Bacaan Ringan "SEJARAH SINGKAT KAWASAN ANGKE DI BATAVIA"
http://massandry.blogspot.com
Budaya-Tionghoa.Net | Berawal dari pertanyaan apakah sungai Angke itu berasal dari kata Hongxi yang berarti Sungai Merah ataukah yang berarti sungai yang sering banjir? Dan apakh disebut Ang Kee karena dahulu terjadi pembantaian 1740 sehingga banyak mayat orang Tionghoa yang dibuang kedalam sungai tersebut sehinggai memerahkan warna air sungai. Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa Ang Kee itu karena sungai sering meluap ketika terjadi hujan besar. Mana yang benar ?
TINJAUAN BAHASA
Dalam bahasa Hokkian, kata 'Ang' dari Angke bisa berarti Merah (紅) atau Banjir (洪) . Ang yang berarti banjir ini sama dengan marga Ang Chit Kong (tokoh dalam Sia Tiao Eng Hiong). Dalam bahasa Mandarin, keduanya diucapkan 'Hong'. Selama ini teori yang sering kita dengar adalah Angke berarti kali merah. Rupanya terdengar juga kabar ada yang mengatakan bahwa Angke berarti Kali Banjir , bukan Kali Merah . Karena huruf (洪) dalam bahasa Hokkian juga diucapkan ‘Ang’.
Sulit untuk menentukan mana yang benar antara Ang Kee yang berarti Sungai Merah atau Ang Kee yang berarti sungai yang sering banjir. Ada kontingensi bahwa Angke berarti Kali Merah terkait peristiwa pembantaian orang-orang Tionghoa 1740. Dugaan ini muncul karena lebih banyak orang-orang yang berpendapat Angke adalah Kali Merah . Kali Angke berhulu di daerah Semplak (Bogor Barat Laut), melalui Parung, Pamulang, Ciledug, Angke, Muara Angke. Kali Angke relatif pendek jika dibandingkan dengan Ciliwung atau Cisadane, sehingga dulu kali ini seharusnya tidak sering banjir. Di sepanjang kali Angke sampai ke daerah Semplak, banyak bermukim orang-orang Tionghoa peranakan seperti Tionghoa Benteng (yang berbahasa Melayu dan kaum perempuannya berkebaya, umumnya mereka adalah petani). Ada teori yang mengatakan bahwa mereka ini adalah orang-orang Tionghoa yang melarikan diri ke daerah hulu kali Angke, waktu terjadi pembantaian 1740.
Dalam bahasa Hokkian , huruf (洪) dan (紅) sama-sama bisa dibaca Hong (bunyi wenyan) dan Ang (bunyi baihua). Tetapi, dalam frasa-frasa yang berarti banjir, huruf (洪) dibaca Hong. Misalnya 洪水 dalam bahasa Mandarin adalah Hongshui sedangkan dalam bahasa Hokkian adalah Hong Sui atau Hong Cui. Kemudian 分洪 dalam bahasa Mandarin adalah Fenhong, sedangkan dalam bahasa Hokkian adalah Hun Hong. Dan 洪流 dalam bahasa Mandarin adalah Hongliu, sedangkan Hokkian adalah Hong Liu.
PETA LAMA BATAVIA
Jika melihat peta-peta lama Batavia , salah satunya bisa dilihat di situs “Atlas Of Mutual Heritage Netherland “ terdapat Peta Batavia sekitar tahun 1682[1] . Peta lainnya bisa dilihat disitus “Geographicus” terdapat peta tahun 1773.[2] Kedua peta ini tidak terlalu berbeda dalam pembagian bloknya. Kalau melihat kedua peta itu, apa yg disebut kali Angke sekarang dulunya tidak bernama. Kita lihat di kedua peta itu, di tengah atas ada Benteng Kota Batavia. Di sisi SELATAN tembok kota terdapat tiga sungai yaitu Kali Jelakeng , Kali Krukut dan Kali Ciliwung.
