Kisah Jakarta "MAJALAH KOMUNITAS LINTAS TEBET"
SELAMA LEBIH dari enam bulan, dari Oktober 2002 sampai April 2003, warga Tebet di Jakarta Selatan bisa dibilang beruntung karena pernah memiliki Lintas Tebet. Majalah komunitas ini membahas isu-isu yang terjadi di Tebet saat itu, seperti sejarah Tebet, kebakaran, keamanan, banjir, dan kenaikan harga. Semua interaksi langsung Lintas Tebet, selalu mengangkat warga sebagai narasumber utama, termasuk menampilkan profil warga dengan berbagai profesi unik mereka, dan segala informasi menarik lain seputar Tebet. Berikut adalah wawancara bersama Nugroho Nurdikiawan, salah satu editor Lintas Tebet yang akhirnya saya temukan setelah pencarian panjang melalui internet.
Mengapa majalah komunitas?
Di tahun 2002 itu, kami semua kebetulan ingin melakukan sesuatu yang berguna sekaligus unik, entah mengapa, keluarlah ide majalah komunitas. Saat itu referensi kami adalah majalah komunitas lain yang berdasarkan lokasi, tapi kami tidak mau seperti majalah komunitas di Kelapa Gading atau Kemang yang terlalu komersial dengan orientasi iklannya. Kami ingin sesuatu yang bermanfaat dengan informasi yang benar. Wilayah komunitas itu sendiri, sebenarnya hanya faktor tambahan, namun karena kebetulan saya lahir dan tinggal di Tebet sampai sekarang, dan teman-teman lain seperti Yusuf, Intan, Riana, Ika, dan Yoyok, pernah kos cukup lama di Tebet, kami akhirnya memutuskan Tebet sebagai lokasi. Saat itu sudah terbayang, kami bisa bicara tentang air, keamanan, yang memang akan lebih baik kalau terkait dengan permasalahan di Jakarta secara umum, tapi kalau pun tidak, yang jelas isu-isu sosial itu benar-benar terjadi di Tebet.
Berarti Lintas Tebet sebenarnya bisa dibuat di mana saja? Dan selain karena memang akrab dengan wilayahnya, mengapa kalian memilih Tebet?
Bisa saja, selama kamu tahu bagaimana mengemas isi majalah yang tidak membosankan, dan itu hanya bisa terjadi kalau kamu memang mengenal daerahnya. Karena kami menetapkan wilayah secara legal berdasarkan Kecamatan, kami juga sempat melihat kemungkinan lain seperti Menteng atau Kelapa Gading, tapi keduanya terlalu homogen secara sosial. Kalau pun ada ketimpangan, tidak seperti di Tebet yang memang heterogen. Baik secara ekonomi, sosial, keamanan, atau pekerjaan warganya, akan lebih menarik kalau belang-belang seperti di Tebet, hal yang juga membuat kami tidak pernah khawatir akan kehabisan ide. Tebet itu macam-macam, dari yang kaya sampai miskin, yang kebanjiran dan yang tidak. Kamu mau bicara tentang fasilitas olahraga, dari usaha pom bensin sampai servis Bajaj, semuanya ada di Tebet.
Begitu banyak pendapat warga di sini, apakah itu termasuk pendekatan sosial yang dimaksud?
Lintas Tebet memang tentang komunitas. Kami bertanya langsung pada warga, termasuk usul mereka tentang tema mendatang. Salah satu alasan mengapa Lintas Tebet harus gratis, agar terjadi pemerataan informasi, dan yang paling penting, semua warga benar-benar bersuara. Jadi narasumbernya itu orang-orang biasa, dari tukang sayur, ibu rumahtangga, sampai anak kecil yang lagi main bola. Profil warga kami juga aneh-aneh, dari tukang gali kubur, petugas Gawat Darurat di Puskesmas, pelatih tari, mereka yang sebenarnya berperan untuk orang banyak, dan harus unik, kalau pun tidak, isinya kami buat menarik.
Seperti apa kalian waktu pertama kali mencari berita?
Sejak awal, kami memang tidak punya bayangan Lintas Tebet akan sampai berapa lama, satu edisi saja, itu bahkan sudah pencapaian buat kami, dan kami juga sudah meramalkan hal itu akan terjadi. Coba bayangkan, saat itu kami belum punya contoh majalah apapun. Siapa kami? Datang ke kampung, masuk-masuk rumah orang, sok wawancara, berburu orang tua yang mungkin tahu tentang sejarah Tebet, dan tak ada satu pun yang kami kenal. Untungnya, orang-orang akhirnya percaya, bahkan di edisi pertama tentang sejarah Tebet itu, ada tulisan dari orang Dewan Kelurahan Menteng Dalam.
Apa tanggapan warga setelah Lintas Tebet terbit?
