Monday, April 8, 2013

Tokoh Terkenal "SYEIKH SITI JENAR KI SASRAWIJAYA PART 1"

http://massandry.blogspot.com
Asal Usul Syekh Siti Jenar Syekh Siti Jenar
Sebenarnya asal usul Syekh Siti Jenar sampai sekarang masih belum jelas, belum ada sumber yang dianggap sahih. Dari beberapa informasi Serat Syekh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu dan Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia bahwa Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M. dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.

Nama Syekh Siti Jenar kadang-kadang disebut Syekh Siti Brit atau Syekh Lemah Abang. Dalam bahasa Jawa, Jenar berarti kuning, sedang brit berasal dari abrit artinya merah, sama seperti abang yang juga berarti merah.[1]

Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.[2]

Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).

Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.

Nenek moyang Syekh Siti Jenar adalah Syekh Abdul Malik yang menikah dengan anak penguasa setempat, lalu diberi nama Asamat Khan, dari perkawinan itu beliau mempunyai beberapa anak,diantaranya bernama Abdullah Khanuddin atau Maulana Abdullah.[3]

Kemudian Maulana Abdullah mempunyai beberapa anak, dua diantaranya adalah Ahmadsyah Jalaluddin atau Jainal Abidin Al-Kabir dan Syekh Kadir Kaelani. Setelah dewasa, Achmadsyah pindah ke kamboja dan menjadi penyiar agama islam disana. Syekh Kadir Kaelani sendiri mempunyai anak bernama Syekh Maulana Isa yang bermukim di Malaka. Syekh Maulana Isa mempunyai dua orang anak, yaitu Syekh Datuk Achmad dan Syekh Datuk Sholeh.[4] 

Menurut pendapat yang lain, Abdul Munir Mulkhan mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil. Suatu ketika ayah Syekh Siti Jenar marah lalu anaknya itu disihir menjadi cacing dan dibuang ke sungai. Pada waktu itu sunan Mbonang sedang mengajar ilmu luhur di atas perahu kepada murid-muridnya, termasuk sunan Kalijogo, perahu yang ditumpanginya bocor lalu ditambal dengan tanah. Ternyata didalam tanah itu terdapat cacing jelmaan syekh Siti Jenar tersebut. Karena sunan Mbonang tahu ada seseorang nguping, maka cacing tersebut lalu dirubah menjadi manusia kembali seperti wujudnya semula dan diberi nama Siti Jenar.[5]

Tetapi pada halaman yang berbeda terdapat cerita yang berbeda, yaitu setelah perahu tidak bocor, maka sunan Mbonang melanjutkan wejangannya. Karena kecerdasan Syekh Siti Jenar mampu menyerap ajaran sunan Mbonang tersebut. Namun karena tidak lengkap, atau karena tidak mendapat perkenan dari gurunya, maka Syekh Siti Jenar menjadi sombong dan menyebarkan ajaran sesat. Beliau mengajarkan agama islam menurut pandanganya sendiri. Bahkan Syekh Siti Jenar menganggap dirinya sebagai dzat Allah, dan memandang budi serta kesadaran manusia sebagai tuhan itu sendiri. Menurut Syekh Siti Jenar, sifat Allah yang 20 terkonsentrasi melekat dalam budi manusia yang dapat bersifat kekal dan abadi dalam kodrat dan irodatnya. Inilah yang oleh Syekh Siti Jenar dinamakan ilmu Sejati.[6] 

Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.

Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.

Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.”

Artinya: Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….

Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.

Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.

Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.

Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.

Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.

Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.

Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.

Saat itu Cirebon dengan Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh hati, disertai dengan pendidikan otodidak bidang spiritual.

Menurut pendapat yang lainya, Widji Saksono mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan keturunan nabi Muhammad Saw melalui jalur Siti Fatimah, Imam husen, Said Jenal Ngabidin, Muhammad Bakir, Datuk Ngisa Tuwu yang tinggal di Malaka, Syekh Datuk Salek, kemudian Syekh Lemah Abang. Rinkes menganggap bahwa informasi ini merupakan sesuatu yang menggelikan, ia justru lebih tertarik untuk memperhatikan tulisan tangan R Ng Ronggowarsito, yang menganggap Syekh Siti Jenar adalah putra dari sunan Gunungjati yang demikian besar minat dan tekunnya mengaji berbagai ilmu keislaman, terutama mistik. Syekh Siti Jenar berguru kepada sunan Ampel, dan saking cintanya beliau tidak mau menikah. Selesai belajar di Ampeldenta beliau menetap di Kediri. Dr. H Kraemer menamakan Syekh Siti Jenar sebagai Al-Hallaj Jawa, yang menurut para wali kesalahanya bukan langsung terletak pada ajaranya, melainkan pada kenyataan bahwa Syekh Siti Jenar miak wirana (membuka rahasia tertinggi yang sesungguhnya, dan hanya boleh disampaikan kepada orang-orang khawwas).[7] 

Pendapat semacam itu memang diyakini oleh banyak tokoh dan penulis, padahal bukankah ajaran Islam yang benar boleh diajarkan kepada siapa saja dan kapan saja?. Hanya ajaran Islam yang menyimpang yang memilah-milah siapa yang boleh menerimanya dan siapa yang belum boleh menerimanya. Uka tjandrasasmita termasuk yang mempunyai pendapat itu, ia mengatakan bahwa untuk murid yang sudah dianggap mampu menerima, di pesantren juga diajarkan ilmu tasawuf. Lebih lanjut diterangkan bahwa tasawuf merupakan salah satu faktor yang penting perananya dalam perkembangan Islam di Indonesia. Islam dengan warna tasawuf di Indonesia terutama terjadi sejak abad ke 15-18 M.[8]

Ensiklopedi Kebudayaan Jawa juga menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar bergelar prabu satmata atau raja yang tampak oleh mata. Syekh Siti Jenar itu masih berpengaruh pada aliran kebatinan dan kejawen, yaitu konsep Manunggaling Kawula Gusti.[9]

Satu pendapat lagi di dalam Serat Siti Jenar karya Ki Panji Notoroto mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah keturunan elit hindu-Budha dari Jawa Barat (Cirebon). Asal-usul Syekh Siti Jenar ini ada pula yang mengkaitkan bahwa orang tua Syekh Siti Jenar adalah keturunan penguasa di daerah Jawa yang sedang runtuh. Runtuhya penguasa tersebut barangkali oleh kekuatan baru, yaitu Islam. 

Sampai disini ada empat versi asal usul Syekh Siti Jenar. Pertama, bernama Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah putra Syekh Datuk Sholeh. Kedua, Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil. Ketiga, Syekh Siti Jenar merupakan keturunan nabi Muhammad Saw melalui jalur Siti Fatimah, Imam husen, Said Jenal Ngabidin, Muhammad Bakir, Datuk Ngisa Tuwu yang tinggal di Malaka, Syekh Datuk Salek, kemudian Syekh Lemah Abang. Keempat, Syekh Siti Jenar adalah putra dari sunan Gunungjati yang demikian besar minat dan tekunnya mengaji berbagai ilmu keislaman, terutama mistik.

Menurut Rahimsyah, ketika memasuki usia remaja, Syekh jabaranta pergi ke Persia lalu tinggal selama beberapa tahun di Baghdad. Baik ketika tinggal di Persia maupun di Baghdad, Syekh Jabaranta belajar agama Islam dari ulama Syi’ah. Dari Baghdad Syekh jabaranta lalu pergi ke Gujarat. Di Gujarat Syekh Jabaranta sempat nikah dengan wanita Gujarat dan mempunyai beberapa anak, di antaranya adalah Ki Datuk Pardun dan Ki Datuk Bardut. Dari Gujarat Syekh Jabaranta kembali ke kampung halamannya di Malaka selama beberapa tahun, lalu kembali ke Baghdad sampai akhirnya pindah ke Jawadwipa sampai akhirnya hayatnya. Di pulau Jawa ini Syekh Jabaranta dikenal dengan membawa faham Syi’ah. Pada waktu itu Islam di Jawa baru mengalami perkembangan yang pesat dengan corak Sunni.[10]

Versi mana yang benar sulit untuk ditetapkan. Versi satu dengan yang lain sangat jauh berbeda, hampir-hampir tidak ada kemiripannya sama sekali. Dan nampaknya penulis-penulis hanya membiarkan kesimpang siuran itu, sehingga masalah Syekh Siti Jenar tetap menjadi misteri. Olek karena itu terserah kita mengambil yang mana sesuai dengan pemahaman dan kepercayaan masing-masing.
 
 

Newer Post Older Post Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds