http://massandry.blogspot.com
Bidaracina
Dongeng Berdarah Kampung Terapung
Pertengahan November 2008, kelurahan Bidaracina, Jakarta Timur, bak kampung terapung. Air keruh kecoklatan Kali Ciliwung meluap ke rumah-rumah warga. Di Gang Solihun, ketinggian air mencapai pinggang orang dewasa. Rumah Muhammad Ali Syafei, 83 tahun, pun terendam.
Ia merasakan betul hilangnya keindahan Ciliwung. Baginya, kali itu menyimpan banyak kenangan. Kali sepanjang 60 kilometer itu menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Bidaracina.
Bang Ali menerawang. Cerita turun temurun, Bidaracina dulu adalah daerah resapan air. Hutan dengan aneka pepohonan membentang. Terbelah aliran Ciliwung yang jernih. Kecipak air dari sejumlah dayung perahu pun bersahutan dengan kicau burung.
Penumpang perahu adalah para saudagar Cina dari Depok dan Bogor. Banyak dari mereka yang menambatkan perahu di kawasan Bidaracina, sebelum melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Mester (Jatinegara).
Polah mereka ternyata mengusik warga setempat. Mereka pun menjadi sasaran kejahatan. Banyak dari mereka yang dibunuh dan dirampok. “Makanya dikenal sebagai daerah Cina Berdarah,” ujar Bang Ali. “Mereka dibegal dan dibunuh. Barang rampasannya dibagi ke masyarakat setempat. Ya kayak si Pitung, ngerampok buat rakyat Betawi yang kesusahan.”
Cerita lain, Kampung Bidaracina tumbuh seiring pembantaian ribuan warga Cina di Batavia pada 1740. Banyak warga Cina yang lari ke hutan-hutan di luar benteng kota Batavia (sekitar Pasar Ikan hingga Stasiun Kota). Mereka melarikan diri dengan kondisi terluka.
Mereka yang lari ke hutan terus dikejar. Mereka terbantai di hutan-hutan, termasuk hutan di kawasan selatan Mester. Cerita selanjutnya sama. Warga mengidentikan kawasan itu sebagai daerah Cina Berdarah, yang dalam perkembangannya menjadi Bidaracina.
Adolf Heuken, peneliti sejarah Jakarta asal Jerman, menganggap cerita Cina Berdarah sebagai dongeng belaka. Berbagai literatur yang ia temukan menyebut, penamaan Bidaracina justru erat dengan pohon bidara.
Pada masa Hindia Belanda, ada seorang Cina yang menandatangani kontrak untuk menanami kawasan benteng Noordwijk (kini Pasar Baru) dengan pohon. Kontrak tertanggal 9 Oktober 1684 itu, dibuat Notaris Reguleth. Kontrak memang hanya menyebut Noordwijk, tapi gerakan tanam pohon itu melebar ke kawasan timur kota Batavia.
Saking banyaknya orang Cina yang menanam pohon bidara di selatan Mester (Jatinegara), disebutlah kawasan itu sebagai Bidaracina. “Soal Cina berdarah atau ceceran darah Cina di sana, itu hanya dongeng yang perlahan dianggap fakta,” ujar Adolf.
Terlepas dari asal usul namanya, Bidaracina telah berubah wujud. Dari area resapan penuh pepohonan menjadi kampung terapung. Hampir setiap musim hujan, kawasan itu menjadi langganan banjir. Tentu saja bukan banjir darah orang Cina.
Stasiun Beos
Buatan Anak Tulungagung, Gaya Eropa
Menyusuri tiap sudut Stasiun Kota Jakarta, seakan terbawa pada masa silam. Betapa tidak, nyaris semua bangunan di tempat ini masih dipertahankan dengan gaya Eropa Art Deco Style, ciri khas bangunan di Eropa yang tengah menjadi tren pada awal abad 20.
Stasiun Kota atau yang dikenal juga dengan nama Beos, sebutan orang pada era tahun 1980-an, atau mungkin hingga sekarang ini, masih tetap dipertahankan. Meskipun stasiun ini banyak perubahan, dimana ada jalur yang menghubungkan antara stasiun dengan halte busway Jakarta Kota.
