Bacaan Ringan "BENANG MERAH CAROK DAN CELURIT PADA MASYARAKAT MADURA - PART 3"

http://massandry.blogspot.com
Tragedi  Bere’ Temor Populerkan Carok dan Clurit
Carok dan Clurit ibarat mata uang logam dengan dua gambar. Istilah ini terus bermetamorfosa hingga pada tahun 70 an terjadi peristiwa yang membuat bulu kudu berdiri. Sayangnya peristiwa yang memakan korban banyak ini tidak terespos media karena pada masa itu jaringan media tidak seheboh sekarang. Sehingga tragedy yang disebut oleh masyarakat Madura sebagai tragedy Bere’ Temor (barat-timur.Red) sama sekali tak pernah mencuat dikalangan umum, namun hanya dirasakan dikalangan orang Madura sendiri.

Peristiwa tersebut merupakan gap antara blok Madura barat yang diwakili Bangkalan dengan Madura Timur yang diwakili Sampang. Konon peristiwa tersebut cukup membuat masyarakat setempat dicekam ketakutan. Karena hampir setiap hari selalu terdapat pembunuhan. Baik dipasar, jalan, sawah atau dikampung-kampung. Saat itulah istilah Carok dan senjata Clurit makin popular.

Pada masa Bere’ temor tersebut beberapa desa seperti Rabesen barat dan Rabesen Timur, Gelis, Baypajung, Sampang, Jeddih dan beberapa desa lain cukup mewarnai tragedy tersebut. Lama tragedy tersebut terjadi hingga keluar dari Madura, yakni Surabaya dan beberapa daerah lainnya.

Menurut H.Abdul Majid, seorang tokoh Madura asal Beypanjung-Tanah Merah yang dipercaya kepolisian kabupaten Bangkalan untuk menjadi pengaman dan penengah Carok se Madura, menerengkan bahwa Carok jaman dulu adalah perkelahian duel hidup mati antara kedua belah pihak yang bertikai. Carok pada masa itu selalu identik dengan duel maut yang berujung dendam pada keluarga berikutnya.

Hafil M, seorang tokoh Madura juga menerangkan bahwa pada masa itu setiap orang yang hendak bercarok akan melakukan satu ritual khusus dengan doa selamatan ala islam kemudian melekan dan mengasah Clurit mereka serta mengasapinya dengan dupa. Keesokan harinya, mereka semua akan menghiasi mukanya dengan angus hitam.

Ungkapan senada juga disampaikan oleh Mas Marsidi Djoyotruno, seorang pelaku peristiwa menghebohkan tersebut. Menurutnya, pada tragedy gap antara Madura barat dan Madura timur tersebut selalu membawa kengerian, setiap orang yang bertemu meski tidak kenal akan langsung saling bunuh asal mereka dari dua kubu tersebut.tak peduli mereka bertikai atau tidak. Ini semua dilakukan demi harga diri desanya atau yang lainnya. Masih menurut Mas Marsidi, tragadi tersebut cukup banyak menelan korban jiwa. Bahkan menurut seorang pelaku lainnya Abah Ali juga mengungkapkan, tragedy tersebut 1/2nya mirip kasus Sampit. Korban yang terbunuh menumpuk bagai ikan tangkapan di jaring.

Perkembangan disain clurit sendiri baru mulai betul-betul khusus untuk membunuh, diperkirakan pada masa revolosi 1945. Dimana  resimen 35 Joko Tole yang memberontak pada Belanda di pulau tersebut. Belanda yang dibantu pasukan Cakra (pasukan pribumi madura) kerap berhadapan dengan pasukan siluman tersebut. Meski tidak semua pasukan resimen 35 Joko Tole ini memiliki senjata Clurit, namun kerap terjadi pertarungan antara pasukan Cakra dengan resimen 35 Joko Tole ini kedua belah pihak sudah ada yang menggunakan senjata Clurit, meski hanya sebatas senjata ala kadarnya.

Disain clurit yang sekarang ini kita lihat merupakan disain dari peristiwa Bere’ Temor (barat-timur) yang menghebohkan ditahun 1968 hingga 80-an. Pada masa ini disain clurit mulai dikenal dengan berbagai bentuk. Mulai dari Bulu Ajem, Takabuan, Selaben hingga yang lainnya. Dan pada peristiwa tersebut Clurit mulai jadi kemoditi bagi masyarakat Madura.

Bacaan Ringan "BENANG MERAH CAROK DAN CELURIT PADA MASYARAKAT MADURA - PART 2"

http://massandry.blogspot.com
Carok juga selalu identik dengan senjata Clurit. Sebuah senjata yang pada awalnya merupakan senjata untuk menyabit rumput. Madura tidak mengenal senjata tersebut. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide (1269), pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau kyai Pragolbo (1531) senjata Clurit masih belum ada. Mereka hanya mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah sebagaimana umumnya prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya Majapahit yang didukung oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa Tumapel hingga Singasari yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang dibantu pasukan Madura, senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada masa penyerbuan ke Batavia oleh Fatahillah yang dibantu pasukan Madura, juga mereka masih bersenjatakan Keris atau yang lainnya (bukan Clurit). Bahkan pada peristiwa Branjang Kawat dan Jurang Penatas, sama sekali tak ada senjata clurit disebut-sebut.

Menurut R.Abdul Hamid, salah seorang keturunan dari Cakraningrat menerangkan, bahwasannya budaya carok merupakan pengejawantahan yang dilakukan oleh masyarakat madura yang dulunya masih banyak yang memiliki pendidikan rendah. namun seiring perkembangan jaman, dimana banyak guru2 impres yang datang ke madura, Carok pun mulai berkurang.

Hanya Calok yang disebutkan dalam babat Songenep. Calok sendiri merupakan senjata Kek Lesap (1749) yang memberontak dan hampir menguasai semua dataran Madura. Senjata Calok juka pernah dipakai balatentara Ayothaya Siam dalam perang melawan kerajaan lain. Pada masa itu yang popular berbentuk Calok Selaben dan Lancor. Konon senjata Calok dibawa prajurit Madura ke Siam sebagai bagian dari bala bantuan kerajaan Madura dalam pengamanan di tanah Siam.

Menurut Budayawan Celurit Emas D.Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki filosophy yang cukup dalam. Dari bentuknya yang mirip tanda Tanya, bisa dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.

