http://massandry.blogspot.com
Blue Band [1936]
BLUE Band pertama kali diproduksi di Batavia pada 1936. Blue Band juga menjadi produk makanan pertama yang dihasilkan Van den Bergh NV, milik Unilever, gabungan perusahaan margarin asal Belanda, Margarine Unie, dan pabrik sabun Lever Brothers asal Inggris. ”Sejak pertama kali diluncurkan, Blue Band sudah menjadi merek kuat yang memimpin pasar dengan kompetitor utama mentega dan margarin impor, seperti Palmboom,” kata Agus Nugraha, Brand Manager Blue Band PT Unilever Indonesia.
Aslinya, Blue Band pertama kali dibuat di Belanda untuk diekspor ke Inggris pada awal abad ke-20. Pada 1920, produk ini kemudian dipasarkan di negara asalnya dan langsung menjadi produk utama Belanda. Blue Band saat itu juga mulai masuk ke Indonesia melalui perusahaan Van den Bergh, Jurgen and Brothers.
Sebagai salah satu merek tertua di Unilever, Blue Band sempat pula mengalami masa sulit di era 1957-1967, ketika terjadi ketidakstabilan politik dan ekonomi di Indonesia. Kondisi serupa terulang pada 1997-1998 saat krisis ekonomi menimpa Indonesia. ”Daya beli masyarakat menurun, berdampak pada penjualan Blue Band,” Agus menjelaskan. Nah, ketika krisis global kembali menerjang pada 2008, Blue Band mencoba menyiasatinya dengan memperkenalkan kemasan sekali pakai 17 gram yang dibanderol Rp 700 agar terjangkau semua lapisan masyarakat.
Strategi lainnya yang sudah diterapkan Blue Band sejak 1978 adalah lewat kampanye di media massa yang mengedepankan kesehatan dan gizi. Kampanye pertama di televisi pada 1978, misalnya, berbunyi, ”Buatlah hari mereka menyehatkan.” Nah, untuk tahun ini, Blue Band meluncurkan kampanye ”Bekal tumbuh besar Blue Band” yang berisi ajakan kepada para ibu untuk menyediakan bekal makanan bagi anak ketimbang uang jajan.
SOEYATI Soekirman tak pernah luput membawa Davos. Nenek 68 tahun warga Banyumas ini sudah puluhan tahun menggemari permen itu. ”Orang-orang tua memang konsumen loyal kami,” kata Nicodemus Hardi, Managing Director Operasional PT Slamet Langgeng, produsen permen Davos. Permen ini dirintis oleh Siem Kie Djian pada 28 Desember 1931. Lokasi pabriknya tetap sama hingga kini: Jalan Ahmad Yani 67, Kelurahan Kandang Gampang, Purbalingga, Jawa Tengah. Perusahaan dilanjutkan anaknya, Siem Tjong An. Enam tahun berikutnya, bisnis diteruskan lagi ke anak dan menantu Tjong An: Toni Siswanto Hardi dan Corrie Simadibrata. Kini perusahaan tersebut dipimpin oleh Budi Handojo Hardi, generasi ketiga pendiri bisnis ini.
Pada masa penjajahan Jepang, perusahaan sempat tersungkur dan baru bangkit lagi sesudah 1945. Perusahaan berganti nama menjadi PT Slamet Langgeng & Co., yang memproduksi permen mint merek Davos, Kresna, Alpina, dan Davos Lux. Ada pula produk non-permen: limun dan biskuit bermerek Slamet. Karena kesulitan bahan baku, produksi biskuit berhenti pada 1973.
Nama Slamet Langgeng diambil dari nama gunung terbesar di Jawa yang terletak di Purbalingga: Gunung Slamet. Sedangkan Davos terinspirasi dari nama kota berhawa sejuk di Swiss, yang dianggap cocok menggambarkan dinginnya permen mint ini. Hingga kini bentuk dan kemasan Davos tak berubah: satu bungkus berisi 10 butir berdiameter 22 milimeter.
”Pernah kami mengubah ukuran jadi lebih kecil, konsumen langsung protes,” kata Nico. Bahan yang digunakan, 98 persen gula dan sisanya mentol dan zat pengikat. Kini Davos dibanderol Rp 1.000 sedangkan Davos Lux Rp 500.
SEMULA, pada 1939, Nyonya Ong Kiem Lien hanya memasak kue untuk dijual ke tetangga. Ada wajik, onde-onde, keripik tempe, rempeyek kacang, dan jadah (kue dari ketan dan kelapa parut). Usaha ini dilanjutkan oleh anaknya, Ong Gwek Nio, yang kemudian hanya berkonsentrasi pada wajik.