Lalu bagaimana dengan nama Beos itu sendiri. Banyak yang mengenal nama Beos, namun akan sedikit sekali yang mengetahui bagaimana asal usul nama Beos tersebut.
Stasiun kereta api yang dibangun pada tahun 1929 ini, pada masa penjajahan Belanda disebut dengan nama BOS atau Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij atau Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur, sebuah perusahaan swasta yang menghubungkan Batavia dengan Kedungdedeh .atau dalam bahasa Inggris disebut Batavia Eastern Railway.
Belum diketahui secara pasti mengapa orang Jakarta melafalkan dengan sebutan Beos. Namun informasi lain menyebutkan nama BEOS merupakan akronim dari Batavia En Oud Straken atau yang berarti Batavia dan sekitarnya.
Fungsi stasiun ini sebagai pusat transportasi kereta api yang menghubungkan Kota Batavia dengan kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain.
Ide pembangunan stasiun tersebut adalah karena Batavia sebutan Jakarta ketika itu tengah menjadi suatu kota yang berkembang. Kawasan Jakarta Kota adalah kawasan bisnis ekslusif. Karenanya membutuhkan sebuah stasiun kereta api yang besar seperti di kota-kota negara Eropa.
Tak heran jika bangunan itu berkarakter Eropa Art Deco Style, ciri khas bangunan di Eropa yang tengah menjadi tren pada awal abad 20. Bangunan itu didesain oleh Ir Frans Johan Lourens Ghijsels.
Menurut Alwi Shahab sejarawan Jakarta, masih ada nama lain untuk Stasiun Jakarta Kota ini yakni Batavia Zuid yang berarti Stasiun Batavia Selatan.
Nama ini muncul karena pada akhir abad ke-19, Batavia sudah memiliki lebih dari dua stasiun kereta api. Satunya adalah Batavia Noord (Batavia Utara) di sebelah selatan Museum Sejarah Jakarta sekarang.
Batavia Zuid, awalnya dibangun sekitar tahun 1870, kemudian ditutup pada tahun 1926 untuk renovasi menjadi bangunan yang kini ada.
Pembangunannya selesai pada 19 Agustus 1929 dan secara resmi digunakan pada 8 Oktober 1929. Ketika itu diresmikan Gubernur Jendral jhr. A.C.D. de Graeff yang berkuasa pada Hindia Belanda pada 1926-1931.
Stasiun ini diarsiteki seorang Belanda kelahiran Tulungagung 8 September 1882 silam Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels. Bersama teman-temannya seperti Ir Hein von Essen dan Ir. F. Stolts, lelaki yang menamatkan pendidikan arsitekturnya di Delft itu mendirikan biro arsitektur Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA).
Stasiun Beos merupakan karya Ghijsels yang dikenal dengan ungkapan Het Indische Bouwen yakni perpaduan antara struktur dan teknik modern barat dipadu dengan bentuk-bentuk tradisional setempat.
Dengan balutan art deco yang kental, rancangan Ghijsels ini terkesan sederhana meski bercita rasa tinggi. Sesuai dengan filosofi Yunani Kuno, kesederhanaan adalah jalan terpendek menuju kecantikan.
Dalam perjalanannya, Stasiun Jakarta Kota akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya melalui surat keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993. Hingga kini masih melayani kebutuhan warga Jakarta pengguna kereta api.
jakarta tempo dulu
Glodok
Hikayat Kampung Isolasi Batavia
Menyusuri gang-gang di perkampungan Glodok, Jakarta Barat, aroma hio begitu menyengat. Dari balik tembok-tembok rumah, samar-samar terdengar alunan lagu Mandarin. Warung-warung dengan menu Chinnese food pun bertebaran.
Melangkah semakin dalam bak memasuki sebuah desa di negeri Tirai Bambu. Sejumlah shinse membuka praktek pengobatan alternatif. Kios-kios penjual pernak-pernik khas China menjamur di sekeliling klenteng.
Begitu kental karakter Tionghoa di kawasan tua Jakata ini. Tak heran, jika masyarakat kemudian menyebutnya sebagai Pecinan atau Cina Town. “Sejak penjajahan dulu,hampir 100 persen yang tinggal di sini orang keturunan Cina,” ujar Ketua RW 02 Glodok, Wong Wan Hie (55).
