Bacaan Ringan "SEJARAH SINGKAT SILAT BANDRONG BANTEN"
http://massandry.blogspot.com
Pada waktu Sultan Maulana Hasanudin dinobatkan menjadi sultan di Banten (1552-1570), beliau mempunyai seorang patih yang bernama Kiayi Semar (Ki Semar), yang berasal dari kampung Kemuning Desa Tegal Luhur . Sang patih pada hari Jum’at selalu izin kepada sultan untuk kembali ke kampungnya karena pada hari tersebut ia berdagang daging kerbau di pasar Balagendong Desa Binuangeun (dulu Kecamatan ). Pada suatu hari ketika Ki semar sedang berjualan dilapaknya dan tiba–tiba datanglah seseorang yang akan membeli dagangannya, orang itu bernama Kiayi Asyraf (Ki Sarap) yang tujuannya untuk membeli limpa atau sangket. Tapi oleh Ki Semar keinginan si pembeli disepelekan karena dianggapnyaorang miskin tak akan mampu membeli sangket yang harganya sangat mahal, padahal Ki Sarap sebenarnya ingin untuk membelinya. Karena Ki Sarap memaksa untuk membeli sedangkan Ki semar tetap bertahan tidak mau menjualnya, sehingga suasana menjadi tegang, kemudian terjadilah pertangkaran mulut, dan akhirnya terjadilah bentrokan fisik.
Tangan Ki Sarap dikelit dan ditekuk dibelakang punggung, dan dengan angkuh serta melecehkan, Ki Semar mengatakan “tak mungkin orang miskin seperti kamu mampu membeli barang daganganku ini”. Ki Sarap sangat marah disebut sebagai orang miskin tapi diam saja menahan amarah karena kejadian tersebut di tempat umum. Akhirnya dia pulang dengan tangan hampa tanpa membawa sangket yang diinginkannya, saat pikirannya dipenuhi perasaan tersinggung oleh ucapan Ki semar yang sangat menyakitkan hatinya, kemudian timbulah rencana untuk menghadang Ki semar dalam perjalanan pulang ke rumahnya.
Sekitar pukul 10.00 siang ketika itu para pedagang di pasar mulai bubar dan Ki Semar mulai beranjak pulang menuju rumahnya di kampung Kemuning, ia berjalan tergesa–gesa karena pada hari itu ia harus mengejar sholat Jum’at berjamaah. Di tempat yang sepi antara Balagendong dan kampung kemuning, tiba–tiba muncul Ki Sarap di tengah jalan menghadang Ki Semar, saat itu Ki Sarap yang hatinya sudah dipenuhi kemarahan tanpa basa–basi lagi langsung menyerang Ki Semar yang berusaha membela dirinya sehingga terjadilah adu kekuatan ilmu kemonesan alias ilmu kesaktian.
Kemudian masing–masing mengeluarkan ilmu ketangkasan dan kehebatannya, memang mereka berdua sama–sama kuat, tangkas dan sakti dalam hal kanuragan. Perkelahian antara keduanya itu berlangsung sejak jam 11.00 siang sampai jam 18.00 sore menjelang magrib. Ki Sarap telah mengeluarkan seluruh kemampuannya, semua jurus, kelit, seliwa kurung, lima pukul, sepak kombinasi, sodok dan seribu satu langkah telah dikeluarkannya. Tapi Ki Semar juga sama tangguhnya, setiap kali kena benturan pukulan keras Ki Sarap, setiap kali itu pula benturannya mengeluarkan suara seperti gendring dan juga mengeluarkan kilatan api dari tubuh Ki Semar.
Begitu pula Ki Sarap yang tangguh, beliau menguasai ilmu pencak silat bandrong itu, tubuhnya sama sekali tak dapat di sentuh oleh serangan–serangan Ki semar yang datang beruntun seperti air bah. Pencak silat bandrong sangat ampuh sebab dalam langkah dan jurusnya terdapat banyak versi dan variari pukulan, mampu berkelit dari pukulan atau tendangan musuh, bacokan golok, tusukan pisau atau senjata apapun, seorang pesilat bandrong akan dapat berkelit dengan sangat indah, licin dan gesit luar biasa. Bahkan serangan baliknya sangat membahayakan bagi lawan – lawanya.
