Bacaan Ringan "MAK YATI, INSPIRASI DI HARI RAYA IEDUL ADHA 1433 H - PART 2"
http://massandry.blogspot.com
Mak Yati menabung susah payah untuk berkurban. Wanita yang berprofesi sebagai pemulung ini mengaku sempat ditertawakan saat bercerita seputar niatnya untuk berkurban.
"Pada ketawa, bilang sudah pemulung, sudah tua, nggembel ngapain kurban," cerita Yati kepada merdeka.com, Jumat 26 Oktober 2012.
Tapi Yati bergeming. Dia tetap meneruskan niatnya untuk membeli hewan kurban. Akhirnya setelah menabung tiga tahun, Yati bisa berkurban tahun ini.
"Pada bilang apa tidak sayang, mending uangnya untuk yang lain. Tapi saya pikir sekali seumur hidup masa tidak pernah kurban. Malu cuma nunggu daging kurban," ujar Yati.
Yati dan suaminya Maman sama-sama berprofesi sebagai pemulung. Pendapatan mereka jika digabung cuma Rp25 ribu per hari. tapi akhirnya mereka bisa membeli dua ekor kambing. Masing-masing berharga Rp1 juta dan Rp2 juta.
Dua kambing ini disumbangkan ke Masjid Al Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Jemaah masjid megah itu pun meneteskan air mata haru.
Yati dan sehari-hari tinggal di gubuk triplek kecil di tempat sampah Tebet, Jakarta Selatan. Tak ada barang berharga di pondok 3x4 meter itu. Sebuah televisi rongsokan berada di pojok ruangan. Sudah bertahun-tahun TV itu tak menyala.
Wanita asal Madura ini bercerita soal mimpinya bisa berkurban. Dia malu setiap tahun harus mengantre meminta daging.
"Saya ingin sekali saja bisa berkurban. Malu seumur hidup hanya minta daging," katanya.
Yati mengaku sudah lama tinggal di pondok itu. Dia tak ingat sudah berapa lama membangun gubuk dari triplek di jalur hijau peninggalan Gubernur Legendaris Ali Sadikin itu.
"Di sini ya tidak bayar. Mau bayar ke siapa? ya numpang hidup saja," katanya ramah.
Setiap hari Yati mengelilingi kawasan Tebet hingga Bukit Duri. Dia pernah kena asam urat sampai tak bisa jalan. Tapi Yati tetap bekerja, dia tak mau jadi pengemis.
"Biar ngesot saya harus kerja. Waktu itu katanya saya asam urat karena kelelahan kerja. Maklum sehari biasa jalan jauh. Ada kali sepuluh kilo," akunya.
Juanda yang menjaga masjid Al Ittihad terharu saat Yati bercerita mimpi bisa berkurban lalu berusaha keras mengumpulkan uang hingga akhirnya bisa membeli dua ekor kambing.
"Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil," gumamnya
"Pada ketawa, bilang sudah pemulung, sudah tua, nggembel ngapain kurban," cerita Yati kepada merdeka.com, Jumat 26 Oktober 2012.
Tapi Yati bergeming. Dia tetap meneruskan niatnya untuk membeli hewan kurban. Akhirnya setelah menabung tiga tahun, Yati bisa berkurban tahun ini.
"Pada bilang apa tidak sayang, mending uangnya untuk yang lain. Tapi saya pikir sekali seumur hidup masa tidak pernah kurban. Malu cuma nunggu daging kurban," ujar Yati.
Yati dan suaminya Maman sama-sama berprofesi sebagai pemulung. Pendapatan mereka jika digabung cuma Rp25 ribu per hari. tapi akhirnya mereka bisa membeli dua ekor kambing. Masing-masing berharga Rp1 juta dan Rp2 juta.
Dua kambing ini disumbangkan ke Masjid Al Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Jemaah masjid megah itu pun meneteskan air mata haru.
Yati dan sehari-hari tinggal di gubuk triplek kecil di tempat sampah Tebet, Jakarta Selatan. Tak ada barang berharga di pondok 3x4 meter itu. Sebuah televisi rongsokan berada di pojok ruangan. Sudah bertahun-tahun TV itu tak menyala.
Wanita asal Madura ini bercerita soal mimpinya bisa berkurban. Dia malu setiap tahun harus mengantre meminta daging.
"Saya ingin sekali saja bisa berkurban. Malu seumur hidup hanya minta daging," katanya.
Yati mengaku sudah lama tinggal di pondok itu. Dia tak ingat sudah berapa lama membangun gubuk dari triplek di jalur hijau peninggalan Gubernur Legendaris Ali Sadikin itu.
"Di sini ya tidak bayar. Mau bayar ke siapa? ya numpang hidup saja," katanya ramah.
Setiap hari Yati mengelilingi kawasan Tebet hingga Bukit Duri. Dia pernah kena asam urat sampai tak bisa jalan. Tapi Yati tetap bekerja, dia tak mau jadi pengemis.
"Biar ngesot saya harus kerja. Waktu itu katanya saya asam urat karena kelelahan kerja. Maklum sehari biasa jalan jauh. Ada kali sepuluh kilo," akunya.
Juanda yang menjaga masjid Al Ittihad terharu saat Yati bercerita mimpi bisa berkurban lalu berusaha keras mengumpulkan uang hingga akhirnya bisa membeli dua ekor kambing.
"Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil," gumamnya
-------------
Mak Yati, seorang pemulung di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, begitu bahagia ketika mendapat kabar dari pengurus masjid Al- Ittihad bahwa dua ekor kambing yang ia kurbankan telah disembelih. Dua ekor kambing itu dia beli dari hasil tabungannya selama tiga tahun.
"Mak sih tidak lihat saat kambing disembelih. Hanya dikasih tahu dari masjid kalau kambingnya sudah disembelih," kata Mak Yati dalam perbincangan di gubuknya, Tebet, Jakarta Selatan, Senin 29 Oktober 2012.
Bagi Mak Yati, yang penting baginya adalah niat menyumbangkan hewan kurban sejak beberapa tahun lalu bisa terlaksana. "Yang penting dagingnya sudah bisa dinikmati oleh orang-orang," kata dia.
Bagi Mak Yati, yang penting baginya adalah niat menyumbangkan hewan kurban sejak beberapa tahun lalu bisa terlaksana. "Yang penting dagingnya sudah bisa dinikmati oleh orang-orang," kata dia.
Dia mengaku telah tinggal di Jakarta sejak tahun 1960-an akhir. Sebelum menjadi pemulung sampah, wanita 65 tahun itu terlebih dahulu jatuh bangun menghadapi kejamnya Ibukota.
Berangkat dari kampung halamannya di Pasuruan, Jawa Timur, ke Jakarta, Yati berkeinginan mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Namun nyatanya, Jakarta tidak seperti yang ia bayangkan. Yati sempat menjadi tuna wisma layaknya gembel yang tidur di emperan toko pinggir jalan.
Berangkat dari kampung halamannya di Pasuruan, Jawa Timur, ke Jakarta, Yati berkeinginan mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Namun nyatanya, Jakarta tidak seperti yang ia bayangkan. Yati sempat menjadi tuna wisma layaknya gembel yang tidur di emperan toko pinggir jalan.
Sempat juga menjadi pemungut puntung rokok. Dari pekerjaannya tersebut, Yati akhirnya mendapatkan uang untuk makan sehari-hari.
Selang beberapa tahun, Yati beralih profesi. Ia mencoba peruntungan menjadi seorang pemulung. Dari hasil memulung, Mak Yati akhirnya bisa mendirikan tempat tinggal berupa gubuk reot berukuran 3x3 meter di kawasan Tebet Barat, Jakarta Selatan, yang ia tempati sekarang.
Bersama dengan suaminya Maman, Yati memulung sampah. Satu persatu barang-barang yang bisa dijual dia pisahkan.
Sebagai pemulung, penghasilannya tidak tetap. Kalau dirata-rata perhari ia bisa mendapatkan uang sebesar Rp25 ribu. Tapi, uang sejumlah itu dirasa sudah cukup untuk makan sehari-hari. "Apa saja pekerjaan yang penting bekerja, tidak meminta-minta," katanya.
Meski demikian, Mak Yati tetap mencari tambahan. Ia tak malu memungut sisa makanan hajatan di masjid yang tidak jauh dari gubuknya. Untuk bisa dapat makan, Yati terkadang membantu mencuci piring. Tidak jarang bila ada sisa makanan Yati membawa ke rumahnya untuk diolah kembali.
Yanti kerap mendapatkan sumbangan beras dari masjid. Semuanya dia syukuri. "Saya bertekad membalas apa yang saya terima dengan menyumbangkan kambing untuk dikurbankan," ucapnya.
Selama tiga tahun, Yati mengumpulkan uangnya sedikit demi sedikit. Terkadang uang yang sudah terkumpul dipakai untuk membayar utang.
"Saya terus nabung, sisihkan uang, sudah banyak, pas saya lihat ternyata ada utang, saya bayar utang dulu," ucap Yati.
Sampai akhirnya uang terkumpul banyak. Pun niat berkurban pada Idul Adha kemarin akhirnya tercapai. "Saya sudah punya niat. Itu modal utama saya. Saya tidak punya modal apa-apa, hanya niat, dan itu harus saya jalankan sampai akhirnya terkumpul uang sebanyak itu," kata Yati.
Tidak tanggung-tanggung, Yati membeli dua ekor kambing yang masing-masing seharga Rp2 juta dan Rp1 juta. Para tetangganya kaget dan tidak menyangka. "Tetangga pada bingung, buat apa gembel beli kambing sampai dua, untuk makan saja susah," katanya.
Namun Yati tidak mempedulikan omongan miring tersebut. "Biar orang bilang gembel, untuk apa kurban. Mestinya justru nerima kurban, tapi saya memang sudah niat," katanya.
Setelah membeli dua kambing, Yati meminta kepada penjual untuk mengantarkannya ke Masjid Al- Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan.
Ketika Kambing diserahkan, jamaah dan pengurus masjid sempat kaget penyumbangnya adalah seorang pemulung. Namun respons Yati ketika itu biasa saja. "Ya wajar lah mereka kaget, ada gembel, pemulung yang sumbang kambing untuk dikurban," ucap dia.
Yati tetap yakin, meski sebagai pemulung di mata Tuhan yang terpenting adalah akhlaknya. "Kalau pun saya pemulung, Gusti Allah yang menilai apa yang saya lakukan," ujarnya. (umi)