Menilik sejarah yang tercatat di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua, Glodok merupakan bekas area isolasi bagi warga Tionghoa di Batavia. Oleh Verenigde Oost Indie Compagnie (VOC), perkampungan itu dibangun pascapemberontakan etnis Cina di Batavia tahun 1740.
Setelah pemberontakan yang menewaskan 10 ribu warga Cina ditumpas Belanda, warga Cina tidak boleh lagi tinggal di dalam tembok kota Batavia. VOC lantas memerintahkan pendirian kampung khusus Cina di luar Batavia. Dipilihlah Glodok yang kala itu masih berupa hutan dan berada di luar kota Batavia.
Sejak terusir dari Batavia, warga Cina terkonsentrasi di kawasan yang awalnya tak bernama itu. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka membuat penampungan air dari kali Molenvliet (Ciliwung). Dari ketinggian sekitar 10 kaki, air dari penampungan itu kemudian dialirkan dengan pancuran kayu.
Terdengarlah bunyi “grojok, grojok, grojok, …” setiap kali warga mengambil air. Lambat laun kata “grojok” kemudian biasa diucapkan warga dengan lafal cedal menjadi ”glodok”. Gara-gara itulah kawasan isolasi tersebut kemudian mulai dikenal dengan sebutan Glodok.
Minimnya literatur kuno membuat sejarah penamaan Glodok simpang siur. Ada pula yang meyakini nama Glodok berasal dari tangga yang menempel di tepian Kali Ciliwung. Dalam bahasa Sunda, tangga yang biasa digunakan warga untuk mengambil air kali itu disebut Glodok.
Sedangkan dalam buku yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah DKI tahun 1988 menyebut kemungkinan nama Glodok berasal dari seorang warga Bali bernama Kapten Tjirra Glodok. Sayangnya, buku tersebut tidak menjelaskan detail hubungan sang kapten dengan kawasan yang kini kondang sebagai pusat perdagangan elektronik.
Terlepas dari asal-usul penamaannya, Glodok kini tumbuh sebagai sentra bisnis yang diperhitungkan di Ibu Kota. “Umumnya orang Cina dari kecil dididik berdagang. Jadi kalau ada lahan di depan rumah dibuat lahan dagang,” kata Wan Hie.
Pernyataan Wan Hie seolah menjawab sejarah kemunculan pusat perdagangan di Glodok. Budaya berdagang yang diwariskan para leluhur masyarakat Cina sukses menggairahkan perekonimian di Glodok.
Legenda Kebagusan
Kuburan Hoki Si Pujaan Pria
Di nisan batu itu terukir nama “Nyai Tubagus Ratih Nursiyah.” Terletak di Jalan Kebagusan II, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, makam ini terjepit sejumlah rumah mewah. Kediaman Megawati Soekarno Putri, Presiden RI ke-5, hanya sepelemparan batu dari sini.
Berkarpet rerumputan hijau yang tercukur rapi, area makam seluas 3x7 meter ini dibatasi dinding bercat putih setinggi hampir satu meter. Sebuah pohon kamboja dan sejumlah tanaman penuh dedaunan pun tumbuh subur di sekeliling nisan yang dipugar 11 Oktober 1999.
“Seminggu sekali lah saya yang membersihkan. Saya juga ikut bantu tenaga saat makam ini dipugar,” ujar Misdi, pria setengah baya yang biasa merawat makam itu.
Sekilas tidak ada yang istimewa dari bangunan makam tersebut. Hanya saja, makam yang dianggap keramat itu sering dikunjungi peziarah dari berbagai daerah. ,Terutama setiap malam Jumat atau hari Jumat
Makam Ibu Bagus. Demikian masyarakat setempat akrab menyebut makam itu. Konon, dari makam itulah nama Kampung Kebagusan muncul. Kampung tempat Ibu Bagus pernah berdiam hingga akhir hayatnya.
Dari cerita beberapa sesepuh di Kebagusan, Ibu Bagus adalah puteri Kesultanan Banten yang begitu kesohor. Saking cantiknya, banyak pria yang mati-matian memperebutkan Ibu Bagus. Bahkan, kecantikannya pula yang membuat hidup Ibu Bagus berakhir tragis.
