Bacaan Ringan "GEGER CILEGON - PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN 1888 - PART 1"
http://massandry.blogspot.com
Pemberontakan di Banten tahun 1888 itu seperti suatu fenomena yang berdiri sendiri. Tetapi peristiwa pemberontakan tahun 1888 di Banten itu bukan suatu tindakan yang tiba-tiba di pihak petani yang tidak tahu apa-apa, yang mengamuk karena fanatik agama, seperti yang hendak dikesankan oleh beberapa laporan. Sejak hari pertama sudah jelas bahwa pemberontakan ini merupakan suatu pemberontakan yang telah dipersiapkan dan direncanakan dan mempunyai lingkup yang jauh melampaui batas-batas kota kecil Cilegon. Peristiwa itu merupakan kulminasi suatu gerakan pemberontakan yang selama bertahun-tahun bergiat secara terang-terangan atau secara rahasia.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukkan bahwa tarekat-perkumpulan tertutup yang merupakan sarana untuk menyebarkan informasi-informasi rahasia dan komunikasi diantara anggota-anggota komplotan yang telah memainkan peranan yang penting. Informasi disalurkan melalui tarekat secara rahsia, sedemikian rupa sehingga pejabat-pejabat pemerintah tidak menduga sedikitpun apa yang sedang terjadi. Dalam pertemuan-pertemuan gerakan tersebut mempersatukan para kyai sebagai pemimpin komplotan di daerah masing-masing. Dengan menggunakan agama sebagai kedok, mereka tukar-menukar pengalaman dan membicarakan strategi kampanye.
A. Pemimpin Gerakan Geger Cilegon
Haji Abdul Karim
Haji Abdul Karim, ulama besar dan orang suci di mata rakyat, adalah yang paling menonjol diantara pemimpin-pemimpin gerakan itu. Karier Haji Abdul Karim sebagai seorang pemimpin agama pada umumnya dan sebagai guru tarekat Kadiriah pada khususnya.
Haji Abdul Karim, ulama besar dan orang suci di mata rakyat, adalah yang paling menonjol diantara pemimpin-pemimpin gerakan itu. Karier Haji Abdul Karim sebagai seorang pemimpin agama pada umumnya dan sebagai guru tarekat Kadiriah pada khususnya.
Kyai Haji Tubagus Ismail
Gagasan untuk menghasut rakyat agar memberontak melawan mereka telah menjadi matang. Hal lain mengapa kepemimimpinanya semakin diakui oleh orang-orang Banten, selain berasal dari keturunan bangsawan, ia juga dikenal sebagai cucu Tubagus Urip yang telah dianggap sebgai Wali Allah. Tandanya ia tidak mencukur rambutnya seperti lazimnya seorang haji dalam jamuan-jamuan ia hampir tidak mau makan apa-apa.
B. Pematangan Gagasan Pemberontakan
Sudah sejak tahun 1884 gagasan mengenai pemberontakan sudah menjadi matang. Dalam satu pertemuan di rumah Haji Wasid di Beji diputuskan untuk mencari pengikut dikalangan para murid.26 Pertemuan-pertemuan diadakan diberbagai tempat yang dihadiri oleh bagian terbesar pemimpin-pemimpin pemberontakan setempat. Guru-guru tarekat ditugaskan untuk menyebarkan gagasan itu dan mencari pengikut. Pejabat-pejabat Eropa merasa cemas melihat kegiatan yang sangat meningkat dalam kehidupan agama rakyat, akan tetapi mereka ditenangkan oleh pejabat-pejabat Banten yang tidak melihat hal-hal yang membahayakan dalam manifestasi-manifestasi keagamaan itu. Pertemuan-pertemuan yang paling penting diantara anggota-anggota komplotan menggunakan kedok pesta, umpanyanya pesta perkawinan atau pesta sunatan. Pertemuan-pertemuan yang lebih kecil menggunakan kedok pertemuan zikir. Pemberontakan-pemberontak begitu pandai merahasiakan rencana-rencana komplotan mereka sehingga selama bertahun-tahun pemerintah colonial tidak dapat menemukan fakta-fakta yang bisa dijadikan alas an untuk menangkap mereka.
