Bacaan Ringan "CERITA PANJANG KRIMINALITAS DI JAKARTA SEJAK JAMAN DULU PART 1"
http://massandry.blogspot.com
Kejadian yang mengusik rasa aman warga Jakarta, juga warga kota lain di Indonesia, sesungguhnya berlangsung sejak era kolonial. Sebagai kota besar dengan pertumbuhan dan perkembangannya, pula keragaman warganya, Jakarta punya daya tarik. Kota ini seolah menjadi penampungan berbagai etnis di Indonesia yang datang karena berbagai alasan. Ekonomi menjadi salah satu alasan warga luar Jakarta menggantungkan nasib. Jakarta dipandang menyediakan lahan yang secara ekonomis menjanjikan kehidupan lebih baik.
Di sisi lain, ada masyarakat yang menganggap kemajuan Jakarta justru menciptakan ruang sosial ekonomis. Mereka memandang pembagian Jakarta secara administratif juga berlaku bagi mereka. Dengan kata lain, ada ruang bagi mereka untuk mengatur dan menguasai wilayah dan sumber ekonomi di dalamnya. Para penguasa lokal ini terdiri dari para jagoan atau ada kalanya disebut preman. Merekalah penguasa sesungguhnya atas wilayah itu.
Jagoan juga sarat dengan unsur kekuasaan, magis, dan kharisma. Dalam sejarah Indonesia, jagoan bermakna pula sebagai sebutan bagi pahlawan lokal, pemberani, pelaku kriminal, orang kebal atau orang yang memiliki kekuatan gaib, atau perantara kekuasaan. Jagoan identik dengan kekuatan, kekebalan, kekerasan, kejahatan, dan kekuasaan.
Kategori tersebut tak dapat dilepaskan dari pandangan masyarakat tentang sosok jagoan. Seorang jagoan menempati kedudukan istimewa di masyarakat karena berbagai kelebihan yang dimilikinya, termasuk dihormati dan bahkan ditakuti. Dalam hal ini jagoan dapat dipandang sebagai modal sosial dan politik bagi individu, organisasi, dan negara. Oleh penguasa, jagoan dimanfaatkan sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, serta dipakai sebagai penarik pajak, pengawas kerja paksa, dan tugas lain yang berkaitan dengan penguasa. Jagoan digunakan pula untuk mengawasi jagoan lain dalam rangka keamanan dan ketertiban di wilayahnya, atau dengan kata lain “menangkap maling dengan maling” dipraktikkan penguasa untuk mengelola pemerintahan.
Pada 1950-an, jagoan terkenal di Jakarta Kota membantu kepolisian memberantas pencoleng yang meresahkan warga Jakarta Utara. Kerja sama serupa antara jagoan dan kepolisian untuk mengatasi masalah keamanan di Jakarta juga terjadi di Glodok dan Pintu Kecil. Di kedua wilayah terakhir, para pedagang menyanggupi kepada kepolisian untuk mengumpulkan sejumlah uang yang kemudian dipakai membentuk satu organisasi jagoan. Mereka memandang perlu ada organisasi jagoan untuk mengatasi masalah pencurian atau perampokan yang kerap terjadi.
Pada awal 1950-an keamanan di Jakarta memang meresahkan. Pada awal Januari 1951, misalnya, tercatat terjadi 300 kasus kejahatan di Jakarta. Sejak awal tahun itu pula, banyak organisasi penjaga keamanan bermunculan di Jakarta untuk menjaga rumah dan kawasan niaga. Kesan bahwa organisasi tersebut sebagai “laskar” dalam bentuk lain tak dapat dielakkan. Di beberapa organisasi itu, mereka yang pernah berjuang di front sekitar Jakarta/Jawa Barat bergabung di dalamnya. Diperkirakan terdapat tiga belas ribu anggota dari tiga puluhan organisasi penjaga keamanan yang tersebar di Jakarta pada awal 1950-an. Namun, hingga April 1954, hanya dua puluh organisasi penjaga keamanan yang disahkan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKBDR), termasuk Cobra yang dibentuk oleh Imam Sjafe’i atau Pi’i atau bang Pi’i, tokoh penting di wilayah Senen dan sekitarnya sejak akhir kolonial Belanda.Letkol. Imam Sjafe’i (Menteri Negara Diperbantukan kepada Presiden Khusus Urusan Pengamanan, 1966.)
Dialah jagoan Senen sejak era Koempoelan 4 Cent pada masa akhir Hindia Belanda hingga akhir kekuasaan Presiden Soekarno, bahkan ia dijebloskan ke Penjara Nirbaya pasca peristiwa G30S. Karena disegani dan ketokohannya, foto Pi’i sebagai jagoan Senen dipasang di setiap toko atau tempat hiburan, biasanya di dekat meja kasir, menjadi jaminan bagi si pemilik toko atau tempat hiburan bahwa tempat usahanya tidak akan ada yang mengganggu.
Koempoelan 4 Cent yang bermarkas di Senen adalah organisasi pencopet. Anggotanya sebagian berasal dari luar Jakarta. Nama kelompok ini berasal dari uang empat sen yang diberikan setiap anggota sebagai “fonds pertoeloengan” atau “djaminan”. Dana kemudian dipakai untuk anggota yang mendapat kesulitan atau ditangkap polisi. Koempoelan 4 Cent juga mempunyai aturan bahwa jika seorang anggota ditangkap polisi, maka ia tidak boleh melawan. Namun, jika yang menangkap adalah masyarakat atau bukan anggota kepolisian, maka kelompok ini akan melakukan pembalasan terhadap mereka.
Koempoelan 4 Cent dibentuk karena banyak kelompok yang beroperasi di wilayah Senen, baik di stasiun maupun pasar, sering bersaing. Anggota satu kelompok dengan anggota kelompok lain juga tidak saling mengenal. Di bangsal stasiun contohnya, ada empat komplotan yang masing-masing mempunyai tiga hingga empat anggota. Para pimpinan pencopet atau jagoan Senen ini adalah Boesong, Galing, Ketol, Mariang, dan Senan, dengan jumlah anggota keseluruhan mencapai puluhan orang. Jumlah anggota komplotan yang beroperasi di stasiun dengan di pasar daging saja mencapai tiga puluh orang. Lima kongsi pencopet inilah yang menguasai Senen sebelum terbentuk Koempoelan 4 Cent.
Organisasi penjaga keamanan yang disebut di atas berada di perumahan dan kawasan niaga. Organisasi tersebar di berbagai tempat di Jakarta dan kekuasaan mereka dibagi dalam beberapa rayon atau kecamatan. Di tempat yang telah ditentukan pemerintah dan aparat keamanan inilah mereka berjuang menghidupi diri dan keluarga, organisasi serta membangun solidaritas. Perebutan ruang dan properti dalam bentuk perumahan, kawasan bisnis, tanah tak bertuan, atau harta benda milik warga Belanda menjadi bagian dari keberadaan organisasi itu untuk bertahan di Jakarta. Oleh karena itu, pemeritah kemudian mengusulkan agar dibentuk semacam federasi (bond) dari organisasi penjaga keamanan yang ada, mempunyai tempat atau markas untuk setiap organisasi.
Kedua puluh organisasi penjaga keamanan yang disahkan merupakan seleksi dari tiga puluh satu organisasi penjaga keamanan yang diberi izin sementara oleh militer. Sejak awal kehadiran kelompok pengamanan itu, militer memegang peranan penting di dalamnya. Seleksi pun harus dilakukan karena kerap terjadi penyimpangan dalam operasional organisasi penjaga keamanan. Sebagai persyaratan, setiap anggota organisasi penjaga keamanan harus disertai pas foto dan stempel dari KMKBDR. Wilayah kerja organisasi juga dibagi atas beberapa rayon atau kecamatan. Beberapa kasus menyangkut organisasi kerap terjadi dan salah satunya adalah kasus yang menimpa kelompok Ular Belang. Disebutkan bahwa aparat keamanan menangkap dua puluh anggota Ular Belang karena menggunakan seragam tentara saat memaksa penduduk supaya menjadi pelanggan jasa keamanan mereka. Kasus lain adalah ketidaktertiban dalam penagihan uang keamanan kepada para pelanggan. Satu perusahaan dapat saja ditagih oleh lebih dari satu organisasi. Uang keamanan menjadi sumber kekisruhan dalam pengaturan dan pembagian wilayah organisasi. Pihak militer kemudian menertibkan semua organisasi yang ada agar dalam satu rumah atau perusahaan hanya ada satu uang keamanan untuk satu organisasi penjaga keamanan.
Kelompok Cobra adalah satu-satunya di antara kedua puluh organisasi penjaga keamanan yang mendapat izin beroperasi di dua rayon atau kecamatan yang saling berdekatan yaitu Salemba dan Senen. Meskipun anggota kelompok Cobra punya latar belakang perjuangan, organisasi ini tidak berkembang menjadi gerakan sosial yang berbahaya bagi pemerintah. Pembentukan Cobra bukan hanya untuk menampung eks anak buah Pi’i di masa revolusi baik yang bekas laskar maupun bukan, yakni mereka yang disegani atau menjadi jagoan di kampungnya, tapi juga untuk menguasai dan mengendalikan wilayah Senen dan sebagian Jakarta.