Cerita yang diperoleh Asmawih dari leluhurnya, Ibu Bagus meninggal lantaran dibunuh pria pujaannya. “Biar sekalian tidak ada satupun yang mendapatkan Nyai,” ujarnya.
Versi lain menyebut, Ibu Bagus meninggal karena bunuh diri. “Bu Bagus bunuh diri karena ingin menyelamatkan setiap laki-laki yang saling membunuh karena ingin memperebutkannya,” ujar Sarmiji, sesepuh yang tinggal di Jalan Kebagusan III RT 2 RW 05.
Kisah kematian Ibu Bagus memang beragam. Sebelum meninggal, sesepuh Kebagusan yang akrab disapa Engkong Damat juga mewariskan kisah tentang Ibu Bagus. “Nyai memang dikenal cantik dan sakti. Apabila ada yang menginginkannya harus mengalahkan Nyai terlebih dahulu,” kata Achmad Sain merujuk cerita Engkong Damat.
Dalam perkembangannya, makam Ibu Bagus dianggap membawa keberuntungan bagi para peziarah yang memujanya. “Ketika jaman judi bola Tangerang lagi ngetren, pada masa kepemimpinan Gubernur DKI Ali Sadikin, banyak orang dari berbagai daerah datang untuk mencari informasi nomor buntut. Bahkan ada yang sampai menginap di sana,” kenang Asmawih.
Hingga kini, tidak sedikit peziarah yang mendatangi makam Ibu Bagus untuk mencari wangsit. Sebagian besar dari mereka mengaku bosan hidup miskin, dan datang ke makam untuk meminta kekayaan. “Saya jelaskan, berdoa itu sama Allah, bukan meminta pada kuburan,” kata Asmawih yang pensiunan pegawai bank swasta.
Di tengah kisah yang kian sulit dibuktikan kebenarannya, makam Ibu Bagus berhasil memikat hati warga Kebagusan. Niat sejumlah pihak menggusur makam itu ke tempat pemakaman umum (TPU) selalu ditentang warga. Arwah Ibu Bagus pun abadi di Kampung Kebagusan.
jakarta tempo dulu
Mengenang Meester Cornelis di Jatinegara
Di gapura itu tercetak tulisan “Pasar Mester”. Dari seberang Jalan Jatinegara Timur, Jakarta Timur, hiruk pikuk manusia di sekitar gapura menyita pemandangan. Angkutan perkotaan (angkot) yang melintas pun selalu tergoda memperlambat lajunya.
Memasuki gapura setinggi empat meter itu, hiruk pikuk semakin terasa. Orang-orang terkonsentrasi di dalam bangunan pasar dan lapak-lapak yang mengelilinginya.
Pasar Mester memang dikenal sebagai pusat grosir terbesar di Jakarta Timur. Pasar ini menjadi salah satu rekomendasi bagi pemburu souvenir murah untuk pernikahan. “Pasar Mester awalnya hanya menjual bahan pokok, ayam, kambing, dan jahitan pakaian saja,” kata Muhammad Yunus, sesepuh Jatinegara.
Perubahan pesat selama 60 tahun terakhir di Pasar Mester begitu lekat dalam ingatan pria kelahiran 10 Oktober 1945. Tahun 1948, kata dia, Pasar Mester hanya lapak-lapak kumuh yang dijaga para centeng.
Centeng adalah sebutan preman yang menarik uang kemanan dari pedagang. “Centeng yang terkenal yaitu Kong Jaih. Ada sekitar tahun 1950,” ujar pria yang sejak usia 3 tahun menghabiskan waktu bermain di Pasar Mester.
Bangunan permanen di Pasar Mester baru muncul sekitar tahun 1970. Bangunan itu kemudian direnovasi tahun 1989 setelah terbakar. Renovasi memakan waktu 1 tahun. ”Tahun 1991 pasarnya diresmikan sampai sekarang,” kata pria yang akrab disapa Babe Yunus.
Pada masa Hindia Belanda, Mester tidak hanya merujuk pada bangunan pasar. Catatan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua, Mester digunakan untuk menyebut seluruh kawasan Jatinegara. Letaknya sekira 20 kilometer dari pusat Kota Batavia di Pasar Ikan.
Sejarah dimulai sejak 1661, saat guru agama Kristen asal Pulau Banda, Cornelis Senen, membuka kawasan hutan jati di daerah itu. Jabatannya sebagai guru agama membuat Cornelis Senen mendapat tambahan gelar Meester di depan namanya, yang artinya “tuan guru”.