C. Meluasnya Semangat Pemberontakan Revolusioner
Telah diadakan persiapan-persiapan untuk melakukan pemberontakan itu, bahwa pemimpin-pemimpin pemberontak mempunyai tujuan-tujuan tertentu dan bahwa persiapan-persiapan itu berlangsung berbulan-bulan lamanya. Dalam empat bulan terakhir tahun1887 kegiatan anggota-anggota komplotan sangat meningkat, mereka adakan pertemuan-pertemuan melakukan perjalanan dan mempropagandakan perjuangan mereka di satu pihak dan melatih murid-murid mereka dalam cara-cara bertempur di lain pihak. Menjelang waktu itu, semangat pemberontakan sudah mencekam anggota-anggota tarekat. Mereka sependapat bahwa gerakan mereka sudah mencapai banyak kemajuan, dan mereka memutuskan untuk memperluas persiapan-persiapan pemberontakan dan mengikutsertakan orang-orang di luar tarekat.
Kegiatan-kegiatan persiapan pemberontakan selam tiga bulan terakhir tahun 1887 dan pertengahan pertama tahun 1888, ditandai oleh factor-faktor sebagai berikut : (1) latihan pencak dipergiat ; (2) pengumpulan dan pembuatan senjata ; (3) propaganda di luar Banten dilanjutkan.
Kegiatan-kegiatan lain diteruskan, seperti menghasut rakyat dengan jalan membakar semangat mereka dengan khotbah-khotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil, dan mendorong mereka untuk memakai jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan. Kegiatan-kegiatan gerakan benar-benar ditingkatkan, dan salah satu buktinya yang nyata adalah seringnya diadakan pertemuan oleh pemimpin-pemimpin pemberontak hamper setiap minggu. Haji Abdulsalam ditugaskan untuk menyediakan senjata-senjata gelap, ia dibantu oleh Haji Dulgani dan Haji Usman.
D. Enam Bulan Terakhir Tahap Persiapan
Pada tanggal 12 bulan Ruwah atau 22 april 1888 yang diadakan di rumah Haji Wasid di Beji. Pada akhir jamuan, ketiga ratus orang tamu berkumpul di mesjid dimana para kyai dan murid-murid merekabersumpah ; pertama, bahwa mereka akan ambil bagian dalam Perang Sabil, kedua bahwa mereka yang melanggar janji akan dianggap sebagai kafir, ketiga bahwa mereka tidak akan membocorkan rencana mereka kepada pihak luar.
Mereka dengan khidmat berjanji akan membunuh semua orang Eropa dan semua pejabat pemerintah. Keputusan-keputusan lain yang telah diambil adalah mengenai hal-hal sebagai berikut ; untuk setiap empat puluh orang akan diangkat seorang pemimpin kelompok, pakaian-pakaian akan dikumpulkan dan dipakai dalam pertempuran, setiap orang yang telah mengucapkan sumpah akan menandatangani pengukuhannya secara tertulis.
E. Menjelang Pemberontakan
Haji Abdurrakhman memberikan laporan mengenai pertemuan di Trumbu dan menambahkan bahwa ia telah ditugaskan untuk membunuh wedana Ciruas, asisten residen Kalodran, dan penghulu sub-distrik (kecamatan), setelah ia selesai dengan tugasnya di Serang, ia lalu memerintahkan hadirin untuk mengasah golok mereka dan membagi-bagikan jimat dan pakaian putih. Dua hari setelah barisan orang-orang yang terus bertambah besar, bersenjata golok dan tombak, dan dipimpin oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail, bergerak dari Cibeber kea rah Saneja, salah satu pusat pemusatan yang penting dimana mereka menantikan tanda yang segera akan diberikan untuk menyerang.
Bahasa Jawa dialek Banten ini termasuk salah satu yang kurang terdengar gaungnya, mungkin karena seperti bahasa Jawa dialek Cirebon (Cerbonan), dan Indramayu (Dermayon), wilayah bahasa Jawa dialek ini terletak di dua propinsi yang lebih sering dikonotasikan dengan wilayah urang Sunda (Propinsi Jawa Barat & Propinsi Banten). Sehingga sangat jarang ahli bahasa Jawa yang mendalami seluk beluk dan sejarahnya. Amat sedikit (kalau tidak mau dikatakan tidak ada) literatur yang ditulis dalam ketiga dialek bahasa Jawa tersebut.
Nasib lebih baik didapat oleh kedua dialek bahasa Jawa lainnya yang tersebut diatas. Semata-mata karena wilayah fisiknya berbatasan langsung dengan wilayah propinsi Jawa Tengah. Dan masih banyaknya persamaan budaya dan bahasa terutama dengan bahasa Jawa dialek Banyumasan dan Tegalan.