Semakin keras serangan musuhnya, semakin keras pula jatuhnya, bahkan pesilat bandrong dapat menawarkan kepada musuhnya ingin jatuh terlentang atau telungkup bahkan terpelanting, hal seperti ini akan membuat musuh–musuhnya kewalahan. Peristiwa itu memang luar biasa, keduanya ternyata sama–sama sakti Ki Semar sangat kebal pukulan, Ki sarap sangat licin bagai belut dan tangkas menyerang seperti ikan bandrong yang melesat terbang dan menukik. Ketika alam mulai gelap mendekati waktu magrib, tiba–tiba Ki sarap menghadapkan tubuhnya ke arah kiblat dan kepalanya menengadah ke langit bermunajat dan melakukan istighosah kepada Allah SWT, setelah selesai berdo’a terlihat kakaknya yang bernama Ki Ragil sedang duduk di pelepah pohon Aren yang tinggi, agaknya sudah lma dia memperhatikan pertarungannya.
Melihat itu Ki Sarap pun berteriak: ”Kakak! Sudah sejak pagi hingga sore aku bertarung melawan orang ini, tapi belum ada yang kalah” . Ki Ragil pun bertanya : ”Apa kamu sudah lelah atau kewalahan?”, “Hai adikku, ini ambillah golokku dan tebaslah leher musuhnmu!” ujar Ki Ragil sambil menjatuhkan goloknya. Kemudian Ki Sarap mengambil golok itu dan menebas leher Ki Semar, dengan sekali tebas kepala Ki Semar pun terpental puluhan meter, lalu kepala itu berputar seperti gangsing dan kemudian menghujam ke dalam tanah. Hingga saat ini tempat kepala terkubur itu terletak di pinggir sungai di tepi hutan antara Balagendong dan kampung Kemuning yang kemudian menjadi tempat yang sepi dan angker karena banyak gangguan mahluk halus hingga sekarang ini.
Usai sudah pertandingan hebat yang dimenangkan oleh Ki Sarap itu, dan kemudian masyarakat yang menyaksikan adu kekuatan itu segera mengangkat tubuh Ki Semar yang tanpa kepala di bawa ke kampung untuk diurus sebagaimana mestinya dan kemudian dimakamkan di kampung Kemuning Desa Tegal Luhur. Tersiarnya kabar tentang kematian Ki Semar yang saat itu menjabat sebagai senopati tanah Banten, merupakan berita yang menghebohkan dan berita itu dibicarakan di hampir semua tempat orang berkumpul membicarakan tentang kejadian tersebut dan sampailah berita tersebut kepada Sultan Maulana Hasanudin di Banten. Mendengar berita tersebut Sultan sangat terkejut dan marah, kemudian memerintahkan kepada punggawanya untuk menangkap Ki Sarap yang dianggap sebagai pembunuh Ki Semar sang senopati Banten.
Sepasukan tentara lengkap segera diberangkatkan ke Gudang Batu untuk menangkap Ki Sarap yang kemudian dihadapkan kepada sultan karena akan diadakan pengusutan lebih lanjut tentang pembunuhan itu. Selanjutnya atas perintah Sulatan Banten, Ki Sarap di masukkan ke dalam penjara dan akan dihukum mati di tiang gantungan. Selama dalam penjara Ki sarap selalu bermunajat kepada Allah SWT untuk mendapat perlindungan-Nya, di samping itu ia juga mengamalkan ilmu asihannya (Aji–aji pengasih) agar dia diampuni dan dikasihani oleh Sultan Maulan Hasanudin. Berkat pertolongan Allah SWT, aji–aji pengasih Ki Sarap bukan hanya berpengaruh kepada sultan, tapi juga manjangkau hati sanubari permaisuri Sultan Maulana Hasanudin.
Dalam suatu musyawarah mengenai hukuman yang akan dijatuhkan kepada Ki Sarap, permaisuri Sultan mengemukakan pendapatnya bahwa hukuman mati untuk Ki Sarap sangat tidak tepat dengan alasan Ki Sarap dan Ki semar bertarung mengadu kesaktian dan yang hidup adalah karena membela diri sendiri, yang berarti hal itu bukanlah pembunuhan. Kedua, Kerajaan Banten sangat membutuhkan orang–orang yang gagah berani, kuat dan banyak ilmunya seperti Ki Sarap untuk menghadapi musuh yang lebih besar lagi, hal ini jelas Ki Sarap lebih kuat dengan berhasilnya dia mengalahkan Ki Semar yang saat itu menjabat Senopati Banten.
Dengan adanya usul permaisuri tersebut Sultan tidak langsung menerima begitu aja, tapi saran itu direnungkannya lagi dan dimusyawarahkan bersama para pembantu Sultan yang lainnya, dan akhirnya pendapat permaisuri itu dapat diterima oleh Sultan. Selanjutnya Ki Sarap dipanggil menghadap Sultan Maulana Hasanudin dan dijelaskan oleh sultan bahwa hukuman mati untuknya dibatalkan, yang kemudian Ki Sarap diberi tugas untuk menggantikan Ki Semar sebagai senopati Kesultanan Banten dengan syarat harus mau melalui ujian ketangkasan yaitu menembak anting–anting (gegombel) tudung permaisuri Sultan tanpa melukainya sedikitpun. Persyaratan tersebut diterima oleh Ki Sarap, walaupun dia tahu resikonya sangat tinggi mengingat dia bukanlah seorang ahli dalam hal menembak.
Ki Sarap meminta waktu selama tiga hari sebelum ujian tersebut dilaksanakan, dan ia memohon izin agar dibolehkan pulang ke kampungnya di Gudang Batu. Setelah sampai di kampungnya, Ki Sarap segera menghadap kepada kakaknya yaitu Ki Ragil dan memberitahukan masalah yang sedang dihadapinya, maksud Ki Sarap menceritakan tentang ujian dari sultan tersebut untuk meminta petunjuk atau bantuan saran dari kakaknya. Ki Ragil pun mengatakan ”pergilah dan bawalah benda ini, untuk dimasukan ke dalam senapan saat pelaksanaan ujian itu nanti”.
Kemudian Ki Ragil memberi beberapa petunjuk tata cara menembakkan senjata sebagai berikut: ”Jika sang permaisuri berada di daerah timur menghadap ke arah barat, berbaliklah ke arah yang sama dan arahkan senapanmu ke arah barat pula dan jika permaisuri di arah utara menghadap ke selatan, maka kamu pun harus demikian pula arahnya”. Setelah semua pesan dari Ki Ragil dimengerti dengan sebaik–baiknya, maka Ki Sarap memohon doa dari kakaknya untuk segera kembali menghadap Sultan Maulana Hasanudin di Banten. Sore hari itu Ki Sarap telah sampai di Banten dan langsung menghadap Sultan, saat itu Sultan Maulana Hasanudin tercengang kagum dan gembira menyaksikan Ki Sarap yang konsekwen dengan permintaan izinnya untuk pulang hanya tiga hari yang ditepatinya dengan baik.
Pada hari yang telah ditentukan, tibalah saat yang dinanti–nantikan oleh seluruh masyarakat Banten, karena pada hari itu sultan akan menguji ketangkasan seorang calon Senopati Banten. Di alun–alun kesulatanan Banten, sejak pagi hari masyarakat sudah memenuhi arena tempat pengujian, mereka sangat antusias untuk menyaksikan peristiwa yang sangat menegangkan dan hal ini mereka anggap sebagai peristiwa langka dan belum pernah terjadi. Di tengah–tengah alun–alun sang permaisuri duduk di kursi yang berada di sebelah timur menghadap ke arah barat, dengan jarak sekitar 30 meter, Ki Sarap berdiri berhadapan dengan permaisuri. Kemudian Ki Sarap mulai membidikan senapannya ke arah sasaran, tapi secara tiba–tiba dengan gerakan yang cepat Ki Sarap membalikan tubuhnya ke arah barat, bidikan senapannya ditujukan ke tempat kosong, dengan hati-hati dia menarik pelatuknya kemudian terdengarlah letusan senapannya.
Dan apa yang terjadi? Ternyata peluru yang ditembakkan tepat mengenai ”gegombel” kerudung sang permaisuri dan terdengar ”pluk” suara gegombel yang jatuh ke tanah tetapi permaisuri Sultan tetap di tempatnya semula tak tersentuh oleh peluru yang ditembakkan oleh Ki Sarap.
Jatuhnya gegombel kerudung permaisuri diiringi oleh suara sarak sorai yang gemuruh dari seluruh masyarakat yang menyaksikannya. Tepuk tangan yang berkepanjangan menggambarkan kepuasan dan kegembiraan masyarakat karena telah memiliki senopati baru yang gagah, hebat dan tinggi ilmunya. Permaisuri menitikkan air mata bahagia karena saran pendapatnya sudah menjadi kenyataan bahwa kesultanan Banten kini telah diperkuat oleh seorang senopati sakti yang berasal dari daerah Gudang Batu yaitu Ki Sarap. Kemudian Ki Sarap diberi gelar kehormatan yaitu ”Senopati Nurbaya”. Senopati Nurbaya yang kemudian dikenal Ki Nurbaya menjalankan tugas utamanya untuk mengamankan wilayah laut Jawa terutama Teluk Banten dan pelabuhan Karang Antu.