Lantas bagaimana kisah sebenarnya?. Sejak kapan istilah Carok dan Clurit ini dikenal? Hingga sekarang ini masih belum ada sebuah penelitian yang menjurus pada kalimat yang berbau sangar ini. Yang pasti, kalimat ini pertama kali dikenalkan pada masa pak Sakerah seorang mandor tebu di bangil-pasuruan yang menentang ketidak adilan colonial Belanda. Dengan senjata Clurit yang merupakan symbol perlawanan rakyat jelata pada abat 18. Kompeni yang merasa jengkel dengan perlawanan Pak sakerah kemudian menyewa centeng-centeng kaum Blater Madura untuk menghadapi Pak. Sakerah. Namuni, tak satupun dari kaum blater tersebut menang dari pak Sakerah. Yang jadi pertanyaan, benarkah pak sakerah sangat pandai bermain jurus-jurus clurit?..tak ada satu sumberpun yang bias menjawab pasti.

Sejak saat itu, perlawanan rakyat jelata dengan Clurit mulai dikenal dan popular. Namun demikian, senjata Clurit masih belum memiliki disain yang memadai sebagai alat pembunuh. Rakyat Pasuruan dan Bangil ketika itu hanya memiliki senjata yang setiap harinya dugunakan untuk menyabit rumput itu. Sehingga kepopuleran Clurit sebagai senjata perang rakyat jelata makin tersebar. Karena itulah Propaganda Belanda untuk menyudutkan pak Sakerah cukup berhasil dengan menggunakan dua istilah yakni Carok dan Clurit.

Bacaan Ringan "BENANG MERAH CAROK DAN CELURIT PADA MASYARAKAT MADURA - PART 1"

http://massandry.blogspot.com
Berbicara Carok, maka yang timbul dibenak banyak orang adalah sebuah konotasi yang negative dan horror. Carok selalu identik dengan pembunuhan sadis, pertarungan senjata, duel hidup dan mati atas nama kehormatan, pembunuhan dendam 7 turunan atau bisa jadi pembantaian masal. Carok juga selalu sejajar dengan budaya suku Madura, sebuah suku yang konon berwatak keras, temperamental dan arogan (meski tidak semua demikian). Dalam banyak kasus, setiap pembunuhan yang dilakukan oleh suku Madura, maka kata Carok akan selalu muncul. Yang paling mengerikan lagi, carok selalu berdampingan dengan nama sebuah senjata yang disebut Are’= Clurit. Dan yang paling dramatis justru setiap kejahatan, aksi perampokan selalu identik dengan sanjata yg satu ini. Sungguh tragis nasib si Clurit….Namun demikian, benarkah budaya ini berasal dari Madura?...

Carok / Clurit Bentuk Perlawanan Rakyat Jelata
Carok berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Perkelahian. Secara harfiah bahasa Madura, Carok bisa diartikan Ecacca erok-orok (dibantai/mutilasi…?). Menurut D.Zawawi Imron seorang budayawan berjuluk Clurit Emas dari Sumenep, Carok merupakan satu pembauran  dari budaya yang tidak sepenuhnya asli dari Madura. Carok merupakan putusan akhir atau penyelesaian akhir sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara baik-baik atau musyawarah dimana didalamnya terkandung makna mempertahankan harga diri.

Carok juga selalu identik dengan pembunuhan 7 turunan atas nama kehormatan. Tembeng Pote Matah, Angoan Pote Tolang (dari pada putih mata lebih baik putih tulang=dari pada menanggung malu, lebih baik mati atau membunuh). Dendam yang mengatasnamakan Carok ini bisa terus berlanjut hingga anak cucunya. Ibarat hutang darah harus dibayar darah.

Carok juga dilakukan demi mempertahankan harga diri. Misalnya istri diambil orang, maka carok merupakan putusan atau penyelesaian akhir yang akan dilakukan. Mereka akan saling membunuh satu dengan yang lain. Dan uniknya, bagi keluarga yang mengambil istri orang, maka jika dia terbunuh, tak satupun keluarga korban akan menuntut balas pembunuhan tersebut karena mereka memandang malu jika keluarganya sampai mengambil istri orang. Namun sebaliknya, apabila yang terbunuh adalah pihak yang punya istri, maka yang terjadi akan muncul dendam 7 turunan.

Pelaku Carok merupakan pelaku pembunuhan yang jantan atau sportif. Jika mereka telah membunuh, maka ia akan datang ke kantor polisi dan melaporkan dirinya bahwa ia telah membunuh orang. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab pembunuh kepada masyarakat sekaligus sebagai bentuk memohon perlindungan hukum. Meski beberapa kasus juga kerap terjadi, mereka menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh lawannya, atau bias pula pelaku yang membunuh namun yang masuk penjara adalah orang lain, istilahnya membeli hukuman. Tentunya hal yang terakhir ini harus ada kompensasinya, yakni si pelaku harus memeberikan semua biaya hidup pada keluarga orang yang telah bersedia masuk penjara atas namanya.

Bacaan Ringan "SEJARAH KEMUNCULAN CAROK DAN CELURIT DALAM BUDAYA MADURA - PART 5"

http://massandry.blogspot.com
Perguruan silat ini juga mengajarkan kepada muridnya bahwa penggunaan clurit tidak sekedar untuk melumpuhkan lawan. Untuk menggunakan senjata clurit setiap murid harus memiliki jiwa yang bersih dan berlandaskan agama. (Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005: 54). Karena itulah celurit harus dipandang sebagai lambang ksatria, sehingga penggunaannya tidak dilakukan untuk menyabet orang sembarangan.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu budayawan Madura, Zawawi Imron, melalui puisinya yang berjudul “Celurit Emas”. Celurit jangan lagi dilihat semata-mata sebagai alat untuk mempertahankan diri atau menebas leher orang, akan tetapi bagaimana celurit ini kita maknai sebagai alat untuk “menebas ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan”. (Kadarisman, 2006: 57).

“roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak itu mengadu ke hadapan celurit yang ditempa dari jiwa. Celurit itu hanya mampu berdiam, tapi ketika tercium bau tangan yang pura-pura mati dalam terang dan bergila dalam gelap ia jadi mengerti: wangi yang menunggunya di seberang. meski ia menyesal namun gelombang masih ditolak singgah ke dalam dirinya. nisan-nisan tak bernama bersenyuman karena celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari akan mengasahnya pada halaman-halaman kitab suci. celurit itu punya siapa? amin!”