Apabila kita mencoba membuka kembali buku sejarah, kita mengenal sebuah kerajaan besar di daerah pulau Jawa bagian Barat, yaitu kerajaan pajajaran. Diperkirakan lima ratus tahun yang lampau, kerajaan itu mengalami masa kejayaan sehingga rakyatnya hidup dalam keadaan tata tentrem kerta raharja. Luas wilayah kerajaan pajajaran meliputi hampir seluruh pulau Jawa bagian Barat ditambah pula dengan daerah Tegal dan Banyumas yang sekarang masuk kedalam wilayah propinsi Jawa Tengah (Ekajati, 1975).
Salah satu daerah pulau Jawa bagian barat yang merupakan daerah yang tak terpisahkan dari kekuasaan kerajaan Pajajaran adalah wilayah Banten. Kata Banten sendiri secara etimologi terdapat beberapa macam pendapat. Kata Banten dianggap berasal dari kata bantahan (bahasa sunda) "bukan penurut", bin-tahan "tahan dalam segala perjuangan",ketiban-inten "kejatuhan intan", ban "lingkaran" dan ten "intan", dan wahanten. Yang terakhir ini adalah nama sebuah daerah dalam sejarah yang termasuk kerajaan pajajaran. Nama itu disebut dalam naskah carita parahiyangan. Artinya mungkin sama dengan Cibanten karena bentuk baru wah berarti "sungai". Cibanten adalah nama sungai yang ada di daerah kota Banten.
Sejarah terus berlalu dan mencatat peristiwa penyebaran Islam ke seluruh pulau Jawa yang dilakukan oleh Fatahillah, seorang ulama dan panglima perang yang berasal dari pasai. Pada tahun1525 ia menyebarkan agama Islam sampai Demak. Setahun kemudian, fatahillah bersama 2.000 orang pengikutnya yang berasal dari Demak, menyebarkan agama Islam ke daerah Banten.Berkat kebijaksanaannya, rakyat Banten menerima agama Islam dengan penuh keikhlasan dan kesadaran (Ekajati, 1975). Sejak itu berdiri kesultanan Banten yang di samping membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya,juga merupakan pusat kebudayaan bagi rakyatnya.
Sejalan dengan masuknya fatahillah dan pengikutnya dari Demak, sejak itu masuk pula bahasa dan kebudayaan orang Islam Demak ke wilayah Banten, terutama di sepanjang daerah pantai utara. Masyarakat Banten di sepanjang pantai utara(sebagian Kabupaten Serang dan Tangerang bagian utara) yang sebelumnya berbahasa dan berbudaya Sunda mulai mengenal dan menerima bahasa dan budaya Jawa. Kemungkinan sejak peristiwa ini, muncullah istilah bahasa Jawa (dialek) Banten yang pada perkembangan selanjutnya terjadi sentuh bahasa dengan bahasa Sunda sehingga bahasa Jawa (dialek) Banten bergeser dari ciri-ciri bahasa Jawa lulugu- bahasa Jawa asli.
Penamaan Bahasa Jawa (dialek) Banten itu sendiri masih perlu diperdebatkan, karena Banten itu sendiri bisa sebagai nama: 1) kesultanan tempo doeloe, 2) nama kampung di wilayah utara Kabupaten Serang, dan 3) nama (wilayah) provinsi yang mencakup Kabupaten Serang, Kodya Cilegon, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kodya Tangerang, dan kabupaten lebak. Dari hasil pengamatan sementara, penamaan Banten pada bahasa Jawa dimaksud berhubungan dengan nama kesultanan yang pusat pemerintahannya di kampung Banten, karena apabila berkaitan dengan wilayah provinsi maka pemakaian bahasa Jawa (dialek) Banten tersebut harus menyebar di seluruh provinsi Banten.
Berdasarkan sumber informasi yang ada, tidak ada satu pun keterangan yang memberi penjelasan bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa resmi yang harus dipergunakan (minimalnya di kuasai) oleh seluruh rakyat Banten pada waktu pemerintahan Kesultanan Banten. Artinya, bahwa bahasa Jawa Banten hanya dipergunakan secara terbatas di kalangan para kerabatkesultanan dan para pendatang dari Demak dan Cirebon. Sebagian besar rakyat pada waktu itu tetap mempergunakan bahasa Sunda sebagai bahasa kesehariannya. Sehubungan dengan pusat pemerintahan kesultanan dan sebagian besar pendatang dari Cirebon dan Demak berada di kampung Banten dan sepanjang pantai utara seperti di daerah Anyer, Cilegon,Merak, Bojonegara, Pontang, Tirtayasa, dan sebagian Kabupaten Tangerang (sekarang) bagian utara.
