Bacaan Ringan "NAPAK TILAS ANAK ANAK MUDA TAHUN 70-AN - PART 3"
http://massandry.blogspot.com
DIMANAKAH anak muda 1970-an nongkrong? “Yang saya ingat tempat yang sering dituju adalah roti bakar Edi di Blok M, serta makan di kawasan Pecenongan. Juga tempat-tempat hiburan seperti Tanamur di Tanah Abang, maupun Mini Disco yang berada di seberang istana,” ujar Andy. “Kalau di Bandung biasanya kita dulu sering ngumpul di Jalan Merdeka, juga minum sekoteng di Jalan Bungsu,” kata Imank.
Triawan tidak bisa melupakan restoran Tizi’s di Hegar Manah, yang antara lain menyediakan menu khusus Cream Chicken Soup, dan shaslik (sejenis sate daging). “Dan tentu saja draft beer,” katanya lagi. Anak muda Jakarta 1970-an juga sangat menikmati acara Malam Muda Mudi yang diprakarsai Gubernur Ali Sadikin dengan menampilkan sederet band-band terkenal, mulai dari pop, dangdut, hingga rock. “Di sepanjang Jalan Thamrin hingga Bundaran HI, dibangun panggung-panggung acara semalam suntuk,” kata Tono. “Bigman Robinson sering kebagian panggung yang berada tepat di samping Bundaran HI,” tambahnya.
Saat itu yang namanya hiburan memang merupakan barang langka. Jadi tidak heran setiap ada acara pertunjukan gratis seperti Malam Muda Mudi, penonton acapkali tumpah ruah. Bisa juga dicatat konser yang diberi judul mentereng, Summer 28, yang digelar di Ragunan, Pasar Minggu, tanggal 16 Agustus 1973. Summer 28 sendiri merupakan akronim Suasana Menjelang Merdeka ke-28, dan konon digelar untuk meniru pesta musik akbar Woodstock di AS tahun 1969.
Maka ditampilkanlah sederet pemusik berbagai aliran dalam acara Summer 28 yang berlangsung dari siang hingga dini hari. Grup-grup yang unjuk gigi di acara yang dihadiri ratusan ribu penonton itu antara lain Koes Plus, The Disc. The Mercy’s, Panbers, Bimbo, Gembell’s, Bimbo, Pretty Sister, The Rollies, Gang of Harry Roesli, Broery Marantika, The Pro’s, Idris Sardi, Remy Silado, Trio Los Morenos, Young Gipsy, Fly Baits, dan God Bless.
Dua tahun berselang, konser akbar terulang lagi di Jakarta. Kali ini menampilkan Deep Purple yang berlangsung selama dua hari berturut-turut, 4 dan 5 Desember 1975. “Selama dua hari berturut-turut konser ini ditonton sekitar 100.000 penonton,” ungkap Denny Sabri dari majalah Aktuil, yang bekerja sama dengan promotor Peter Basuki dari Buena Ventura.
Sayangnya, selama konser sempat terjadi kericuhan yang dipicu oleh penonton. “Saya nggak habis pikir para penonton bisa jadi brutal di saat menikmati suguhan musik. Meskipun penonton membludak, tetapi kami sebagai penyelenggara, mengalami kerugian karena banyak penonton yang masuk menerobos tanpa membeli tiket,” tutur Denny, yang saat ini masih menekuni profesi sebagai pemandu bakat di Bandung.
Setelah sekian tahun berselang, Deep Purple yang memasuki usia senja, mampir kembali di Jakarta. Apakah sambutan penonton masih tetap menggebu-gebu seperti dulu? “Rasanya nggak. Mungkin bisa dianggap sebagai ajang nostalgia belaka,” tutur Triawan. “Apalagi, konser supergrup luar negeri, sekarang bukan hal yang baru lagi,” tambah Andy.
“Mungkin di situ pula letak beda romantika anak muda 1970-an dengan terseret ke alam globalisasi. Kalau dulu emuanya serba terbatas, info musik dan gaya hidup cuma bisa disadap dari majalah Aktuil yang bisa disebut bacaan wajib anak muda. Kalau sekarang, arus informasi sudah sedemikian derasnya bahkan kita nyaris tidak bisa membendungnya dalam filter budaya kita lagi,” kata Andy.
“Tetapi, anak muda sekarang yang begitu banyak dimudahkan oleh fasilitas, apa masih memiliki kreativitas tinggi? Ini yang patut dipertanyakan secara serius. Dulu, kita dengan segala keterbatasan malah mencuatkan kreativitas. Contohnya, ya bikin sepatu tumit tinggi, atau malah bikin dry ice tiruan untuk manggung, dan banyak contoh lainnya,” kata Triawan. Betulkah?