Membangun citra positip, memang tidak bisa serta merta, perlu proses, akan tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Itupun harus dimulai sekarang juga, agar keadaan tidak semakin parah. Hal yang sangat penting adalah adanya kesadaran bahwa membangun citra positip harus dilakukan sendiri oleh Orang Madura, sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang berbunyi: “Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura” (Cuma orang Madura yang mengerti bahasa madura).

Semangat untuk memajukan Madura ini harus terus diperjuangkan seperti yang tercermin dalam sajak D. Zawawi Imrom dalam kumpulan puisi Celurit Emas-nya:

“Bila musim melabuh hujan tak turun. Kubasahi kau dengan denyutku. Bila dadamu kerontang. Kubajak kau dengan tanduk logamku. Di atas bukit garam kunyalakan otakku. Lantaran aku tahu. Akulah anak sulung yang sekaligus anak bungsumu. Aku berani mengejar ombak. Aku terbang memeluk bulan. Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku. Di bubung langit kucapkan sumpah. Madura, akulah darahmu”.

Bacaan Ringan "SEJARAH KEMUNCULAN CAROK DAN CELURIT DALAM BUDAYA MADURA - PART 4"

http://massandry.blogspot.com
Mengangkat Nilai Positif Madura Melalui Nilai-Nilai Luhur Celurit
Menurut Abdurachman, (1979: 73) sebenarnya Budaya Madura mencerminkan karakteristik masyarakat yang religius, yang berkeadaban dan sederetan watak positif lainnya dimana sesuai dengan julukan pulau Madura sebagai pulau seribu pesantren. Akan tetapi bagi orang yang tidak memahami budaya dan keluhuran Maduran, keluhuran nilai budaya tersebut pada sebagian orang Madura tidak mengejawantah karena muncul sikap-sikap yang oleh orang lain dirasa tidak menyenangkan, seperti sikap serba sangar, mudah menggunakan celurit dalam menyelesaikan masalah, pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Akibatnya, timbul citra negatif tentang orang Madura dan budayanya.

Orang yang tidak pernah ke Madura, memiliki gambaran yang kelam tentang orang Madura. Rata-rata pejabat yang dipindah tugas ke Madura, berangkat dengan diliputi penuh rasa was-was, karena benak mereka dihantui citra orang Madura yang serba tidak bersahabat. Akan tetapi kemudian setelah berada di Madura, ternyata hampir semua pandangannya tentang orang Madura berubah 180 derajat. Mereka dengan penuh ketulusan mengatakan bahwa orang Madura ternyata santun, ramah, akrab dan hangat menerima tamu. Nilai-nilai positif ini perlu diangkat untuk dilestarikan dan dikembangkan guna memperbaiki citra Madura.

Redefinisi, Reinterpretasi, dan Revisi Ungkapan -Ungkapan
Dinas Pariwisata, (1993: 68) mengangkat nilai-nilai positif celurit ini dapat juga dilakukan dengan meredefinisi atau mereinterpretasi ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan keberadaan celurit dimana selama ini berkonotasi kurang baik. Ungkapan ini contohnya yaitu Are’ kancana shalawat, dimana selama ini diartikan bahwa orang Madura tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan saja, sehingga membutuhkan senjata yaitu celurit untuk menjaga diri. Secara harfiah pengertian ini memang benar adanya, terutama menurut pandangan islam. Senjata memang merupakan alat pertahan diri untuk melawan penindasan dan kesewenang-wenangan. Hal ini dicontohkan pada masa kepemimpinan rasul dan para sahabat (khalifah) dimana dilakakukan serangkaian peperangan terbuka dengan mengangkat senjata guna berjihad menegakkan syari’at islam.

Sayangnya semangat jihad ini tidak masuk dalam persepsi masyarakat Madura terhadap ungkapan “are’ kancana shalawat”. Keberadaan celurit selalu dimaknai sebagai sarana melindungi diri secara horisontal yang kenyataanya cenderung anarkis, dan egois, bahkan brutal. Untuk itu ungkapan tersebut perlu mendapat tambahan “….gabay ajihad” menjadi “are’ kancana shalawat gabay ajihad”. (Celurit merupakan teman shalawat demi kepentingan jihad/berjuang di jalan Allah).

Dengan ini tentu jelas bagi masyarakat Madura yang mayoritas penduduknya adalah muslim bahwa celurit tidak lagi dapat diartikan sebagai alat untuk menyabet orang secara sembarangan. Penggunaan celurit harus dilandasi oleh semangat keislaman yaitu untuk kepentingan dakwah dan demi menegakkan syariat Islam.

Contoh ungkapan lainnya yang perlu direvisi yaitu yang berhubungan dengan persetujuan sosial terhadap tindak kekerasan di Madura melalui carok. Misalnya : “Etembhang pote mata, bhango’ pote tolang”. (Dibandingkan putih mata lebih baik putih tulang = dibanding menanggung malu lebih baik mati). Ini kita berikan penafsiran baru menjadi ajaran untuk meneguhkan semangat berkompetisi. Kalau tidak ingin “pote mata”, kita harus memperbaiki diri, meningkatkan kapabilitas, sehingga tak perlu “pote tolang” Ungkapan itu perlu diubah menjadi “ta’ terro pote mata, ta’ parlo pote tolang” Bandingkan dengan “Hidup mulya atau mati syahid”.

Perubahan Perilaku
Upaya membangun citra positif Madura melalui celurit ini perlu diikuti dengan perubahan perilaku dari sebagian “taretan dibhi’ ” (masyarakat Madura di manapun berada). Untuk itu perlu dilakukan studi, perilaku apa yang tidak disukai oleh orang lain, serta perilaku apa yang disukai. Perilaku yang tidak disukai kita kurangi atau dieliminasi, sedang yang disukai kita kembangkan dan dijadikan modal dalam membangun citra. Diantara sikap-sikap dan kebiasaan yang perlu ditinggalkan adalah kebiasaan nyekep.

Perubahan perilaku ini memang membutuhkan proses panjang, kesungguhan dan keserempakan (sinergi). Peningkatan pendidikan masyarakat adalah jawaban yang tepat untuk ini. Penanaman budi pekerti luhur sejak dini di kalangan anak-anak mutlak diperlukan. Juga perlu keteladanan dari para tokoh utamanya yaitu ulama dan para pemimpin formal.

Hal tersebut dapat dilihat seperti yang dilakukan dalam sebuah perguruan silat di Madura, yaitu perguruan pencak silat Joko Tole, dimana para muridnya juga diajarkan cara menggunakan clurit. Sebagai sebuah perguruan pencak silat yang cukup terkenal di Indonesia karena telah banyak mengorbitkan atlet pencak silat nasional berprestasi, perguruan Joko Tole selalu mengajarkan murid-muridnya untuk memiliki jiwa ksatria karena nama Joko Tole itu sendiri merupakan nama seorang ksatria dari daerah Sumenep.