Khusus di kabupaten Serang pada saat sekarang,sedikitnya terdapat tiga bahasa yang dipergunakan masyarakat secara baik, yaitu bahasa Jawa (dialek) Banten, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa (dialek) Banten, dipakai di wilayah Kabupaten Serang sesuai keperluannya.
Agus Suriamiharja dkk. (1981) memetakan geografi pemakaian bahasa di Kabupaten Serang sebagai berikut.
1. Pemakai bahasa Jawa (dialek)Banten terdapat di kecamatan: Cilegon, Merak, Bojonegara, Pontang, Tirtayasa, Ciruas, Carenang, Kasemen, dan Kramatwatu.
2. Pemakaian bahasa Sunda terdapat di Kecamatan:Ciomas, Pabuaran, Padarincang, Cinangka, Anyar (sebagian), Baros, Petir, Cikeusal, Kopo, Cikande, dan Pamarayan.
3. Pemakaian bahasa Jawa-Sunda (bilinguistis) terdapat di kecamatan:
Anyar, Serang,Mancak, Waringinkurung, Taktakan,Serang, Cipocok, Walantaka, dan Kragilan.
Sejalan dengan di telah diproklamirkannya Banten sebagai sebuah provinsi, timbul sebuah wacana dari sebagian masyarakat provinsi Banten untuk mencari identitas kedaerahan yang salah satunya dengan menjadikan bahasa Jawa (dialek Banten) sebagai bahasa daerah yang berlaku di Kabupaten Serang. Wacana ini tentunya perlu dipikirkan dan dikaji secara matang, sehingga tidak menimbulkan persoalan lain yang malah menghilangkan identitas bahasa yang sebenarnya.
Syekh Abdul Karim Pemimpin Tarekat Nusantara
Gerakan kebangkitan kembali yang dipimpin Syekh Abdul Karim alias Kyai Ageng memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok pula.
Senin, 13 Februari 1876. Haji Abdul Karim meninggalkan Tanara. Ia terpaksa meninggalkan Banten menuju tanah airnya yang kedua, Makkah, menyusul pengangkatannya sebagai Pemimpin Tarekat Qadiriah, menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas. Ikut bersamanya 10 anggota keluarga, enam orang pengawal, dan 30 atau 40 orang yang menyertainya hanya sampai Batavia.
Khawatir akan kemungkinan turunnya rakyat secara besar-besaran ke jalan, Residen Banten meminta Kiai Abdul Karim mengubah rute perjalanannya. Rencananya singgah di beberapa tempat di Tangerang dibatalkan; diputuskan ia akan menumpang kapal langsung ke Batavia. Padahal banyak haji dari Tangerang dan Distrik Bogor sudah berangkat ke Karawaci. Selain itu, satu pertemuan besar akan digelar di rumah Raden Kencana, janda Tumenggung Karawaci dan ahli waris perkebunan swasta Kali Pasir, yang selain oleh anggota keluarganya juga bakal dihadiri orang-orang yang dicap pemerintah kolonial sebagai “fanatik” dan pembangkang. Semuanya urung. Toh murid dan para pengikut Abdul Karim berduyun-duyun bertolak dari desa-desa pantai, seperti Pasilian dan Mauk, dengan menggunakan berbagai perahu, untuk menyatakan salam perpisahan—dan semoga Kiai kembali.
Tak syak lagi, Haji Abdul Karim adalah salah satu ulama yang sangat dihormati dan paling berpengaruh di Nusantara pada penghujung abad ke-19. Ia digelari Kiai Agung. Bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai Wali Allah, yang telah dianugerahi karamah. Di antara peristiwa yang disebut-sebut sebagai petunjuk kekaramatannya, pertama, ia selamat ketika seluruh daerah dilanda banjir air Sungai Cidurian; kedua, setelah ia dikenai hukuman denda, residen diganti dan bupati dipensiun.
Besarnya pengaruh Kiai Abdul Karim, juga tampak ketika ia melangsungkan pernikahan putrinya. Seluruh desa Lampuyang, tempat tinggalnya, dihias dengan megah. Kiai-kiai terkemuka – termasuk dari Batavia dan Priangan – datang di pesta yang antara lain dimeriahkan rombongan musik dari Batavia dan berlangsung sepekan itu.