Sejak akhir abad 17, Meester Cornelis mulai menguasai tanah di kawasan hutan jati itu. Masyarakat pun menyebutnya dengan kawasan Meester Cornelis. “Orang awam sih dulu bilangnya mester tapi sebenarnya master. Ya sesuai dengan lidah orang Betawi biar gampang nyebutnya,” ujarnya.
Kawasan hutan jati yang dibuka Meester Cornelis perlahan berkembang menjadi kota satelit Batavia. Pada 1924, Mester dijadikan nama kabupaten, yang terbagi dalam empat kawedanan. Kawedanan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang.
Sedangkan, nama Jatinegara baru mulai digunakan pada awal pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942. Kala itu Jepang berupaya keras menghilangkan nama-nama yang berbau Belanda. Lantaran kawasan itu bekas hutan jati yang lebat, dipilihlah nama Jatinegara menggantikan Meester Cornelis.
Tapi, penobatan Jatinegara tidak serta merta menghilangkan nama Mester. Nama sang “tuan guru” tetap terukir indah di pasar Jatinegara.
Jejak Mataram di Pasar "Tanah Merah"
Pedagang kain dan baju sibuk menawarkan barang dagangan. Menempati Blok A Pasar Tanah Abang, mereka berlomba dengan para pedagang sepatu dan tas. Pengunjung dan kuli panggul pun memadati lorong-lorong bangunan berlantai 19 ini.
Menapaki area luar bangunan bernuansa Islami, pandangan mata didominasi pedagang kaki lima yang saling berhimpit. Hanya beberapa meter dari sini, gedung-gedung pertokoan bagaikan jamur.
Ke arah jalan raya, kendaraan pribadi tampak bersusah payah mencari celah untuk beranjak.
Sedang, klakson dan teriakan preman jalanan beradu dengan suara mesin bajaj dan mikrolet yang ngetem.
Demikianlah suasana sehari-hari pasar yang dibangun anggota dewan Hindia Belanda Justinus Vinck 30 September 1735. Perubahan jaman tentu berkontribusi dalam setiap detail yang terbentuk di Pasar Tanah Abang saat ini.
“Jaman Engkong kecil, ya sekitar tahun 1936, pasar Tanah Abang tidak semegah dan seramai sekarang. Bahkan sekeliling pasar masih banyak yang rawa-rawa. Yang ada kampungnya tuh cuma Kebon Pala dan Kebon Kacang,” kata Ketua Umum Majelis Sepuh Tanah Abang Haji Sukur Harun saat ditemui VIVAnews.
Sebelum dimiliki Justinus Vinck, kawasan Tanah Abang merupakan daerah pertanian dan peternakan milik orang Cina. Sebutlah tuan tanah asal China, Phoa Bhingam, yang menguasai perkebunan tebu di Tanah Abang.
Tapi, ada juga yang membuka perkebunan kacang, kebun jahe, kebun melati, dan kebun sirih. “Makanya (beberapa wilayah di Jakarta Pusat) disebut pakai nama-nama kebon, biar gampang diinget,” canda pria yang akrab disapa Engkong Sukur.
Berdasar buku “Kampung Tua di Jakarta” yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah DKI, nama Tanah Abang diilhami dari kondisi tanah setempat yang berwarna merah. Diberikan oleh pasukan Mataram yang tengah membangun pertahanan di kawasan tersebut pada 1628. Abang dalam bahasa Jawa berarti merah.
Sejarah nama Tanah Abang rupanya ada beberapa versi. Selain cerita mengenai tanah merah, adapula yang mengatakan nama Tanah Abang berasal dari cerita “abang dan adik”.
Konon, ada seorang adik yang meminta abangnya untuk mendirikan rumah di kawasan itu. Lantaran rumah itu dibangun di atas tanah milik abangnya, maka disebutlah dengan Tanah Abang. “Tapi Engkong mah lebih percaya versi yang pertama, soalnya Engkong tahu betul kalau tanah di Tanah Abang itu warnanya merah,” ujar pria kelahiran 1927 itu.