Bacaan Ringan "SEJARAH KEMUNCULAN CAROK DAN CELURIT DALAM BUDAYA MADURA - PART 3"

http://massandry.blogspot.com
Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Celurit yang telah digunakan dalam praktek carok biasanya disimpan oleh keluarganya sebagai benda kebanggaan keluarga. Lumuran darah yang menempel pada celurit tetap dibiarkan sebagai bukti eksistensi dan kapasitas leluhur mereka sebagai orang jago (blater) ketika masih hidup. Celurit ini nantinya akan diwariskan secara turun-temurun kepada anak laki-laki tertua. Hal ini menunjukkan bahwa celurit merupakan simbol dari proses sejarah peristiwa carok yang dialami leluhur mereka. Simbol ini mengandung makna bukan hanya sekedar penyimpanan memori melainkan lebih sebagai media untuk mentransfer kebanggan kepada anak cucu karena menang carok dan kebanggan sebagai keturunan blater.

Keberadaan celurit bagi kaum blater sangat penting artinya baik sebagai sekep maupun sebagai pengkukuhan dirinya sebagai oreng jago. Nyekep merupakan kebiasaan yang sulit ditinggalkan oleh kebanyakan laki-laki Madura, khususnya di pedesaan. Pada segala kesempatan mereka tidak lupa untuk membawa senjata tajam terutama ketika sedang mempunyai musuh atau menghadiri acara remo.

Cara orang Madura nyekep celurit biasanya berbeda dengan jenis senjata tajam lainnya. Celurit biasanya diselipkan di bagian belakang tubuh (punggung) dengan posisi pegangan berada di atas dengan maksud agar mudah dikeluarkan (digunakan). Senjata tajam sudah dinggap sebagai pelengkap tubuh atau telah menjadi bagian dari tubuh laki-laki madura khususnya kaum blater. Hal ini ditunjukkan dengan adanya anggapan dari kaum laki-laki Madura bahwa senjata tajam selalu dibawa kemana-mana untuk melengkapi tulang rusuk laki-laki bagian kiri yang kurang satu.

Begitu berharganya keberadaan senjata tajam ditunjukkan juga melalui ungkapan orang Madura ”Are’ kancana shalawat” (celurit merupakan teman sholawat). Bagi seorang muslim memang dianjurkan untuk selalu membaca sholawat pada setiap kesempatan tak terkecuali jika hendak bepergian. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada agama/Tuhan saja, sehingga dibutuhkan senjata tajam sebagai sarana melindungi dan mempertahankan diri.

Menyikapi Nilai-Nilai Negatif Budaya Madura
Latief Wiyata (2002: 38) menyatakan bahwa budaya Madura sesungguhnya memang sarat dengan nilai-nilai sosial budaya yang positif. Hanya saja kemudian nilai-nilai positif tersebut tertutupi perilaku negatif sebagian orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotip tentang orang Madura, dan lahir citra yang tidak menguntungkan. Lebih daripada itu, pandangan mereka terhadap masyarakat dan kebudayaan Madura selalu cenderung negatif.

Kenyataan ini tampaknya memang sulit dielakkan karena dua faktor yaitu geografis dan politis. Pertama, secara geografis pulau Madura sebagai tempat orang Madura mengalami proses sosialisasi sejak awal lingkaran kehidupannya, letaknya sangat dekat dan berhadapan langsung dengan Pulau Jawa-tempat orang Jawa mengalami proses yang sama. Setiap bentuk interaksi sosial orang Madura dengan orang luar mau tidak mau pertama-tama akan terjalin dengan orang Jawa sebagai pendukung kebudayaan Jawa. Oleh karena dalam interaksi sosial pasti akan terjadi sentuhan budaya sedangkan kebudayaan Jawa sudah telanjur diakui sebagai kebudayaan dominan (dominant culture) maka dalam ajang persentuhan budaya tersebut masyarakat dan kebudayaan Madura menjadi tersubordinasi sekaligus termarginalkan.

Kedua, fakta sejarah telah menunjukkan bahwa posisi Madura secara politik hampir tidak pernah lepas dari kekuasaan (kerajaan-kerajaan) Jawa. Fakta ini kian mempertegas posisi subordinasi dan marginalitas masyarakat dan kebudayaan Madura. Oleh karenanya, mudah dipahami apabila setiap kali orang Madura akan mengekspresikan dan mengimplementasikan nilai-nilai budaya Madura dalam realitas kehidupan sosial mereka akan selalu cenderung “tenggelam” oleh pesona nilai-nilai adhi luhung budaya Jawa.

Menghadapi realitas sosial budaya ini maka tiada lain yang dapat dan harus dilakukan oleh orang Madura adalah segera melakukan revitalisasi nilai-nilai budaya Madura. Untuk melakukan upaya ini tentu tidak terlalu sulit oleh karena para seniman, budayawan, pakar budaya serta orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap budaya Madura secara bersama-sama dapat berperan dan berfungsi sebagai penggali dan penyusun kembali secara sistematis dan komprehensif nilai-nilai budaya Madura yang tidak kalah adhi luhung-nya dengan nilai-nilai budaya Jawa. Sebab, tidak mustahil banyak nilai-nilai budaya tersebut selama ini masih “terpendam” atau sangat mungkin sudah mulai “terlupakan”.

Jika semuanya ini benar-benar dilakukan maka nilai-nilai luhur budaya Madura akan tetap eksis dan mengemuka sebagai referensi utama bagi setiap orang Madura dalam hal berpikir, bersikap, dan berperilaku. Lebih-lebih ketika mereka harus membangun dan menjalin interaksi sosial dengan orang-orang di luar kebudayaan Madura.

Dengan demikian stigma yang selama ini melekat lambat laun akan terhapus, sehingga masyarakat dan kebudayaan Madura tidak akan lagi termarginalkan. Bahkan, ke depan tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat masyarakat dan kebudayaan Madura justru akan muncul sebagai salah satu alternatif referensi bagi masyarakat dan kebudayaan lain.