Sejak muda Abdul Karim berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Pemimpin tarekat yang juga menguasai hampir semua cabang ilmu keislaman ini dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, dan bermukim di Makkah sejak perempat kedua abad ke-19. Pengarang Fathul ‘Arifin ini – kitab pedoman praktis untuk para pengamal tarekat di Asia Tenggara – mengajar di Masjidil Haram sampai wafatnya pada 1875. Ulama terkemuka ini punya banyak pengikut, sehingga ajaran Qadiriah menyebar di berbagai daerah di Nusantara, seperti Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali, Madura, dan Banten. Kecuali di Madura, semua pengikut tersebut berada di bawah bimbingan Haji Abdul Karim. Boleh dikatakan, Abdul Karim adalah murid Syekh Sambas yang paling terkemuka. Tak heran, jika dia mendapat kepercayaan gurunya untuk menyebarkan ajaran Tarekat Qadiriah.
Tugas pertama yang diemban Haji Abdul Karim adalah menjadi guru tarekat di Singapura. Setelah beberapa tahun, ia kembali ke desa asalnya, Lampuyang, Tanara, pada tahun 1872. Ia mendirikan pesantren, dan karena sudah amat terkenal, dalam waktu singkat ia sudah banyak memperoleh murid dan pengikut. Sulit diperkirakan berapa jumlah pengikutnya. Yang pasti, dialah yang paling dominan di kalangan elite agama di Banten kala itu.
Kurang lebih tiga tahun Kiai Abdul Karim tinggal di Banten. Ditunjang kekayaan yang dimiliknya, ia mengunjungi berbagai daerah di negeri ulama dan jawara itu, sambil menyebarkan ajaran tarekatnya. Selain kalangan rakyat, ia juga berhasil meyakinkan banyak pejabat pamong praja untuk mendukung dakwahnya. Tidak kurang dari Bupati Serang sendiri yang menjadi pendukungnya. Sedangkan tokoh-tokoh terkemuka lainnya, seperti Haji R.A Prawiranegara, pensiunan patih, merupakan sahabat-sahabatnya, dan mereka amat terkesan dengan dakwahnya. Alhasil, Kiai Abdul Karim sangat populer dan sangat dihormati oleh rakyat; sedangkan para pejabat kolonial takut kepadanya. Kediamannya dikunjungi Bupati Serang dan Residen Banten. Dan tentu saja kunjungan kedua petinggi di Banten itu membuat gengsinya semakin naik. Tidak berlebihan jika dikatakan, Kiai Abdul Karim benar-benar orang yang paling dihormati di Banten.
Sebelum kedatangan Kiai Agung dengan tarekat Qadiriahnya, para kiai bekerja tanpa ikatan satu sama lainnya. Tiap kiai menyelenggarakan pesantrennnya sendiri dengan caranya sendiri dan bersaing satu sama lainnya. Maka, setelah kedatangan Kiai Abdul Karim, tarekat Qadiriah bukan saja semakin mengakar di kalangan rakyat, tapi mampu mempersatukan para kiai di Banten. Penyebaran tarekat ini diperkuat oleh kedatangan Haji Marjuki, murid Haji Abdul Karim yang paling setia, dari Makkah
Kiai Abdul Karim memang orang kaya. Dan kekayaan itu memungkinkannya menjelajahi berbagai daerah di Banten. Dalam kunjungan-kunjungan itu dia tak henti-henti berseru kepada rakyat supaya memperbarui kehidupan agama mereka dengan jalan lebih taat beribadah.Ia menjelaskan bahwa aqidah (keyakinan) dan ibadah (praktek agama) harus terus dimurnikan. Abdul Karim memfokuskan zikir sebagai tema keangkitan kembali kehidupan agama (revival). Maka zikir diselenggarakan di mana-mana, menggelorakan semangat keagamaan rakyat. Dan Berkat kedudukannya yang luar biasa, khotbah-khotbah Kiai Abdul Karim mempunyai pengaruh yang besar terhadap penduduk.
Dalam waktu singkat, setelah Haji Abdul Karim memulai kunjungannya dari satu tempat ketempat lain, daerah Banten diwarnai kehidupan keagamaan yang luar biasa aktifnya. Pengaruh dari meluasnya kegiatan keagamaan ini adalah bangkitnya semangat di kalangan umat dalam menentang penguasa asing. Kebetulan pada waktu itu sudah berkembang rasa ketidakpuasaan rakyat kepada pemerintah kolonial akibat tindakan politik dan ekonomi mereka yang merugikan rakyat. Dalam situasi demikian, para ulama secara bertahap membangunkansemangat rakyat untuk melawan pemerintah kolonial Belanda. Ketidakpuasan itu kemudian memuncak sedemikian rupa sehingga beberapa ulama merencanakan waktu untuk memberontak terhadap Belanda. Kiai Abdul Karim sendiri menganggap bahwa pemberontakan belum tiba saatnya karena rakyat belum siap.