Bacaan Ringan "SEJARAH KEMUNCULAN CAROK DAN CELURIT DALAM BUDAYA MADURA - PART 2"
http://massandry.blogspot.com
De Jonge juga memaparkan laporan lain dari arsip pemerintahan kolonial yang menunjukkan bahwa banyak terjadi kasus pembunuhan pada masa itu. Pada tahun 1871 di Sumenep tercatat satu kasus pembunuhan untuk 2.342 jiwa. Untuk mengatasi hal ini pemerintah kolonial bukan saja memperkuat tenaga pelaksana hukum dan polisi tetapi juga mengeluarkan larangan membawa senjata tajam.
Munculnya tindakan kekerasan dalam angka yang sangat tinggi tersebut paling tidak diakibatkan oleh dua hal. Pertama, kekurang perhatian pemerintah pada waktu itu terhadap masyarakat Madura. Kedua, sebagai konsekuensi dari penyebab pertama, masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah sehingga segala persoalan atau konflik pribadi selalu diselesaikan dengan cara mereka sendiri yaitu dengan carok. Senjata tajam yang sering digunakan dalam aktifitas ini yaitu celurit. Larangan membawa senjata tajam yang dikeluarkan pemerintahan kolonial menunjukkan banyaknya orang Madura yang ”nyekep” (membawa senjata tajam). Ini berarti kebiasaan nyekep baru dimulai pada waktu itu dimana kondisi keamanan Madura sangat memperihatinkan saat itu.
Pergeseran Nilai
Dari tinjauan historis di atas dapat diketahui bahwa nilai filosofis penggunaan celurit bagi masyarakat Madura sebenarnya adalah merupakan simbolisasi figur Pak Sakerah sebagai sosok yang berani melawan ketidak adilan dan penindasan. Namun, keberadaan celurit yang kita rasakan sekarang kenyataanya lebih melambangkan figur blater yang identik dengan kekerasan dan kriminalitas. Bahkan celurit kini telah melambangkan tindakan anarkis, egois dan brutal yang dibuktikan dengan maraknya praktek carok yang dilakukan secara nyelep. Untuk itu, perlu upaya guna meluruskan kembali persepsi yang salah ini.
Dapat diketahui bahwa upaya Belanda untuk merusak citra Pak Sakerah rupanya berhasil merasuki pola pikir sebagian besar masyarakat Madura dan menjadi falsafah hidupnya. Apabila ada permasalahan menyangkut pelecehan harga diri, maka jalan penyelesaian yang dianggap paling baik adalah melalui carok dengan menggunakan celurit.
Istilah yang sering dipakai adalah : “ango’an poteya tolang etembang poteya mata”, artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu. Istilah lainnya yang dipakai yaitu Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]), lokana daging bisa ejai’, lokana ate tada’ tambana kajabana ngero’ dara (jika daging yang terluka masih bisa diobati atau dijahit, tapi jika hati yang terluka tidak ada obatnya kecuali minum darah). Ungkapan-ungkapan ini yang kemudian mendukung eksistensi carok dimana senjata yang digunakan selalu celurit. (Wiyata, 2002: 63).
Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan penggunaan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, Pamekasan maupun Sumenep. Masyarakat Madura terjebak pada stereotip bahwa budaya tersebut merupakan tindakan agresivitas semata-mata atas nama menjujunjung harga diri tanpa memandang nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Mereka tidak menyadari bahwa campur tangan Belanda telah manjauhkan falsafah hidup mereka dari apa yang diperjuangkan Pak Sakerah.
Dengan demikian, penggunaan celurit sudah tidak lagi mencerminkan figur Pak Sakerah yang dikenal sebagai seorang yang jujur, rajin beribadah dan disukai banyak orang serta berani melawan ketidak adilan. Celurit tidak lagi melambangkan figur seorang ksatria seperti yang dipraktekkan Pak Sakera ketika dengan gagah berani melawan Belanda dan kaki tangannya, tetapi lebih melambangkan figur premanisme dari sosok blater. Kapasitas ke-blater-an ini ditunjukkan dengan keberanian mereka untuk melakukan carok.