Menjelang akhir abad 19, Tanah Abang mulai dibanjiri pendatang asal Arab. Bahkan, pada 1920, jumlah orang Arab di Tanah Abang tercatat 13 ribu jiwa.
Kedatangan orang Arab inilah yang kemudian dimanfaatkan para pedagang di Tanah Abang. Berbagai hal yang terkait dengan konsumsi orang Arab menjadi komoditas penting. Kambing salah satunya.
Kegemaran orang Arab menyantap makanan berbahan dasar kambing, memicu maraknya perdagangan kambing di kawasan itu. Bahkan kini, selain dikenal sebagai pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara, Tanah Abang juga cukup dikenal sebagai pusat perdagangan kambing.
Keberadaan Pasar Tanah Abang memang berpengaruh penting terhadap tumbuhnya perkampungan di sekitarnya. Bak magnet, masyarakat Jakarta membangun pemukiman di sekitar pasar sejak jaman Hindia Belanda. Kini, pemukiman itu disatukan dalam satu kecamatan bernama Tanah Abang.
3 Unsur Pengaruhi Nama Tempat di Jakarta
Sebagai tokoh Betawi, Ridwan Saidi paham betul terhadap asal-usul nama sejumlah tempat di Jakarta. Menurutnya, nama tempat di Jakarta dipengaruhi flora, kontur tanah dan geometri.
“Jangan lihat Jakarta setelah ada gedung bertingkat, lihat sebelum itu. Jangan melihat Jakarta, membaca Jakarta, saat Jakarta sudah menjadi seperti ini,” ujar budayawan Betawi ini saat berbincang dengan VIVAnews di rumahnya, Jalan Merak IV/31 Blok N3, Bintaro Sektor I, Jakarta Selatan.
Ridwan berharap, generasi sekarang harus paham asal-usul nama tempat di Jakarta . Dengen begitu generasi baru ini masih mempunyai akar kebudayaan.
"Kita tahu di Jakarta ada Jalan Semanggi, Tanah Abang, Kedoya, dan sebagainya. Tapi mungkin tidak banyak dari kita yang mengetahui asal muasal sebuah tempat diberi nama,” tambah pria yang lahir di Sawah Besar, Jakarta Pusat 66 tahun lalu.
Menurut lulusan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia ini, sebagian besar nama daerah di Jakarta diberi nama sesuai nama flora, kontur tanah dan geometri. “Dulu mereka memberi nama tempat sesuai dengan pohon yang paling dominan. Tidak pernah orang dulu memberi nama tempat menggunakan nama orang, itu jaman sekarang,” terang mantan anggota DPR dari FPPP.
Dia mencontohkan seperti Jati Padang, nama kelurahan di Pasar Minggu, yang berasal dari nama salah satu jenis jati. Kemudian Ciganjur yang diambil dari Ganjur, dan Kebayoran dari bayur. “Itu kan jenis jati juga”.
Jatinegara berasal dari jati lanang. Yaitu jati yang kuat seperti kayu bangka. Bidara Cina merupakan jenis pepohonan. Bintaro, mangga yang tidak bisa dimakan, dan Tanah Abang dari pohon nabang.
“Ada juga nama rumput, antara lain krekot, krukut dan Makassar merupakan jenis rumput. Jadi tidak benar kalau kampung Makassar diberi nama itu karena banyak orang Makassar yang tinggal di sana ,” bebernya.
Selain nama pepohonan, banyak nama daerah di Jakarta diambil dari geometri dan kontur tanah. Seperti Marunda, Jakarta Utara. Dinamai Marunda karena tanahnya berunda-unda.
Simprug berasal dari tanah yang rusak sehingga tidak bisa ditanami. Poncol, bukit yang tinggi. Petojo artinya petunjuk atau pengarahan, karena di sana ada dua kali bertemu.
Agar Betawi baru dapat ditumbuhkan, Ridwan mengusulkan agar di setiap daerah ditanami pohon atau tumbuhan yang menjadi nama suatu daerah. Di Semanggi misalnya. Di sudut tertentu di sekitar Semanggi ada tanaman itu.
“Kita tidak menyuruh mengembalikan lagi hutan, juga bukan nostalgia. Orang kan mesti tahu, ini nama jalan, sehingga tidak keliru ini nama jalan kok Semanggi, Semanggi itu apa,” paparnya.