Bacaan Ringan "FAKTA MENGENAI REINKARNASI MENURUT ISLAM - PART 1"
http://massandry.blogspot.com
Sebenarnya kepercayaan tentang adanya surga, neraka, padang mahsyar, dan hari perhitungan dengan meniti jembatan setipis rambut dibelah tujuh, merupakan kepercayaan yang telah berkembang di Timur Tengah jauh sebelum hadirnya agama Islam. Kepercayaan ini telah mengakar. Islam yang datang di kemudian hari menyerapnya sebagai bagian dari kepercayaannya. Tentu, hal ini lebih menonjol di dalam Hadis daripada di Alquran.
Meskipun kepercayaan itu telah berkembang di masyarakat Timur Tengah, namun masyarakat Quraisy (Mekah) –terutama para elitnya– lebih menekankan pada keyakinan hidup dan mati hanya sekali. Maka, akhirat yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad saw mendapatkan sanggahan yang amat keras dari mereka. Keyakinan tentang kebangkitan, yaitu terciptanya kembali manusia seperti sedia kala (QS 18:48) ditolak mereka.
Diterimanya kepercayaan tentang akhirat, kiamat, surga dan neraka, telah mengesampingkan pandangan tentang reinkarnasi. Kelahiran kembali manusia di dunia ini dianggap mustahil bin mustahal. Semua ayat yang mengindikasikan adanya “kebangkitan” atau kelahiran kembali di dunia ini (QS 7:25) dipahami sebagai kebangkitan yang terjadi setelah dunia hancur lebur. Perhitungan tentang amal baik dan buruk dianggap ada setelah manusia dibangkitkan nanti.
Kiamat, surga dan neraka, telah menjadi “mind set”, menjadi suatu yang baku dalam pikiran umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Seolah-olah tidak diperlukan penjelasan tentang hal-hal itu. Seolah-olah kiamat itu merupakan peristiwa hancurnya alam semesta sebelum dicanangkannya kehidupan baru di dalam surga atau neraka. Padahal, yang semacam inilah yang pada abad-abad awal perkembangan agama Islam, atau awal perkembangan agama Yahudi dan Kristen, telah memicu konflik kepercayaan. Dalam, agama Islam misalnya, terjadi debat tentang bayi yang mati dimasukkan ke dalam surga atau neraka. Tentang jika bayi mati langsung masuk surga, mengapa orang yang bakal menjadi durhaka tidak dimatikan sejak bayi. Dan lain-lain. Nah, akibatnya umat tidak diberi teladan untuk berbuat kebaikan, tapi disibukkan dengan pertikaian.
Manusia Lahir Kembali sebagai Manusia?
Reinkarnasi, atau dilahirkan kembali tidaklah bermakna tunggal. Ada yang beranggapan bahwa kelahiran kembali itu dapat berwujud sebagai apa saja tergantung amalnya. Dapat dilahirkan sebagai manusia atau binatang. Atau, mungkin menjadi tumbuhan. Namun, bagi para spiritualis generasi sekarang, umumnya mereka beranggapan bahwa reinkarnasi itu proses hidup dari manusia ke manusia. Artinya, sebagai manusia, setelah kematiannya pada babak berikutnya akan dilahirkan sebagai manusia lagi. Tentu, ia akan dilahirkan sebagai manusia yang menderita atau bahagia itu tergantung pada amal perbuatannya.
Mengapa, jika reinkarnasi itu sebagai kebenaran bisa bermakna ganda? Ya, kebenaran adalah kebenaran. Kebenaran adalah kenyataan sebagaimana adanya, tanpa campur tangan manusia. Tetapi, ketika kebenaran itu coba dipahami oleh beberapa orang, maka makna yang diperolehnya belum tentu sama. Karena, kebenaran itu sendiri memiliki banyak sisi dan manusia yang mencoba memahami itu tergantung pada pengalamannya.
Oleh karena penjelajahan dan eksplorasi terhadap kehidupan manusia itu masuk kajian misteri, yaitu berada di balik sesuatu yang me-“materi”; maka kajian terhadap reinkarnasi tidak dapat dilepaskan dari pegangan orang yang mencoba memahaminya. Saya, tentunya juga tidak lepas dari teks-teks ajaran agama yang saya peluk. Jadi, meskipun pada sudut globalnya, yaitu saya menerima reinkarnasi, tapi ada nuansa lain dalam memahaminya.
Apakah kita akan dilahirkan sebagai manusia? Kalau hal ini kita coba tanyakan kepada orang-orang yang menyelidiki reinkarnasi melalui meditasi yang mengeksplorasi pengalaman hidup di masa lalu, tentu jawabannya akan beragam. Bagi yang merasa pernah menjadi binatang, jawabannya pasti dalam hidup ini kita bisa dilahirkan sebagai binatang. Bagi yang dalam penglihatannya di dalam meditasi itu tidak pernah mengalami sebagai hewan tentu akan menjawab bahwa reinkarnasi itu dari manusia menjadi manusia. Dan, ini tentu saja tidak dapat diperdebatkan.