Kali Jelakeng sekarang, yang menyusur sisi tembok barat kota yang kemudian ke arah selatan barat daya lurus ke arah barat (menjadi kali Angke sekarang). Kali Krukut yang berkelok di pecinan Glodok . Pada masa lalu kali ini berkelok dan bercabang di jembatan Toko Tiga-Pancoran. Cabang ini melalui bawah pertokoan Gloria sekarang sejajar dengan Jl. Pancoran sampai di bawah jembatan Harco kemudian berbelok ke arah timur laut sejajar dengan Jl. Pinangsia sampai Glodok Plaza-Sawo kecik lalu bertemu dengan Ciliwung, pada masa kini, cabang ini sudah tidak ada atau diuruk, yang tersisa hanya kali Krukut sekarang dan sedikit ujungnya yaitu kalau kita berdiri di jembatan belakang Glodok Plaza. Kali Krukutnya sendiri terus mengarah ke Ryswyck di selatan yang sekarang sudah "diluruskan" melewati tengah-tengah Jalan Cideng.
Kalau di kedua peta itu kita susuri "Kali Angke yang sekarang" ke arah barat (sejajar di selatannya ada jalan yang sekarang jadi Jl. Perniagaan-Tubagus Angke. Di ujung paling barat ada tulisan ANKE. kemungkinan itu kediaman pangeran Tubagus Angke. Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa baik Kali Angke maupun Jalan Tubagus Angke keduanya memperoleh keuntungan yang sama, yaitu bahwa keduanya punya satu nama yang bisa dilihat dari dua sudut berbeda, sudut masyarakat Tionghoa-Hokkian dan masyarakat setempat, meski di mata masing-masing sudut arti atau maknanya berlainan. Bagi orang-orang Tionghoa Batavia, Angke adalah "sungai darah"; sedangkan bagi masyarakat setempat Angke adalah nama penguasa lokal.
SEJARAH ANGKE
Nama Angke sebenarnya sudah ada jauh sebelum terjadi pembantaian Tionghoa di Batavia di tahun 1740. Dalam sejarah kota Jakarta disebutkan pada abad ke 16 dan awal ke abad 17, penguasa Jayakarta (nama Jakarta dahulu) ketika itu bernama Pangeran Tubagus Angke (1570-1600 ?), sebagai Adipati Jayakarta kedua dan bawahan (vasal) kesultanan Banten serta penerus Fatahillah.
Anak dari Pangeran Tubagus Angke ini adalah Pangeran Jayakarta yang disebutkan oleh orang Inggris dan Belanda sebagai "Regent of Jakarta" atau "Koning van Jacatra". [3] Pada jaman Pangeran Jayakarta inilah orang-orang asing Eropa seperti Inggris dan Belanda [4] , mulai berdatangan yang kemudian harinya pecah konflik dengannya. Penduduk Tionghoa sendiri juga sudah ada sebelumnya di kota ini, dan kemudian harinya bertambah lagi dengan orang-orang Tionghoa yang berdatangan dari Banten dan terutama sesudah Banten dikuasai oleh Belanda. [5]
----
Nama Pangeran Tubagus Angke sendiri disebutkan sebagai "Ratu Bagus Angke" . Sampai kini para sejarawan pada umumnya seperti Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, Dr. Uka Tjandrasasmita, Dr. Nina Lubis, Drs. Halwany Michrob, A. Heuken SJ dan yang lainnya sependapat dengan Hoesein Djajadiningrat bahwa "Ratu Bagus Angke" adalah menantu dari Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten (1552-1570) yang menikah dengan salah satu puterinya (Ratu Pambayun).[6]
Nama Pangeran Tubagus Angke sendiri disebutkan sebagai "Ratu Bagus Angke" . Sampai kini para sejarawan pada umumnya seperti Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, Dr. Uka Tjandrasasmita, Dr. Nina Lubis, Drs. Halwany Michrob, A. Heuken SJ dan yang lainnya sependapat dengan Hoesein Djajadiningrat bahwa "Ratu Bagus Angke" adalah menantu dari Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten (1552-1570) yang menikah dengan salah satu puterinya (Ratu Pambayun).[6]
Sultan Hasanuddin sendiri adalah putera dari Sunan Gunung Jati, yang didalam Sejarah Banten disebut sebagai Sultan pertama Banten.yang juga adalah menantu dari Sultan Hasanuddin, penguasa Banten yang dinikahkan dengan putrinya Ratu Pembajun.[7] Dia disebut Ratu Bagus Angke, karena ditempatkan didaerah dekat kali Angke di Jakarta. Ketika itu kali Angke merupakan perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Jayakarta sebelum dipindahkan dikemudian harinya ke sungai Cisadane. Nama Pangeran Tubagus Angke kini dijadikan nama jalan di Angke yang dahulunya bernama "Bacherachtsgracht".