Senang, ya. Isinya tentang mereka, yang bicara mereka, gratis (selalu menarik, kan kalau gratis?) Dua ribu eksemplar itu kami distribusikan di tempat-tempat aneh yang ramai. Tak lama, ada beberapa sukarelawan yang membantu mencari narasumber, ada beberapa donatur, bahkan di Tebet Barat, ada Pak RW yang membeli 20 eksemplar untuk dibagikan ke RT-nya. Bahkan kami pernah wawancara sampai 1,5 jam, orangnya cerita macam-macam, kami diajak makan, sampai bingung, “Pulangnya bagaimana, ini?”
Ada beberapa ulasan yang dibahas secara luas dalam konteks umum Jakarta, seperti tentang ‘utang najis’ negara dalam tema kenaikan harga, atau warga Senayan yang digusur ke Tebet di akhir tahun 50-an dalam tema sejarah Tebet…
Untuk setiap laporan, kami berusaha mencari referensi lain, standar, dari google.com, dan terkadang kami cukup beruntung, seperti ‘utang najis’ itu. Namun suara warga tetap harus lebih dominan, walau terkadang suka tidak jelas, seperti asal nama Tebet itu. Mulai dari cerita tentang adanya suami orang kaya dari Tibet, atau karena dulu Tebet itu hutan lebat, semua kami tulis. Selain itu, menjaga sifat heterogennya, bagaimana warga dari berbagai tempat harus terwakili semua, misalnya kami tetap bertanya pada mereka yang tidak mengalami kekeringan air, karena pasti tetap ada komentar dan solusi. Sekaligus melakukan pemetaan, kami jadi tahu daerah mana yang rawan, misalnya, juga potensi-potensi menarik lain untuk menjadi berita.
Termasuk menjadi mediator antara warga dengan pemerintahannya, juga antara sesama warga?
Kami jadi terbiasa masuk Kantor Polisi, bahkan kami pernah diminta untuk melihat daerah-daerah rawan Narkoba, juga mencarikan orang Cina yang mau jadi polisi, mungkin demi belang-belang itu juga (tertawa). Orang-orang Kecamatan juga sangat terbuka dengan skema kerja, transparansi dana banjir, dan rencana pembangunan Tebet. Yang pasti, kami harus sopan, cerdas, dan selalu konfirmasi. Setiap wawancara terekam kami anggap valid. Setiap ada hal sensitif, kami selalu bertanya, “Bagian itu nanti boleh saya tulis, ya, Pak?” Entah mengapa mereka sangat terbuka, mungkin karena isi Lintas Tebet itu sendiri. Tentang tulisan dari warga, awalnya sepertinya meringankan pekerjaan, padahal khawatir setengah mati, dari tulisan Pemadam Kebakaran yang cuma lima paragraf sampai dari LSM yang sudah tidak sabar dengan 1500 katanya (tertawa).
Pernah ada tema yang sulit?
Tema Kenaikan Harga itu susah. Kami sulit menggali jawaban dari wawancara warga. Mungkin edisi itu harus ada orang ekonominya, ya. Untung ada artikel tentang ‘hutang najis’ itu, dan kebetulan bertepatan dengan isu anggaran belanja DKI Jakarta (tertawa).
Mengapa Lintas Tebet hanya sampai 6 edisi?
Di saat bersamaan, kami mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing, mulai pekerjaan lain dan ujian kuliah. Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti terbit. Kami kembalikan uang dari pemasang iklan untuk edisi mendatang. Tentu ada yang bertanya, seperti dari Puskesmas dan beberapa sekolah, juga dokter yang berniat menjadi donatur.
Padahal, di edisi terakhir, Lintas Tebet pernah menyalurkan bantuan untuk korban kebakaran, ya?
Ya. Di bulan Maret 2003 itu, ada kebakaran besar di Manggarai, sampai kami mengganti tema yang semula tentang kesehatan. Sebelumnya, memang banyak usul untuk mengadakan acara warga, karena ternyata banyak dari warga yang berniat baik tapi tidak tahu bagaimana caranya. Karena itu, ketika ada kebakaran, kami membantu menyalurkan sumbangan ke 4 SD di Manggarai, agar murid yang rumahnya terbakar bisa membayar uang sekolah sampai akhir tahun ajaran, dengan kekurangan sumbangan dibantu oleh Rotary Club, klub filantropis yang langsung menghubungi kami.
Apa yang terjadi kalau Lintas Tebet masih ada?
Mungkin kami akan membuat acara warga yang lain, atau menulis tema hiburan, kehidupan ABG, misalnya, atau hiburan yang dicari orang luar Tebet kalau datang ke Tebet, atau sejarah bioskop Wira, kenapa filmnya mesum semua…
Pernah ada tanggapan dari luar Tebet?