Tapi, dalam kehidupan ini ada orang-orang yang mampu menimba sebanyak-banyaknya pengalaman hidup yang pernah dilaluinya di masa lalu. Mereka itu adalah para nabi, avatar, utusan dan yang setingkatnya. Mereka mampu membabar dan membeberkan kebenaran masa silam menjadi kitab-kitab suci atau lembaran-lembaran suci.
Nah sekarang marilah kita perhatikan ayat berikut ini
QS al-Kahf [18]: 48.
Wa ‘uridhû ‘alâ rabbika shaffâ laqad ji’tumûnâ kamâ khalaqnâ kum awwala marrah bal za‘antum allan naj‘ala lakum maw‘ida
Dan, mereka akan dibawa kepada Tuhan dikau dengan berbaris. Sesungguhnya kalian akan datang kepada Kami sebagaimana Kami ciptakan kalian pertama kalinya. Bahkan kalian mengatakan bahwa Kami tidak akan menetapi perjanjian.
QS al-An‘âm [6]: 94,
Walaqad ji’tumûnâ furâdâ kamâ khalaqnâ kum awwala marrah wa taraktum mâ khawwalnâ kum warâa zhuhûri kum wa mâ narâ ma‘a kum syufa‘â kum alladzîna za‘amtum anna hum fî kum syurakâ’ laqad taqattha‘a bayna kum wa dhalla ‘an kum mâ kuntum taz‘umûn
Dan sesungguhnya kalian akan datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana Kami menciptakan kamu pada mulanya. Kalian telah meninggalkan pada generasi berikutnya apa yang telah Kami karuniakan kepada kalian. Dan, Kami tidak melihat pemberi syafaat yang kalian anggap sebagai sekutu Tuhan itu bersama kalian. Sungguh telah terputus dan lenyap antara kamu dengan apa yang kalian anggap sebagai sekutu Tuhan.
Dua ayat di atas sebenarnya menjelaskan tentang kelahiran kembali manusia di atas bumi ini. Agar lebih jelas pemahaman ayat itu, mari kita perhatikan secara seksama kedua ayat tersebut.
Pertama, ayat pada al-Kahf menjelaskan bahwa manusia akan hadir di Hadapan Tuhan dalam shaf-shaf, berbaris. Tentu ini tidak dapat diartikan seperti tentara yang melakukan baris-berbaris. Mengapa? Karena Tuhan itu tan kena kinaya ngapa. Tuhan tidak dapat dibayangkan seperti apa pun. Dus, berbaris di Hadapan Tuhan harus dipahami sebagai hadir mengikuti aturan bekerjanya alam. Atau, mengikuti mekanisme alam.
Bagaimanakah mekanismenya? Nah, baik pada Surah al-Kahf maupun Surah al-An‘âm, diterangkan bahwa manusia akan datang kepada “Kami” secara sendiri-sendiri sebagaimana “Kami” menciptakan pada mulanya. Ya, sengaja kata “Kami” saya tempatkan dalam tanda petik, dan tidak saya ganti dengan kata “Tuhan”. Ada perbedaan di antara keduanya. Kalau disebut kata “Tuhan” itu memang yang dimaksud adalah Tuhan itu sendiri. Yang ditonjolkan adalah kebesaran-Nya. Perhatikan kalimat “mereka akan dibawa kepada Tuhan”.
Apa artinya kalimat tersebut? Artinya, hidup dan mati ini tidak dapat dilepaskan dari Kehadiran Tuhan Semesta Alam. Inilah cara mendidik manusia untuk mengeliminasi egoismenya. Agar di dalam hidup ini kita sadar bahwa kita ini dalam perjalanan menuju kepada Dia. Kita hidup tidak main-main. Meskipun mekanisme hidup itu bagaikan permainan dan sandiwara. Jadi, kita harus membedakan antara “mekanisme” dan “tujuan” hidup di dunia fana ini.
Kedua, tujuan hidup adalah kembali kepada Tuhan. Tapi, ketika yang disebutkan mekanisme kembali kepada Tuhan, maka kata “Tuhan” disebut dengan kata “Kami”. Ini kata yang bermakna “jamak”, plural. Mengapa dalam penciptaan manusia tidak disebut kata “Saya”? Ya, karena Tuhan itu tan kena kinaya ngapa. Dalam penciptaan manusia, Tuhan tidak mencipta seperti sosok makhluk yang berkuasa. Ada berbagai unsur yang dilibatkan dalam penciptaan manusia. Selain kedua orangtua, unsur lingkungan juga ikut menentukan.
Hakikat dari hakikat memang Tuhanlah yang menjadi pencipta. Tapi, di alam nyata ini ternyata Tuhan tidak menciptakan manusia, hewan, tumbuhan dan lain-lainnya dengan cara “sim salabim”. Penciptaan makhluk hidup melalui mekanisme perkembangbiakan di alam. Dan, untuk manusia, perlu kehadiran orangtua dan ketersediaan unsur-unsur pembentuk jasad hidup manusia. Di antaranya kandungan sel sperma per mililiternya harus sekian ratus juta, meski yang dibutuhkan hanya satu sel sperma.
Ketiga, manusia datang kepada “Kami” sendiri-sendiri. Perhatikan dengan seksama mengapa bukan datang kepada “Aku”. Karena, “Aku” adalah pribadi. Perintah mengabdi atau menyembah kepada Tuhan disebut dengan menyembah kepada “Nya”, “Engkau”, atau “Aku”. Ungkapan ini benar-benar bermakna Tuhan sendiri. Tetapi, “penciptaan” dan “datang” dikaitkan dengan kata “Kami”. Artinya apa? Ini artinya, penciptaan oleh Tuhan itu melalui segenap kehadiran unsur yang dapat dilihat dan disaksikan melalui indra manusia. Nah, datang kepada-Nya pun melalui mekanisme alam yang dapat dilihat dan disaksikan.
Maka, pada kedua ayat tersebut dikatakan bahwa datang kepada Tuhan itu sebagaimana Tuhan menciptakan pada mulanya. Inilah sistem penciptaan dan datang yang normal. Lahir sebagai manusia dan akan dilahirkan lagi sebagai manusia. Lahir sebagai bayi dan akan dibangkitkan (dikiamatkan) sebagai bayi. Inilah jalan untuk menjadi manusia sempurna. Karena, hanya dengan hadir sebagai manusia yang hidup manusia dapat meningkatkan amal baktinya dalam hidupnya.
Dengan proses semacam itu, Tuhan telah menetapi dan menepati janji-Nya, atau telah memenuhi perjanjian yang telah disetujui sang hamba seperti yang diungkapkan dalam QS al-A‘râf [7]: 172. Dengan proses lahir dan lahir lagi di bumi ini manusia diberi kesempatan untuk memperhatikan siapa dirinya dan bagaimana caranya untuk kembali kepada-Nya. Dengan lahir dan lahir berulang-ulang sebagai manusia, ia bisa meningkatkan kualitas dirinya untuk turut serta hamemayu hayuning bawana. Yaitu, sikap hidup untuk terus-menerus meningkatkan keindahan bumi yang diciptakan Tuhan dengan segenap kebaikannya. Maka, menurut konsep Jawa, insan kamil atau manusia sempurna adalah manusia yang dapat menjalankan AIU. Yaitu, aku ini urip, aku iki di-uripi lan ang-uripi. Dalam bahasa Indonesia, “saya ini hidup, semula dihidupi dan selanjutnya menghidupi”.
Dus, secara tata-cara alam, manusia sebenarnya makhluk yang sudah tumbuh menjadi sempurna. Dalam perjalanannya manusia berangkat sebagai makhluk sempurna untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang mampu menjadikan dirinya “AIU”. Hanya manusia sempurnalah yang dapat kembali kepada Yang Maha Sempurna, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Alquran disebutkan bahwa manusia itu diciptakan dalam ujud (bukan wujud) yang terbaik daripada sebagian besar makhluk-Nya.
Keempat, manusia tidak sama dengan hewan. Bila hewan mati, maka ia tidak meninggalkan apa-apa –kecuali bangkai– kepada generasi berikutnya. Manusia memiliki nilai. Karena itu, manusia ingin mewariskan nilai itu kepada generasi berikutnya. Nah, nilai itu dapat berupa hal yang material maupun yang imaterial. Yang imaterial adalah ajaran-ajaran tentang budi luhur. Sedangkan yang material adalah harta benda yang dalam ayat di atas disebut karunia Tuhan yang ditinggalkan kepada generasi berikutnya.
Kecaman pedas ditujukan kepada orang yang landasan hidupnya hanya berupa material. Banyak orang yang berpikiran bahwa harta benda dapat menyelamatkan dirinya. Ternyata, harta benda itu terpaksa ditinggalkan ketika mereka mengalami kematian. Apa yang dirasakan sebagai syafaat atau penolong dalam hidup sebelumnya, ternyata telah putus. Lenyap. Tidak lagi berfungsi seperti sebelumnya. Mengapa? Sebab, bilamana pada masa hidup sebelumnya kaya dan hanya mengandalkan kekayaannya untuk kelangsungan hidupnya, maka boleh jadi ia sekarang hidup dalam kondisi yang sebaliknya yaitu menderita kemiskinan.