Bacaan Ringan "SEJARAH KEMUNCULAN CAROK DAN CELURIT DALAM BUDAYA MADURA - PART 2"

http://massandry.blogspot.com
De Jonge juga memaparkan laporan lain dari arsip pemerintahan kolonial yang menunjukkan bahwa banyak terjadi kasus pembunuhan pada masa itu. Pada tahun 1871 di Sumenep tercatat satu kasus pembunuhan untuk 2.342 jiwa. Untuk mengatasi hal ini pemerintah kolonial bukan saja memperkuat tenaga pelaksana hukum dan polisi tetapi juga mengeluarkan larangan membawa senjata tajam.

Munculnya tindakan kekerasan dalam angka yang sangat tinggi tersebut paling tidak diakibatkan oleh dua hal. Pertama, kekurang perhatian pemerintah pada waktu itu terhadap masyarakat Madura. Kedua, sebagai konsekuensi dari penyebab pertama, masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah sehingga segala persoalan atau konflik pribadi selalu diselesaikan dengan cara mereka sendiri yaitu dengan carok. Senjata tajam yang sering digunakan dalam aktifitas ini yaitu celurit. Larangan membawa senjata tajam yang dikeluarkan pemerintahan kolonial menunjukkan banyaknya orang Madura yang ”nyekep” (membawa senjata tajam). Ini berarti kebiasaan nyekep baru dimulai pada waktu itu dimana kondisi keamanan Madura sangat memperihatinkan saat itu.

Pergeseran Nilai
Dari tinjauan historis di atas dapat diketahui bahwa nilai filosofis penggunaan celurit bagi masyarakat Madura sebenarnya adalah merupakan simbolisasi figur Pak Sakerah sebagai sosok yang berani melawan ketidak adilan dan penindasan. Namun, keberadaan celurit yang kita rasakan sekarang kenyataanya lebih melambangkan figur blater yang identik dengan kekerasan dan kriminalitas. Bahkan celurit kini telah melambangkan tindakan anarkis, egois dan brutal yang dibuktikan dengan maraknya praktek carok yang dilakukan secara nyelep. Untuk itu, perlu upaya guna meluruskan kembali persepsi yang salah ini.

Dapat diketahui bahwa upaya Belanda untuk merusak citra Pak Sakerah rupanya berhasil merasuki pola pikir sebagian besar masyarakat Madura dan menjadi falsafah hidupnya. Apabila ada permasalahan menyangkut pelecehan harga diri, maka jalan penyelesaian yang dianggap paling baik adalah melalui carok dengan menggunakan celurit.

Istilah yang sering dipakai adalah : “ango’an poteya tolang etembang poteya mata”, artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu. Istilah lainnya yang dipakai yaitu Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]), lokana daging bisa ejai’, lokana ate tada’ tambana kajabana ngero’ dara (jika daging yang terluka masih bisa diobati atau dijahit, tapi jika hati yang terluka tidak ada obatnya kecuali minum darah). Ungkapan-ungkapan ini yang kemudian mendukung eksistensi carok dimana senjata yang digunakan selalu celurit. (Wiyata, 2002: 63).

Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan penggunaan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, Pamekasan maupun Sumenep. Masyarakat Madura terjebak pada stereotip bahwa budaya tersebut merupakan tindakan agresivitas semata-mata atas nama menjujunjung harga diri tanpa memandang nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Mereka tidak menyadari bahwa campur tangan Belanda telah manjauhkan falsafah hidup mereka dari apa yang diperjuangkan Pak Sakerah.

Dengan demikian, penggunaan celurit sudah tidak lagi mencerminkan figur Pak Sakerah yang dikenal sebagai seorang yang jujur, rajin beribadah dan disukai banyak orang serta berani melawan ketidak adilan. Celurit tidak lagi melambangkan figur seorang ksatria seperti yang dipraktekkan Pak Sakera ketika dengan gagah berani melawan Belanda dan kaki tangannya, tetapi lebih melambangkan figur premanisme dari sosok blater. Kapasitas ke-blater-an ini ditunjukkan dengan keberanian mereka untuk melakukan carok.

Bacaan Ringan "SEJARAH KEMUNCULAN CAROK DAN CELURIT DALAM BUDAYA MADURA - PART 1"

http://massandry.blogspot.com
1. Awal Kemunculan
Pada saat kerajaan Madura dipimpin oleh Prabu Cakraningrat (abad ke-12 M) dan di bawah pemerintahan Joko Tole (abad ke-14 M), celurit belum dikenal oleh masyarakat Madura. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud, putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ditemukan catatan sejarah yang menyebutkan istilah senjata celurit dan budaya carok. Senjata yang seringkali digunakan dalam perang dan duel satu lawan satu selalu pedang, keris atau tombak. (Zulakrnain, dkk. 2003: 63). Pada masa-masa tersebut juga masih belum dikenal istilah carok.

Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18 M. Pada masa ini, dikenal seorang tokoh Madura yang bernama Pak Sakerah. (Abdurachman, 1979: 74). Pak Sakerah diangkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh Belanda. Yang menjadi ciri khas dari Pak Sakerah adalah senjatanya yang berbentuk arit besar yang kemudian dikenal sebagai celurit (Madura : Are’), dimana dalam setiap kesempatan, beliau selalu membawanya setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja.

Pak Sakerah merupakan seorang mandor yang jujur dan taat menjalankan ibadah sehingga disukai oleh para buruh. Namun pada suatu ketika, dia dijebak dan difitnah oleh bos-nya sendiri. Untuk mengembalikan citra dirinya, Pak Sakerah kemudian membunuh bos beserta kaki tangannya dengan menggunakan celurit. Di akhir kisah, Pak Sakerah akhirnya tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur oleh Belanda. Sesaat sebelum dihukum gantung, Pak Sakerah sempat berteriak.: “Guperman korang ajar, ja’ anga-bunga, bendar sengko’ mate, settong Sakerah epate’e, saebu sakerah tombu pole” (Guperman keparat, jangan bersenang-senang, saya memang mati, satu Sakerah dibunuh, akan muncul seribu Sakerah lagi). Sejak saat itulah orang-orang Madura kalangan bawah mulai berani melakukan perlawanan kepada penindas, dimana senjatanya adalah celurit, sebagai simbolisasi figur Pak Sakerah.

Untuk mengatasi perlawanan rakyat Madura, Belanda kemudian berupaya untuk merusak citra Pak Sakerah. Hal ini dikarenakan beliau merupakan seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam sehingga banyak perlawanan rakyat Madura yang terispirasi oleh kisah kepahlawan beliau. Belanda kemudian sengaja mempersenjatai golongan blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan Belanda, dengan senjata celurit yang bertujuan merusak citra Pak Sakerah sebagai tokoh yang mempopulerkan senjata tersebut. Mereka kemudian diadu domba dengan sesama bangsanya sebagai perwujudan politik devide et impera.