Bisnis ini dilanjutkan oleh anaknya, Ong Hwa Nio dan Ong Joe Tjuan, hingga 1981, dan kini dikelola oleh kemenakan Tjuan: Untung Giyanto, 55 tahun. Baru di generasi cucu inilah usaha keluarga ini didaftarkan dengan merek Wajik Nyonya Week—dari nama Nyonya Gwek, panggilan Ong Gwek Nio. Sejak 1997, nama ini disingkat jadi Wajik Week saja.
Kini Wajik Week menjadi salah satu oleh-oleh ”wajib” dari Magelang dan sekitarnya. Rasanya pun hanya ada dua macam: gula kelapa (warna cokelat) dan pandan (hijau). Semula wajik ini hanya dibungkus dengan daun pisang dan koran bekas, tapi kini Untung memperbaruinya menjadi kardus. Ia juga pernah mengemas dagangannya dengan memakai kertas minyak dengan disablon logo. Untung tetap menjaga kualitas wajik dengan mempertahankan takaran sesuai dengan resep asli sang nenek.
Siroop Tjap Buah Tjampolay [1936]
RASANJA sedap, baoenja wangi. Itulah yang tertera dalam kemasan sirup Tjap Buah Tjampolay. Minuman legendaris asal Cirebon ini pertama kali dibuat oleh Tan Tjek Tjiu pada 11 Juli 1936. Hingga kini kemasan dan labelnya tak berubah.
Ketika Tjiu meninggal pada 1964, perusahaan ini sempat berhenti beroperasi enam tahun. Baru pada 1970 usaha ini hidup kembali di tangan Setiawan, anak Tjiu. Namun tak lama kemudian mati lagi. Baru pada 1983 Tjampolay bangkit lagi. Kali ini pabriknya dipindahkan ke daerah Lawang Gada, Cirebon, Jawa Barat.
Syukurlah, bisnis kembali cerah. Setiawan menyerahkan usahanya ke anaknya, Budiman. Kini Tjampolay kian berkibar di tangan pemilik generasi ketiga. Sirup yang semula hanya ada tiga rasa—rossen, asam jeruk, dan nanas—kini menjadi sembilan: pisang, susu, melon, leci, jeruk nipis, kopi moka, dan mangga gedong, yang menjadi ciri khas kota ini. Tjampolay dipercaya karena menggunakan gula murni. Karena itu, jika sudah dibuka kemasannya, sirup akan cepat mengkristal.
Itu sebabnya, Budiman tak berani mengekspor produknya ke luar negeri. Kini pabriknya ada di Perumnas Elang Raya, Cirebon. Di area seluas 300 meter persegi inilah sirup Tjampolay diproduksi sampai 1.200 botol per hari.
Botolnya hijau, mirip botol bir. Tulisan dalam kemasannya tak berubah sejak 75 tahun lalu: Limonadestroop. Sarang Sari, begitulah nama sirup berbotol serupa bir itu, bertahan di tengah gempuran minuman berkarbonat. Cikal bakal sirup ini dimulai dari De Wed Bijlsma, pengusaha asal Groningen, Belanda, yang mendirikan NV Conservenbedrijf de Friesche Boerin pada 1934.
Ketika Presiden Soekarno menasionalisasi perusahaan asing pada 1959, pabrik di Jalan Cikini Raya 77, Jakarta, itu diambil alih keluarga Gunawan. Merek De Friesche Boerin diubah menjadi Sarang Sari. Wajah lelaki Belanda yang semula menghiasi kemasan berganti dengan gambar perempuan penari Bali.
Pada 1981, Sarang Sari dijual ke Rahmat Semedi. Pada masa itu sirup sedang laris di Tanah Air. Persaingan pun belum terlalu ketat karena hanya ada empat merek besar: Sirup Bango, ABC, Marjan, dan Sarang Sari. Bisnis berkembang pesat, Sarang Sari pun memindahkan pabriknya ke Cimanggis, Depok, dan memproduksi hingga satu juta botol per tahun.
Sayangnya, sejak 1990-an, popularitas sirup meredup dengan munculnya minuman berkarbonat dan jus dalam kemasan tetrapack. Produksi Sarang Sari kini tinggal 240 ribu botol per tahun. Jumlah karyawan pun menyusut dari 100 menjadi hanya 61 orang di pabrik dan 12 orang di kantor.