Beliau bermarkas di ”Bojo–Nagara” untuk menghadapi para bajak laut yang mereka sebut Bajag–Nagara, para bajak laut itu bermarkas di Tanjung Bajo dan biasanya hasil rampokan mereka disembunyikan atau ditunda dulu di ”Pulo Tunda” sebelum dibawa ke daerahnya masing–masing. Kini tempat–tempat tersebut menjadi terkenal dan namanya dikekalkan dengan peristiwa yang terjadi di sana kini menjadi nama yang mengandung kenangan abadi. Selama bertugas di Kesultanan Banten, Ki Patih Nurbaya atau panggilan lainnya Ki Jagabaya atau Ki Jagalaut menjaga wilayah yang dikuasainya sehingga wilayah tersebut menjadi aman dan tentram tak pernah ada gangguan dari para pengacau terutama para bajak laut yang dulu berkeliaran menguasai Laut Jawa dan Teluk Banten. Karena tugasnya selalu menjaga laut, akhirnya nama Ki Sarap lebih populer dengan gelarnya : ”Ki Jagabaya” atau ”Ki Jaga Laut”. Dunia terus berputar dan sejarah berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan, lama juga Ki Jagabaya menjalankan tugasnya mengamankan daerah yang di amanatkan kepadanya.
Beliau memusatkan pertahanannya di Pulo Kalih (Pulau Dua) apabila beliau mengintai musuh dilakukannya dari puncak Gunung Santri, sebab dari tempat ini mudah baginya untuk melihat ke arah laut lepas, dan dapat melihat kapal yang datang dan pergi dari Bojonegara dan juga dapat berkomunikasi dengan Pulo Kalih dan menara Banten. Ki Jagabaya atau Ki Jagalaut menggunakan isyarat–isyarat bahaya dengan cara sebagai berikut: Apabila bahaya terjadi disiang hari mereka menggunakan sinar matahari yang dipantulkan melalui cermin. Apabila bahaya terjadi malam hari mereka menggunakan isyarat kobaran api unggun. Semua itu dilakukan dari puncak Gunung Santri dan dapat dipantau dari Pulo Kalih dan Menara Banten.
Saat usianya menjelang senja, Ki Patih Nurbaya menyadari tentang pentingnya kaderisasi atau generasi penerus. Beliau berniat menurunkan ilmunya terutama ketangkasan khusus yaitu ilmu beladiri ”Pencak Silat Banten” yang disebutnya ” Bandrong” , ilmu itu secara khusus diturunkan kepada putra Sultan Maulana Hasanudin, selanjutnya para punggawa dan prajurit serta murid–muridnya yang berada di Pulo Kalih dan Gudang Batu di Waringin Kurung. Selanjutnya pendidikan ketangkasan dan kedigjayaan itu dipusatkan di Pulo Kalih dan dibina langsung oleh kedua kakak beradik Ki Sarap dan Ki Ragil. Di sanalah mereka berdua menghabiskan masa tuanya, kemudian setelah dipanggil menghadap Tuhan-Nya, mereka berdua dimakamkan di pemakaman umum di daerah Kahal wilayah kecamatan Bojonegara. Hingga sekarang tempat itu dikenal dengan sebutan ”Makam Ki Kahal” dan alhamdulillah sampai sekarang banyak masyarakat yang datang mengziarahinya terutama para pesilat Bandrong yang saat ini sudah menyebar di lima propinsi di Indonesia.
Asal Usul Nama Silat Bandrong
Mengingat kesetiaan masyarakat di kawasan Gunung Santri, Gudang Batu, dan Pulo Kalih terhadap Kesultanan Banten, maka diresmikanlah Bojonegara artinya Bojone Negara (istri negara). Sedangkan Silat Asli Banten diberinama Bandrong, yang diambil dari nama jenis ikan terbang yang sangat gesit dan dapat melompat tinggi, jauh, atau dapat menyerang kerang dengan moncongnya yang sangat panjang dan bergerigi tajam sekali, sehingga ia merupakan ikan yang sangat berbahaya, sekali serang dapat membinasakan musuhnya. Ki Patih Jagalaut atau patih yang selalu melanglang buana menjaga laut, sangat menyukai dan sering memperhatikan ikan tangkas gesit ini dan juga jangkauan lompatan jarak jauhnya dan hal itu benar–benar mempesonanya. Sehingga akhirnya beliau mengambil nama ikan itu untuk memberi nama ilmu ketangkasan beladiri yang dimilikinya dengan nama ”Pencak Silat Bandrong” karena tangkas dan gesit serta berbahaya seperti ikan Bandrong.