Karena provokasi Belanda itulah, seringkali terjadi pertarungan antara golongan blater yang merupakan kaki tangan belanda dengan golongan blater dari kalangan yang memberontak kepada Belanda. Pertarungan sampai mati inilah yang kemudian dikenal sebagai carok. Pada saat melakukan carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya. Celurit digunakan Pak Sakerah sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.

Kemunculan celurit menurut kisah Pak Sakerah ini terdapat kesesuaian dengan hasil penelitian De Jonge yang dikutip oleh (A. Latief Wiyata, 2002: 64). De Jonge mengutip laporan seorang asisten residen di Bangkalan, Brest van Kempen, yang menyatakan bahwa antara tahun 1847 - 1849, keamanan di pulau Madura sangat memprihatinkan mengingat hampir setiap hari terjadi kasus pembunuhan. Bandingkan dengan kisah Pak Sakerah dan peristiwa kekacauan yang terjadi setelah beliau wafat, dimana menurut catatan sejarah juga terjadi pada awal abad 18 (Abdurachman, 1979: 142).

Bacaan Ringan "SEJARAH DAN HAKIKAT BUDAYA CAROK DI MADURA DAN NILAI NILAI YANG TERKANDUNG - PART 4"

http://massandry.blogspot.com
Celurit dan Kriminalitas
Karena sangat erat hubungannya dengan praktek carok, celurit kemudian memiliki kesan sebagai senjata yang menakutkan. Hal tersebut mengakibatkan senjata ini kerapkali dilibatkan pada banyak tindakan kriminalitas yang terjadi di Indonesia. Dalam kasus perampokan, penodongan, ataupun kerusuhan massa, celurit seringkali ikut dilibatkan di dalamnya.

Karakteistik Dan Ragam Bentuk Celurit
Celurit merupakan senjata favorit dalam tindakan carok. Celurit sangat efektif untuk membunuh mengingat bentuknya yang melengkung laksana tubuh manusia. Jika celurit diayunkan maka seluruh bagian permukaannya yang tajam bisa memperparah efek sabetan pada bagian tubuh yang rentan kematian seperti perut, leher, dan kepala.

Celurit yang kita kenal umumnya memiliki bentuk seperti arit yaitu seperti bulan sabit. Sebenarnya celurit memiliki bentuk yang bermacam-macam. Jenis celurit yang paling popular adalah are’ takabuwan. Senjata ini merupakan jenis celurit yang sangat diminati oleh banyak orang Madura, khususnya kawasan Madura Barat. Nama takabuwan diambil dari desa tempat dibuatnya yaitu Desa Takabu. Celurit jenis ini selain bentuknya cukup bagus, tingkat ketajamannya bisa diandalkan karena bahannya terbuat dari baja berkualitas baik. Badan celurit berbentuk melengkung mulai dari batas pegangan hingga ujung.

Yang menjadi tampak menarik, lengkunagn celurit ini sangat serasi dengan panjangnya yang hanya sekitar 35 - 40 sentimeter. Pegangannya terbuat dari bahan kayu yang biasanya dicat warna hitam atau coklat tua yag panjangnya sekitar 7,5 - 10 sentimeter. Cukup pas untuk pegangan tangan orang dewasa. Biasanya orang memiliki celurit jenis ini bukan untuk tujuan dipakai sebagai alat rumah tangga atau penyabit rumput, melainkan sebagai sekep (senjata tajam yang selalu dibawa pergi untuk tujuan “menjaga segala kemungkinan” jika sewaktu-waktu terjadi carok). Harga senjata tajam ini di pasaran “gelap” berkisar antara 150 ribu - 200 ribu rupiah

Selain itu, ada pula yang disebut dangosok. Nama dangosok diambil dari nama salah satu jenis buah pisang yang ukuranya lebih pajang dari ukuran rata-rata pisang biasa. Kata dang meupakan singkatan pengucapan dari kata geddang (Indonesia : pisang), sedangkan osok menunjukkan jenis pisang tersebut. Oleh karena itu senjata tajam jenis ini memiliki bentuk seperti layaknya buah pisang yang banyak ditemukan di Madura dan panjangnya melebihi ukuran rata-rata celurit. Badan senjata agak melengkung, panjang sekitar 60 sentimeter dan mempunyai pegangan dari bahan kayu dengan panjang 40 sentimeter.

Karena bentuknya yang melebihi ukuran rata-rata celurit pada umumnya, jenis senjata tajam ini tidak bisa dibawa bepergian, melainkan ditaruh di dalam rumah yang sewaktu-waktu dapat diambil dengan cepat jika diperlukan. Celurit jenis ini memiliki efektifitas yang lebih baik terutama dalam hal jangkauan terhadap sasaran. Oleh karena itu harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga celurit biasa. Harganya di pasaran sekitar 300 ribu rupiah. Harganya yang mahal juga dikarenakan bahannya yang menggunakan baja bekas rel kereta api (Wiyata, 2002: 69).

Celurit jenis lainnya : tekos bu-ambu (bentuknya seperti seekor tikus sedang diam), lancor (sejenis celurit yang mempunyai variasi lengkungan yang terdapat di antara tempat pegangan tangan dengan ujung senjata tajam), bulu ajam (mirip bulu ayam), kembang turi, monteng, calo’ (sejenis celurit tetapi mempunyai lekukan di bagian tengah batang tubuh).

Proses Pembuatan Clurit
Pembuatan celurit dilakukan oleh para pengrajin Madura secara tradisional dan melibatkan ritual-ritual khusus, sesuai dengan yang diajarkan oleh leluhur mereka secara turun-temurun. Salah satu basis pengrajin celurit yang terkenal di Pulau Madura yaitu di Desa Paterongan, Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kota Bangkalan. Di daerah ini sebagaian besar masyarakatnya menggantungkan hidup sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit. Celurit hasil buatan para pengrajin di Desa Paterongan terkenal akan kekuatan dan kehalusan pengerjaannya..