Produk yang mempertahankan bahan baku gula tebu asli ini juga terengah-engah mengejar harga gula yang selalu naik. Bulan puasa lalu saja naiknya sampai 51 persen. Walhasil, ”Sudah tiga minggu ini kami tak berproduksi,” kata Hadi Semedi, anak Rahmat Semedi yang juga menjabat Manajer Operasional Sarang Sari. Apalagi harga Sarang Sari yang Rp 23 ribu dari pabrik—biasanya dijual sampai Rp 27 ribu di supermarket—relatif mahal jika dibanding sirup lain.
Berbagai inovasi dilakukan. Misalnya dengan meluncurkan rasa baru—blueberry—yang ternyata kandas di pasaran. Konsumen telanjur setia pada rasa asli limun ini, semisal frambozen, vanili, manalagi, dan pisang ambon. Tahun depan, Sarang Sari berencana meluncurkan kafe di Cikini. Pengunjung tak hanya bisa bernostalgia, tapi juga bisa memboyong sirup yang kini dibikin juga dalam kemasan karton untuk oleh-oleh.
http://supermilan.wordpress.com
NJOO Tjhay Kwee menunggang sepeda pancal mengitari Pasuruan. Kala itu, tahun 1935, Njoo sedang merintis usaha kembang gula Sin A di Pasuruan, Jawa Timur. Kisah ini dituturkan Dyah Purwaningsih, General Manager PT Sindu Permata, perusahaan yang memproduksi ting-ting jahe. Ayu adalah cucu Njoo alias generasi ketiga pemilik perusahaan ini.
Pada mulanya, bisnis ini hanya usaha rumahan di Jalan Lombok, Pasuruan. Barulah pada 1936, sang kakek membeli dua buah mesin pembuat permen dari perusahaan Jerman di Ngagel, Surabaya. Usaha kian berkembang dan produksi pun berpindah ke Jalan Sumatera 26, Pasuruan.
Bisnis kembang gula Sin A sempat tutup pada saat pendudukan Jepang. Kala itu pasokan gula, kertas, dan bahan lainnya macet. Baru satu tahun kemudian, pabrik kembali beroperasi. Namun pengiriman bahan baku kertas untuk bungkus permen dari Jerman tersendat. Njoo pun memakai kulit jagung sebagai bungkus permen. Nyatanya Njoo Tjhay Kwee malah mampu mengembangkan produk sampingan: jamu Sin A cap Bintang, tepung hunkwee murni, dan usaha penggilingan jagung. Sayangnya, usaha sampingan itu dihentikan pada 1952.
Lima tahun kemudian usaha kembang gula Sin A berubah menjadi Perusahaan Dagang dan Industri PT Sindu Amritha. Permen tingting jahe makin berkembang dan dikenal di seluruh Indonesia. Bahkan pada 1973 produk ini mulai diekspor ke Belanda, Hong Kong, Australia, dan Timur Tengah.
Dyah menceritakan, pada saat permintaan tinggi, produksi bisa mencapai dua ton. Sebanyak 75 persen produk diekspor, sisanya untuk pasar lokal. Saat musim dingin, pesanan dari luar negeri meningkat. Berbagai inovasi produk juga dilakukan, misalnya dengan mengembangkan aneka rasa baru: ting-ting jahe rasa kopi, kacang, dan apel.
http://tasbayiku.wordpress.com
DALAM bahasa Mandarin, yun yi artinya bermanfaat atau beruntung. Perusahaan tahu yang didirikan pada 1940 itu memang beruntung masih eksis hingga kini. Bisnis tahu Yun Yi dirintis oleh Liauw Hon Tjan di Jalan Jenderal Sudirman Belakang 231, Bandung. Pabrik tahu ini tak pernah berpindah hingga sekarang.
Perusahaan ini setia pada bisnis tahu dan produk turunannya: tahu kuning, tahu putih, tahu tawar, tahu polos, kulit tahu, kerupuk tahu, dan lainnya. Yun Yi tak hanya memasok di sejumlah restoran di Bandung, tapi juga menjadi salah satu oleh-oleh khas Kota Kembang.
Mempertahankan resep tradisional dan tanpa pengawet, Yun Yi berhasil menjaga kualitasnya. Di tengah isu formalin dan pewarna makanan yang merontokkan bisnis pertahuan, Yun Yi sukses bertahan. Warna kuningnya dari kunyit.
http://sandalnamaku.wordpress.com