Monday, April 8, 2013

Tokoh Terkenal "SYEIKH SITI JENAR KI SASRAWIJAYA PART 4"

http://massandry.blogspot.com
Seputar amalan Syari’ah; Sholat Dan Haji
Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.[43]

Tiada pernah Syekh Siti Jenar menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal, di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.

Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yang artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”

Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.

Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.

Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syari’at hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.

Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yang sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.

Beralih kepada ibadah haji, bagi beliau ibadah haji di al-Haramain merupakan tindakan atau laku ‘abid yg sedang menjalankan ibadah untuk mengarahkan kiblat kepada Ma’bud. Inilah inti ibadah haji yg menurut Syekh Siti Jenar akan mampu membawa pencerahan bagi pelaksananya. Haji bukan semata-mata melaksanakan ihram, thawaf, sa’i, wuquf, bermalam di Muzdalifah dan Masy’ar al-Haram dan melempar jumrah secara badani.

Tetapi makna hakiki haji bagi beliau adalah peribadatan yang mampu membawa seorang salik mendaki maqam jasadiyah ke maqam rohaniyah; tindakan manapaki kembali jejak Adam yang terusir dari surga, ke asal penciptaan yang mulia di antara semua hamba-NYA, yaitu Adam yang kepadanya seluruh malaikat bersujud dan dibanggakan Rabb-nya karena mengetahui nama-nama serta berwawan sabda dengan al-Khaliq.

Demikian pula dengan Makkah. Bagi beliau kota suci ini merupakan tempat meningkatkan kualitas kehidupan mistiknya. Ka’bah sebagai “pusat kosmik” merupakan tempat khusus memperoleh pengalaman rohani yang tidak mungkin diperoleh di temapat lain. Perenungan yang demikian dalam itulah yang kemudian menghasilkan pengalaman spiritual, menuju puncak ma’rifatullah.

Pengalaman spiritual pertama, Syekh Siti Jenar mengalami ke fana’-an yang lebih tinggi dibanding pengalaman spiritual yang sudah lewat. Dalam keadaan fana’-nya itu, ia mengalami pandangan lawami’, menyaksikan seorang pemuda yang telah sampai kepada tingkatan puncak dalam pendakian spiritual. Melalui isyarat (pembicaraan dengan bahasa perlambang) dan al-ima’ (pembicaraan tanpa lisan dan bahasa perlambang), pemuda tersebut mengungkap jalan menuju-NYA; menembus berbagai tabir hijab dualitas insaniyah dan Ilahi-yah, memasuki samudera sifat dan Asma Allah. Beliau dituntun menjadi al-insan al-kamil, dimana potensi roh al-haqq yang bersemayam dalam Baitul Haram hati-jiwanya, dioptimalisir bagi eksistensi dirinya di dunia. Jika roh al-haqq ini tidak dioptimalisasikan, maka hakikat manusia hidup adalah hanya sebagai mayat atau bangkai. Demikian pula jalur ibadah formal yang tidak disertai kebangkitan roh al-haqq, tidak akan memiliki efektivitas apapun, bagi kehidupan sejati di akhirat kelak.

Roh al-haqq dari lubuk Abitul Haram hati itulah yang menjalin relasi dengan dia (Huwa), yang meniupkan roh-NYA melalui nafs al-rahman. Melalui jalur itulah akan tersingkap seluruh rahasia keberadaan al-Haqq (Yang Riil) yg menjadi esensi sekaligus substansi roh al-haqq. Jalinan antara al-haqq dan huwa (Dia Yang Mutlak Tak Terbatas) itulah hakikat sejati dari fana’ fi tauhid; yang riil yang beragam (farq), manunggal dengan yang satu (Jam’).