Bahan dasar celurit yaitu baja bekas, dimana biasanya yang sering digunakan baja bekas rel kereta api atau baja per mobil bekas. Pembuatannya boleh dibilang sederhana. Batangan-batangan baja atau bahan baku celurit ditempa berkali-kali di atas tombuk (bantalan besi) hingga didapatkan bentuk lempengan yang diinginkan. Setelah itu lempengan tersebut dipanaskan pada temperatur tertentu sambil ditempa kembali di atas tombuk berulang-ulang sampai terbentuk lengkungan celurit yang diinginkan. Ketika bentuk lengkungan celurit telah didapatkan, maka dilakukan pengerjaan akhir yang meliputi penajaman mata celurit, penghalusan permukaan, pembuatan gagang dan sarung celurit. Pembuatan celurit ukuran besar biasanya memakan waktu sekitar dua hingga empat hari. Adapun harga yang dipatok para pengrajin untuk sebuah celurit tergantung dari bahan, ukuran dan motifnya. Celurit paling murah harganya sekitar seratus ribu rupiah.

Dalam mengerjakan sebuah celurit, para pengrajin selalu melakukannya dengan penuh ketelitian. Sebuah celurit tidak bisa dipandang hanya sebagai sepotong besi yang ditempa berkali-kali, tetapi harus mencirikan sebuah karya seni serta memiiki arti dan makna khusus bagi pemiliknya. Karena itu dalam pembuatan celurit, biasanya para pegrajin berpuasa terlebih dahulu. Bahkan setiap tahun, tepatnya pada bulan Maulid, para pengrajin melakukan ritual khusus. Ritual khusus ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga, yang kemudian didoakan di musholla. Setelah didoakan, air bunga disiramkan pada bantalan tempat menempa besi. Karena itulah tombuk ini kemudian dianggap keramat yaitu pantang untuk dilangkahi oleh orang. Para pandai besi di paterongan meyakini apabila ritual ini tidak dilakukan (dilanggar), maka akan dapat mendatangakan musibah bagi mereka.

Bacaan Ringan "SEJARAH DAN HAKIKAT BUDAYA CAROK DI MADURA DAN NILAI NILAI YANG TERKANDUNG - PART 3"

http://massandry.blogspot.com
E. Tata Cara Pelaksanaan Carok
Carok dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu), atau nyelep (menikam musuh dari belakang). Di zaman awal kemunculannya, carok banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Semenjak dekade 1970-an carok lebih banyak dilakukan dengan cara nyelep. Dengan adanya kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep maka etika yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutalisme dan egoisme.

Meskipun semua pelaku carok langsug menyerahkan diri kepada aparat kepolisian, hal ini bukan berarti suatu tindakan jantan (berani bertanggungjawab atas tindakannya) melainkan suatu upaya untuk mendapatkan perlindungan dari aparat kepolisian terhadap serangan balasan keluarga musuhnya. Dan hal itu kemudian tidak mencerminkan kejantanan sama sekali ketika proses rekayasa peradilan dilakukan melalui praktek nabang.

F. Celurit Sebagai Simbol Carok
Celurit dengan kualitas khusus biasanya dibuat atas dasar pesanan, tidak diperjual belikan secara bebas di pasaran, kecuali celurit yang memang ditujukan sebagai hiasan. Hal ini terkait karena para pengrajin celurit tidak mau karyanya disalah-gunakan oleh orang yang memakainya. 

Akan tetapi, di beberapa pasar desa (ibu kota kecamatan), setiap hari pasaran juga terdapat beberapa pedagang yang secara khusus menjual hasil usaha kerajinan tersebut. Setiap pedagang senjata tajam selain menggelar berbagai jenis peralatan yang biasa digunakan untuk kegiatan pertanian dan rumah tangga, juga menyediakan sekitar 10–15 celurit. Celurit untuk carok, selalu ditaruh secara tersembunyi di balik tempat penjualan. Hal ini dimaksudkan agar mereka terhindar dari operasi yang biasa dilakukan oleh aparat kepolisian. Meskipun demikian, orang yang memerlukan clurit itu dengan mudah membelinya setelah berbisik-bisik dengan pihak pedagang.

Jika pada satu pasar desa, setiap hari pasaran, terdapat 10 orang pedagang senjata tajam, maka berarti pada saat itu tersedia 100-150 celurit kusus untuk kepentingan carok. Oleh karena hari pasaran berlangsung dua hari dalam seminggu, berarti selama seminggu akan tersedia 200-300 celurit. Di seluruh Kabupaten Bangkalan, terdapat 18 wilayah kecamatan. Berarti, dalam satu minggu terdapat sekitar 3.600-5.400 celurit.

Menurut pengakuan beberapa pedagang, mereka setiap hari pasaran, dapat menjual rata-rata antara dua atau tiga celurit. Sehingga, setiap minggunya akan terjual sekitar 40–60 celurit untuk satu pasar, atau 720–1040 celurit untuk se-Kabupaten Bangkalan. Ini mengindikasikan bahwa upaya pemberantasan carok di Madura, bukan lagi suatu kemungkinan tetapi dapat dikatakan sebagai keniscayaan.

Bacaan Ringan "SEJARAH DAN HAKIKAT BUDAYA CAROK DI MADURA DAN NILAI NILAI YANG TERKANDUNG - PART 2"

http://massandry.blogspot.com
C. Penyebab Eksistensi Carok
1. Alam yang gersang. Teror eceran berbentuk carok merajalela akibat alam gersang, kemiskinan, dan ledakan demografis. Pelembagaan kekerasan carok terkait erat dengan mentalitas egolatri (pemujaan martabat secara berlebihan) sebagai akibat tidak langsung dari keterpurukan ekologis (ecological scarcity). Lingkungan sosial mengondisikan lelaki Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan. Konsekuensinya senjata tajam jadi atribut ke mana kaum lelaki bepergian yang ditunjukkan dengan kebiasaan ”nyekep”. Senjata tajam dianggap sebagai kancana sholawat (teman shalawat).

2. Persetujuan sosial melalui ungkapan-ungakpan. Ungkapan-ungkapan Madura memberikan persetujuan sosial dan pembenaran kultur tradisi carok. Ungkapan-ungkapan tersebut diantaranya : Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’ (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]).

3. Proteksi berlebihan terhadap kaum wanita. Carok refleksi monopoli kekuasaan laki-laki. Ini ditandai perlindungan secara berlebihan terhadap kaum perempuan sebagaimana tampak dalam pola pemukiman kampong meji dan taneyan lanjang. Solidaritas internal antar penghuni kampong meji sangat kuat sedangkan dalam lingkup sosial lebih luas solidaritas cenderung rendah. Pelecehan atas salah satu anggota komunitas dimaknai sebagai perendahan martabat seluruh warga kampong meji.