Versi resmi sejarah kota Jakarta juga menyebutkan hal yang sama seperti yang ditulis di "Jakarta Dari Tepian Air Ke Kota Proklamasi" yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kusus Ibukota Jakarta, Dinas Museum Dan Sejarah,1988 serta buku kumpulan makalah diskusi yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI, Jakarta
ditahun 1997 ("Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutera").
RIVIERE QUI DEBORDE
Ratu Bagus Angke, atau Ra(Tu) bagus Angke, dinamakan mengikuti toponim setempat yaitu daerah kali Angke, dan nama Angke sendiri berasal dari bahasa Tionghoa, seperti sejarawan Denys Lombard menulisnya. Hal ini dimungkinkan karena orang Tionghoa sudah ada di Jakarta di abad ke 16 itu. Di Banten sendiri sudah ada orang Tionghoa sejak abad ke 12 dan 13. [8] Menurut Denys Lombard, Angke adalah berasal dari kata Tionghoa yang berarti "Riviere qui deborde', yakni kali yang (suka) banjir .[9] Apakah benar transliterasi Lombard ini ? Di pemukiman-pemukiman yang mayoritas penduduknya orang Tionghoa pada jaman dahulu, terutama di kawasan kota lama seperti di Jakarta Utara, tak jarang nama lokasi atau jalan berasal dari bahasa atau dialek Tionghoa.
Dalam bahasa Indonesia sendiri toponim Angke hampir tidak pernah dijumpai ditempat lain dan sering seseorang dinamakan berdasarkan sebutan toponiminya, seperti sebutan Sultan Ageng Tirtayasa (1651- 1682). Tirtayasa adalah nama sebuah desa dekat Serang , dimana ia mendirikan keraton baru dan tempat mengasingkan diri sementara di desa tersebut. Nama Ratu untuk seorang bangsawan laki mungkin agak membingungkan, karena biasanya nama Ratu diasosiasikan dengan nama seorang wanita. Tetapi dalam sejarah Indonesia, hal ini sering ditemukan sebagai nama gelar. Seperti seorang bangsawan Banten bernama "Ratu Bagus Buang" bersama guru agama Kiai Tapa (namanya diabadikan sebagai nama jalan di Grogol sekarang) pada tahun 1750 melakukan pemberontakan terhadap Ratu Syarifah Fatimah (keturunan Arab) dan Pangeran Syarif, sebagai penguasa Banten yang didukung oleh VOC ketika itu.
Ketika pada tahun 1750 dan baru sepuluh tahun peristiwa pembantaian orang Tionghoa terjadi (1740), Angke menjadi lagi sasaran penghancuran lagi, ketika pasukan Kiai Tapa bergerak maju ke Batavia dan menghancurkan wilayah pinggiran kota yang bernama Angke . [10] Kejadian seperti ini terulang kembali pada Mei 1998, dimana kawasan Angke menjadi salah satu sasaran awalnya.
Didepan nama Ratu juga sering ditambahkan dengan gelar Pangeran atau Panembahan sebagai gelar, seperti keturunan Sunan Gunung Jati yang menjadi Sultan di Cirebon seperti Panembahan Ratu I dan Panembahan Ratu II. Imam pertama Masjid Demak yang konon Pangeran Bonang (anak Sunan Ngampel Denta yang konon disebutkan sebagai keturunan Tionghoa) dipanggil "Pangeran Ratu" di Demak. [11] Anak-anak dari Pangeran Jayakarta juga dinamakan dengan nama Tubagus, seperti Tubagus Arya Suta dan Tubagus Wekas.[12]
ANGKE DAN ARUNG PALAKKA
Angke sebagai bagian kota tua dan bersejarah Jakarta, selain pernah terjadi peristiwa pembunuhan orang Tionghoa di tahun 1740 juga mempunyai cerita sejarah lain yang menarik seperti pada abad ke 17 itu juga, Arung Palakka berserta pengikutnya pernah bermukim di Angke pada tahun 1663 sebagai tempat penampungan dan pengungsian sementara di Batavia setelah terdesak oleh kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan ketika itu. [13]Kemudian di tahun 1666 Arung Palakka kembali bersama pengikutnya dan tentara VOC lainnya ke Makassar untuk menaklukan Sultan Hasanuddin dari kerajaan Gowa di Makassar.
Pengikut Arung Palakka ini adalah prajurit-prajurit tangguh yang disegani lawan (warrior) dan dinamakan "Toangke" , yakni "orang dari Angke" (People of Angke), dinamakan demikian karena tempat pemukimannya di Jakarta terletak di daerah sekitar kali Angke ketika itu. [14] Disini juga terdapat sebuah mesjid bersejarah yang menarik, baik dari segi sejarah maupun dari segi arsitektur. Mesjid ini dinamakan mesjid Angke, kini disebut sebagai Masjid Al- Anwar yang didirikan pada tahun 1761 untuk orang Bali pemeluk Islam yang bermukim di kampung Gusti dan dibangun oleh seorang kontraktor Tionghoa. Ketika itu banyak orang Bali yang tinggal di Batavia yang sebagian dijual oleh raja mereka sebagai budak.
Walaupun sudah diperbaiki beberapa kali, bangunan mesjid Angke ini masih menunjukkan campuran harmonis antara unsur-unsur bangunan Bali, Belanda, Jawa dan Tionghoa. Didepan masjid tua ini terdapat makam salah satu orang keturunan Sultan Pontianak, Alkadri (abad 19) bersama makam beberapa kerabat Arab lainnya. Dibelakang mesjid terdapat sebuah batu nisan kuburan tua yang terpahat tulisan "Nyonya Chen Men Wang Shi Zhi Mu". Nyonya Chen yang lahir sebagai Wang seorang wanita Tionghoa Muslim [15] Adanya kuburan Ny. Chen ini menimbulkan cerita, bahwa ia bersama suaminya, seorang Banten, mendirikan mesjid Angke ini.
Konon menurut seorang Belanda, Dr de Haan, dalam bukunya "Oud Batavia" menulis bahwa pada tahun 1621 seorang sekretaris Souw Beng Kong [16] , yaitu Gouw Tjay alias Jan Con , seorang tukang kayu Tionghoa Muslim dari Banten yang kaya, memperoleh tanah di kampung Bebek, yang terletak disebelah utara Angke. Ia hendak mendirikan masjid diatas tanahnya. Kalau informasi ini benar, maka inilah mesjid pertama di Batavia. [17]
Golden Horde , King Hian , Eddy PW. Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
REFERENSI :
atlasofmutualheritage.nl
geographicus.com
A. Heuken SJ, "Tempat-tempat bersejarah di Jakarta" ,
Hoesein Djajadiningrat, “Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten " , 1913
Claude Guillot , “The Sulanate of Banten”,
Denys Lombard , “Nusa Jawa: Silang Budaya 1”,
H.J. De Graff & TH. Pigeaud , “Kerajaan Islam Pertama Di Jawa”
Leonard Y. Andaya , “The Heritage Of Arung Palakka “
A. Heuken SJ ,”Mesjid-mesjid tua di Jakarta",
Mailing List Budaya Tionghua 24508 ,24479 , 24485, 24486