Sempat ada yang datang dari Malang dan Depok, karena mereka juga ingin membuat majalah komunitas. Komentar lain kebanyakan positif, termasuk heran kenapa saya mau capek-capek membuat Lintas Tebet (tertawa). Kritik paling banyak itu soal valid atau tidaknya informasi kami. Mungkin karena mereka belum terbiasa dengan media seperti ini, yang sebenarnya tidak masalah untuk – dan memang bisa – diragukan. Bagi kami, semuanya valid, karena ada proses diskusi dan penyuntingan, kami juga tahu siapa narasumber kami, tempat tinggal mereka, dan semuanya sesuai dengan niat awal kami untuk menjadikan warga biasa sebagai narasumber, siapapun mereka.
Bagaimana hubungan Lintas Tebet dengan pembaca? Terutama karena faktor gratis yang mudah menghilangkan tanggungjawab media, seperti yang marak terjadi pada majalah-majalah gratis saat ini?
Yang membuat kami berbeda, karena ada interaksi langsung dengan warga, tanpa itu, isi Lintas Tebet juga tidak ada. Itu yang membuat kami selalu hati-hati. Warga tahu siapa kami, tinggal di mana, terkadang juga nomor telepon genggam kami, kami juga selalu keliling kampung. Kehadiran itu yang ‘menjaga’ kami. “Kalau kutipan ini salah, bisa mati ini, dia orang situ!” (tertawa). Pak Camat tahu kami. Apalagi polisi; mereka punya foto kami, tahu rumah kami, apalagi di tiap Kelurahan memang ada mata-mata polisi. “Kamu tinggal di situ, kan? Nanti saya mampir, ya?” “Iya, Pak. Iya, Pak.” (tertawa).
Apa pendapatmu tentang Tebet?
Sebagai kecamatan, Tebet itu punya wajah yang berbeda-beda. Kalau ada yang bilang, Tebet itu biang nyasar, di Tebet Timur atau Barat masih lebih baik. Coba kamu pergi ke Manggarai Selatan, deh. Ya ampun. Kamu masuk dari Jembatan Merah, maju sedikit, ke dalam lagi sampai ada masjid, lalu Menara Air – jalannya memang besar, tapi tetap saja kamu bisa nyasar. Sebelum Lintas Tebet ini, saya bahkan tidak tahu apa-apa tentang MarSela (Manggarai Selatan) itu… Namun Tebet itu nyaman. Berada di Jakarta Selatan tapi termasuk di tengah kota. Jalan kaki dan bersepeda lumayan nyaman. Walau ada beberapa tempat yang tidak terjangkau tranportasi umum, seperti di jalur hijau, transportasinya masih termasuk mudah. Tempat makan minta ampun banyaknya, keamanan juga tidak terlalu bermasalah. Kalau pun ada kekurangan, wajar ya, namanya juga Jakarta. Dibandingkan tempat lain, tinggal di Tebet itu lebih enak, terutama karena belang-belang-nya itu.
Setelah menjalani Lintas Tebet, apa pendapatmu sekarang tentang warga Tebet?
Kalau ternyata masalah mereka, dalam skala lebih kecil, tidak kalah banyak dengan masalah di tingkat nasiopnal. Selain itu, mereka yang terkena musibah banjir atau kebakaran, masih bisa tersenyum. Orang-orang di bantaran Ciliwung pernah berkata, kalau mereka tidak begitu pusing dengan banjir, karena mereka lahir, besar, berkeluarga, mencari uang di sana – tanpa mengecilkan kesulitan mereka – mereka tidak terlalu sedih karena sudah biasa, daya juang mereka sangat tinggi. Warga Tebet itu juga cukup terbuka. Bayangkan, mereka sampai mengajak kami, orang yang tidak mereka kenal, masuk rumah mereka untuk mengobrol dan wawancara dengan ramah.
Kalau ternyata masalah mereka, dalam skala lebih kecil, tidak kalah banyak dengan masalah di tingkat nasiopnal. Selain itu, mereka yang terkena musibah banjir atau kebakaran, masih bisa tersenyum. Orang-orang di bantaran Ciliwung pernah berkata, kalau mereka tidak begitu pusing dengan banjir, karena mereka lahir, besar, berkeluarga, mencari uang di sana – tanpa mengecilkan kesulitan mereka – mereka tidak terlalu sedih karena sudah biasa, daya juang mereka sangat tinggi. Warga Tebet itu juga cukup terbuka. Bayangkan, mereka sampai mengajak kami, orang yang tidak mereka kenal, masuk rumah mereka untuk mengobrol dan wawancara dengan ramah.
Nugroho Nurdikiawan , Editor Majalah Komunitas "LINTAS TEBET"
http://massandry.blogspot.com
http://massandry.blogspot.com