4. Taneyan lanjang (halaman memanjang), memberikan proteksi khusus terhadap anak perempuan dari segala bentuk pelecehan seksual. Semua tamu laki-laki hanya diterima di surau yang terletak di ujung halaman bagian Barat. Martabat istri perwujudan dari kehormatan kaum laki-laki karena istri dianggap sebagai bantalla pate (alas kematian). Mengganggu istri merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki Madura.

5. Upaya meraih status sosial. Carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih status sosial di dunia blater. Kultur blater dekat dengan unsur-unsur religio-magis, kekebalan, bela diri, kekerasan, dunia hitam, poligami, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan harga diri. Blater, memiliki peran sentral sebagai pemimpin informal di pedesaan. Figur blater sejajar posisinya dengan figur kyai (Madura : keyae) sebagai sosok pemimpin informal di Madura Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi kepala desa. Tentu saja, masyarakat cenderung takut, bukan menaruh hormat, kepada kepala desa bekas blater itu, mengingat asal-usulnya yang kelam. Tidak seperti figur kyai yang disegani dan dihormati karena kemampuannya dalam keagamaan. Yang menarik di sini, juga terdapatnya figur kyai yang mempunyai latar belakang blater atau sebaliknya (Wiyata, 2002).

6. Blater di Madura juga kerap dihubungkan dengan remo. Tradisi remo (arisan kaum blater) merupakan institusi budaya pendukung dan pelestari eksistensi carok. Remo berfungsi ganda, sebagai tempat transaksi ekonomi, sekaligus penguatan status sosial. Juga merupakan sarana untuk membangun jaringan sosial di kalangan bromocorah. Remo bisa mengumpulkan uang dalam jumlah besar dalam tempo semalam.

Lemahnya hukum. Kebiasaan para pemenang carok untuk nabang (memperoleh keringanan hukum melalui rekayasa peradilan) dengan menyuap polisi, hakim, dan jaksa juga turut berperan melembagakan kekerasan di Madura. Carok telah menjadi komoditas hukum bagi mafia peradilan guna mengutip rente ekonomi dengan memperdagangkan kriminalitas dan kekerasan. Ini salah satu sebab memberantas carok ibarat menegakkan benang basah.

D. Prasyarat Carok
Persiapan untuk melakukan carok, termasuk memenuhi 3 syarat utama, yaitu kadigdajan, tampeng sereng, dan banda. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kadigdajan (kapasitas diri) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan diri secara fisik dan mental. Prasyarat fisik dapat berupa penguasaan teknik bela diri. Prasyarat mental, pengertiannya lebih terkait dengan apakah orang tersebut punya nyali, angko (pemberani), ataupun juga jago.

2. Tampeng sereng, menyangkut kepemilikan kekuatan yang diperoleh secara non-fisik, seperti membentengi diri sehingga kebal terhadap serangan musuh. Untuk maksud ini, pelaku carok meminta bantuan seorang “kiai”, yang akan melakukan “pengisian” mantra-mantra ke badan pelaku carok. Aktifitas berkunjung ke seorang ”kiai” ini disebut nyabis.

3. Prasyarat ketiga adalah tersedianya dana (banda). Dalam konteks ini, carok mempunyai dimensi ekonomi, karena carok membutuhkan banyak biaya. Biaya diperlukan antara lain untuk melakukan persiapan mental dengan menebus mantra-mantra yang diperlukan, dan membeli celurit dengan kualitas nomor satu, dan juga diperlukan sebagai persiapan untuk menyelenggarakan kegiatan ritual keagamaan bagi pelaku carok yang kemungkinan terbunuh (selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari sejak kematian). Selain itu, juga untuk biaya hidup sanak keluarga (istri dan anak) yang kemungkinan ditinggal mati atau ditinggal masuk penjara. Untuk pelaku carok yang masih hidup, maka dana dibutuhkan untuk nabang, yaitu merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum-oknum aparat peradilan agar hukuman menjadi ringan, atau mengganti terdakwa carok dengan orang lain.

Bacaan Ringan "SEJARAH DAN HAKIKAT BUDAYA CAROK DI MADURA DAN NILAI NILAI YANG TERKANDUNG - PART 1"

http://massandry.blogspot.com
A. Pengertian Budaya Carok dan Celurit
Carok dalam bahasa Kawikuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita. Intinya adalah demi kehormatan,” papar Ibnu Hajar, budayawan Sumenep. Sebenarnya budaya carok yang sudah menjadi ikon bagi orang Madura, sampai detik ini masih belum jelas asal-muasalnya. Berdasarkan legenda rakyat, adalah bermula dari perkelahian antara Pak Sakera dengan dua bersaudara, Markasan dan Manbakri, yang antek-antek Belanda.

Pada abad ke-18 M.Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, JawaTimur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas selanjutnya adalah celurut. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadikaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa.

B. Tujuan Carok
Carok senantiasa dilakukan sebagai ritus balas dendam terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap isteri, yang membuat lelaki Madura malo (malu) dan tada’ tajina (direndahkan martabatnya). Carok telah menjadi arena reproduksi kekerasan. Korban carok, tidak dikubur di pemakaman umum melainkan di halaman rumah. Pakaiannya yang berlumur darah disimpan di almari khusus agar pengalaman traumatik terus berkobar guna mewariskan balas dendam.

Sasaran utama carok balasan adalah pemenang carok sebelumnya atau kerabat dekat (taretan dalem) sebagai representasi musuh. Pilihan sasaran jatuh pada orang yang dianggap kuat secara fisik maupun ekonomi agar keluarga musuh tidak mampu melakukan carok balasan.

Sedangkan keberadaan celurit punya makna filosofi di mata orang Madura, ini bisa dilihat dari bentuknya yang seperti tanda tanya, itu menunjukkan bahwa orang Madura selalu tidak puas terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya. Kebiasaan orang Madura ketika membawa celurit selalu diletakkan di pinggang samping kiri, karena menurut orang Madura tradisi seperti itu sebagai upaya pembelaan harga diri laki-laki di Madura, dan sebagai pelengkap karena tulang rusuknya laki-laki kurang satu. Makanya orang Madura menggunakan celurit untuk melengkapi tulang rusuknya yang kurang satu. Celurit untuk membela istri, harta, dan tahta ketika digangu orang lain, dan orang laki-laki Madura belum lengkap tanpa celurit. Keberadaan orang Madura sebagai orang tegalan yang tandus dan gersang, membuat mereka merasa kecil dan rendah hati sebagai orang yang jauh dari pusat kekuasaan Singasari pada waktu itu.

Newer Posts Older Posts Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds