Tuesday, May 3, 2016

Bacaan Ringan "SEJARAH DAN HAKIKAT BUDAYA CAROK DI MADURA DAN NILAI NILAI YANG TERKANDUNG - PART 2"

http://massandry.blogspot.com
C. Penyebab Eksistensi Carok
1. Alam yang gersang. Teror eceran berbentuk carok merajalela akibat alam gersang, kemiskinan, dan ledakan demografis. Pelembagaan kekerasan carok terkait erat dengan mentalitas egolatri (pemujaan martabat secara berlebihan) sebagai akibat tidak langsung dari keterpurukan ekologis (ecological scarcity). Lingkungan sosial mengondisikan lelaki Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan. Konsekuensinya senjata tajam jadi atribut ke mana kaum lelaki bepergian yang ditunjukkan dengan kebiasaan ”nyekep”. Senjata tajam dianggap sebagai kancana sholawat (teman shalawat).

2. Persetujuan sosial melalui ungkapan-ungakpan. Ungkapan-ungkapan Madura memberikan persetujuan sosial dan pembenaran kultur tradisi carok. Ungkapan-ungkapan tersebut diantaranya : Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’ (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]).

3. Proteksi berlebihan terhadap kaum wanita. Carok refleksi monopoli kekuasaan laki-laki. Ini ditandai perlindungan secara berlebihan terhadap kaum perempuan sebagaimana tampak dalam pola pemukiman kampong meji dan taneyan lanjang. Solidaritas internal antar penghuni kampong meji sangat kuat sedangkan dalam lingkup sosial lebih luas solidaritas cenderung rendah. Pelecehan atas salah satu anggota komunitas dimaknai sebagai perendahan martabat seluruh warga kampong meji.

4. Taneyan lanjang (halaman memanjang), memberikan proteksi khusus terhadap anak perempuan dari segala bentuk pelecehan seksual. Semua tamu laki-laki hanya diterima di surau yang terletak di ujung halaman bagian Barat. Martabat istri perwujudan dari kehormatan kaum laki-laki karena istri dianggap sebagai bantalla pate (alas kematian). Mengganggu istri merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki Madura.

5. Upaya meraih status sosial. Carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih status sosial di dunia blater. Kultur blater dekat dengan unsur-unsur religio-magis, kekebalan, bela diri, kekerasan, dunia hitam, poligami, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan harga diri. Blater, memiliki peran sentral sebagai pemimpin informal di pedesaan. Figur blater sejajar posisinya dengan figur kyai (Madura : keyae) sebagai sosok pemimpin informal di Madura Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi kepala desa. Tentu saja, masyarakat cenderung takut, bukan menaruh hormat, kepada kepala desa bekas blater itu, mengingat asal-usulnya yang kelam. Tidak seperti figur kyai yang disegani dan dihormati karena kemampuannya dalam keagamaan. Yang menarik di sini, juga terdapatnya figur kyai yang mempunyai latar belakang blater atau sebaliknya (Wiyata, 2002).

6. Blater di Madura juga kerap dihubungkan dengan remo. Tradisi remo (arisan kaum blater) merupakan institusi budaya pendukung dan pelestari eksistensi carok. Remo berfungsi ganda, sebagai tempat transaksi ekonomi, sekaligus penguatan status sosial. Juga merupakan sarana untuk membangun jaringan sosial di kalangan bromocorah. Remo bisa mengumpulkan uang dalam jumlah besar dalam tempo semalam.

Lemahnya hukum. Kebiasaan para pemenang carok untuk nabang (memperoleh keringanan hukum melalui rekayasa peradilan) dengan menyuap polisi, hakim, dan jaksa juga turut berperan melembagakan kekerasan di Madura. Carok telah menjadi komoditas hukum bagi mafia peradilan guna mengutip rente ekonomi dengan memperdagangkan kriminalitas dan kekerasan. Ini salah satu sebab memberantas carok ibarat menegakkan benang basah.

D. Prasyarat Carok
Persiapan untuk melakukan carok, termasuk memenuhi 3 syarat utama, yaitu kadigdajan, tampeng sereng, dan banda. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kadigdajan (kapasitas diri) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan diri secara fisik dan mental. Prasyarat fisik dapat berupa penguasaan teknik bela diri. Prasyarat mental, pengertiannya lebih terkait dengan apakah orang tersebut punya nyali, angko (pemberani), ataupun juga jago.

2. Tampeng sereng, menyangkut kepemilikan kekuatan yang diperoleh secara non-fisik, seperti membentengi diri sehingga kebal terhadap serangan musuh. Untuk maksud ini, pelaku carok meminta bantuan seorang “kiai”, yang akan melakukan “pengisian” mantra-mantra ke badan pelaku carok. Aktifitas berkunjung ke seorang ”kiai” ini disebut nyabis.

3. Prasyarat ketiga adalah tersedianya dana (banda). Dalam konteks ini, carok mempunyai dimensi ekonomi, karena carok membutuhkan banyak biaya. Biaya diperlukan antara lain untuk melakukan persiapan mental dengan menebus mantra-mantra yang diperlukan, dan membeli celurit dengan kualitas nomor satu, dan juga diperlukan sebagai persiapan untuk menyelenggarakan kegiatan ritual keagamaan bagi pelaku carok yang kemungkinan terbunuh (selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari sejak kematian). Selain itu, juga untuk biaya hidup sanak keluarga (istri dan anak) yang kemungkinan ditinggal mati atau ditinggal masuk penjara. Untuk pelaku carok yang masih hidup, maka dana dibutuhkan untuk nabang, yaitu merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum-oknum aparat peradilan agar hukuman menjadi ringan, atau mengganti terdakwa carok dengan orang lain.

Newer Post Older Post Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds