Bacaan Ringan "CERITA PANJANG KRIMINALITAS DI JAKARTA SEJAK JAMAN DULU PART 2"
http://massandry.blogspot.com
Para jagoan lokal itu menjalin kontak dengan kepolisian untuk mengatasi keamanan di Jakarta. Di sisi lain, batas penggunaan kekerasan secara legal dan ilegal untuk mengganggu ketentraman dan ketertiban pemerintahan sangatlah tipis. Maka, suatu pemerintahan yang bersandar pada kekerasan dan bukan pada hukum mengakibatkan banyak jagoan digunakan untuk menjalankan tugas pengamanan.
Jagoan juga memiliki kontak dengan partai politik atau serikat buruh sejak muncul organisasi ini di masa pergerakan. Partai Komunis Indonesia (PKI) misalnya memiliki kontak dengan para jagoan sejak 1920-an. Di Jakarta, PKI melalui Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran (SBPP) membangun hubungan dengan jagoan Tanjung Priok terutama asal Banten. Di wilayah pelabuhan ini, jagoan bertindak sebagai mandor dan perekrut buruh pelabuhan, yang sebagian besar berasal dari kampung atau daerah asal jagoan. Pelabuhan Tanjung Priok merupakan pelabuhan ekspor-impor yang sangat sibuk di Hindia Belanda. Maka, kebutuhan tenaga kerja untuk pelabuhan sangat besar, termasuk buruh bongkar-muat barang dari kapal ke gudang atau sebaliknya.
Kaum buruh pelabuhan menganggap mandor sebagai jagoan di wilayah kerja dan tempat tinggal mereka. Para jagoan pelabuhan Tanjung Priok juga berperan menghubungkan antara aktivis partai atau serikat buruh dan buruh pelabuhan. Pencurian kecil yang terjadi setiap hari di pelabuhan diketahui oleh aktivis serikat buruh, tetapi mereka tidak dapat berbuat maksimal untuk menghentikan aksi ini. Dua hal dapat menjelaskan sebabnya, pertama adalah pencurian dilakukan karena motif ekonomi atau barang curian hanya dipakai untuk kebutuhan sendiri dan bukan untuk meraup keuntungan dari penjualan barang di pasar gelap sekitar Tanjung Priok. Kedua adalah alasan taktis bahwa serikat buruh tidak ingin kehilangan pendukung atau simpatisan hanya karena menyoal pencurian kecil ini.
Mandor, yang tak lain seorang jagoan di mata buruh pelabuhan, sangat penting dalam rekrutmen buruh pelabuhan untuk dipekerjakan di perusahaan bongkar-muat barang. Kedudukan sebagai perantara ini menunjukkan peran penting jagoan dalam hubungan yang bersifat ekonomis, politis maupun sosial seperti di atas. Pola hubungan sejenis terus berlangsung hingga ke tahun berikut. Jagoan pun dapat memainkan dua peran sekaligus yakni ke atas kepada penguasa/pemilik perkebunan/pemilik perusahaan dan ke bawah kepada rakyat biasa/buruh. Peran jagoan sebagai perantara dalam hubungan yang bersifat politis diperlihatkan oleh jagoan Senen, Pi’i, yang dikenal dekat dengan Jenderal A. H. Nasution dan para perwira di tubuh Divisi Siliwangi, Jawa Barat.
Pi’i disebut sebagai salah satu tokoh yang punya andil memobilisasi para demonstran dalam peristiwa 17 Oktober 1952 di depan Istana Negara. Peristiwa nasional pertama yang menyebut keterlibatan Pi’i adalah rapat Ikada (kini Lapangan Monas) di Jakarta pada 19 September 1945. Ia dikatakan berperan menggerakkan massa untuk menghadiri rapat tersebut.
Nama Pi’i kembali disebut saat terjadi gelombang demonstrasi mahasiswa terhadap Presiden Soekarno pada pertengahan 1960-an. Oleh para demonstran, Pi’i mendapat julukan sebagai ketua bajingan di Jakarta, ketua perkumpulan copet Cobra di Jakarta, penguasa “dunia bawah” Jakarta, dan ahli teror. Pada 1966, Pi’i menduduki posisi sebagai menteri negara khusus urusan pengamanan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa jagoan tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan atau ketergantungan kepada orang lain. Pendapat bahwa jagoan tidak dapat berkembang tanpa mempunyai hubungan dengan lembaga resmi atau kekuasaan mungkin benar, jika penjelasan di atas dapat dijadikan rujukan, setidaknya menggambarkan peran jagoan sebagai perantara dalam hubungan yang bersifat ekonomi, politik, atau sosial. Kendati jagoan sebagai perantara dalam panggung kekuasaan, peran yang dipegang jagoan ini sangat penting dalam keseluruhan alur kisah tentang kekuasaan yang melibatkan jagoan di dalam hubungan ini.