Setelah beliau mengalami pengalaman puncak spiritual yang dahsyat tersebut, kembali terjadi pengalaman kedua. Melalui nur lawami’ dan fawa’id-nya, ia mengetahui bahwa pemuda yang semula membimbingnya mengalami pengalaman puncak, tiada lain dan tidak bukan adalah Abu Bakar al-Shidiq, sahabat terkasih rasulullah. Pengalaman pertemuan dengan roh Abu Bakar itu terjadi dalam kondisi ekstase kesufian, ketika kesadaran jiwanya berada dalam ‘alam al-khalaq (alam kasatmata) dengan 'alam al-khayal (alam imajinasi).

Pengalaman ketiga, terjadi ketika thawaf wada’. Ketika kondisi rohaninya sedang berada dalam ke-fana’-an, ia merasakan nur dalam dirinya menyatu dengan nur muhammad. Dalam pergulatan kalbunya itu, kemudian ia terbawa dalam situasi yang mencengangkan. Mendadak Ka’bah dan segala yang disekitarnya lenyap. Ia berada di alam syahadah yang maha-luas, dimana seluruh tubuhnya memancar nur. Ia merasakan dan menyatu dengan Nur, sehingga ia tidak tahu lagi tentang eksistensi dirinya. Antara sadar dan tidak, ia merasakan al-Haqq yang bersemayam di arsy Baitul Haram hatinya berkata-kata sendiri, “Ana sirr al-Haqqi wa ma al-Haqq ana, wa ANA al-haqq fa innani ma ziltu aba wa bi al-Haqqi haqqun.”

Di Makkah beliau telah berhasil mencapai kemanunggalan. Kini seluruh pandangan beliau telah selalu berada dalam ‘ain al-bashirah, sebagai pengejawantahan dari al-Bashir.

Ketika Syekh Siti Jenar berada di depan kubur Rasulullah, ia kembali mengalami lintasan-lintasn rohani yang menakjubkan. Kali ini melalui pandangan al-bashirah-nya, ia dipertemukan dengan sosok agung Muhammad SAW, yang mengungkapkan rahasia Nur Muhammad dan wujudiyah kepada Syekh Siti Jenar, mengungkapkan rahasia kalimat, “Ana min nur Allah wa khalq kulluhum min nuri.” Demikian pula mengenai rahasia Haqiqah Muhammad, di dalamnya terhadap nama lain Nabi Muhammad, yaitu “Ahmad” itulah yg dimaksud dalam hadist “ana Ahmadun bi-la mim.” maksudnya adalah “Aku tidak lain adalah Ahad.” Jadi Nabi Muhammad yang diberi nama semesta “Ahmad” tidak lain adalah pengejawantahan dari sang “Ahad” sendiri.

Dari pengalaman kemanunggalan yang dialami di Makkah itu, Syekh Siti Jenar tidak bisa membedakan antara fana’ fi Allah dan fana’ fi rasul, sebab hakikat dan esensinya sama. Fana’ fi rasul, melalui rahasia di balik nama “Ahmad”, tidak lain juga fana’ fi al-Ahad.

Manunggaling Kawulo Gusti
Tasawuf sebagai salah satu inti ajaran keagamaan yang berbasis pada moralitas ketuhanan, justru semakin dimintai para pemeluknya yang merindukan kedamaian lahir dan batin. Karena melalui tasawuf, ajaran inti agama yang lain seperti tauhid dan fiqh teringtegrasi membentuk suatu Islam yang kaffah. Melalui penghayatan dunia tasawuf, seseorang mendapatkan kelezatan beragama melalui pengalaman keagamaan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan tasawuf yang memunculkan pengalaman keagamaan merupakan unsur vital dalam struktur keagamaan. Pada posisi inilah maka konsep dan konteks mistik Islam-Jawa menjadi bagian sangat penting dari Islam secara keseluruhan. Dan memposisikan Syekh Siti Jenar sebagai salah satu dari imam madzhab sufi karena keberhasilannya merumuskan dan menyebarkan mazhab sufistiknya secara independen.[44]

Menurut C.Y. Glock dan Stark cara beragama memiliki lima dimensi yang saling terkait. Kelima dimensi itu adalah:[45]

1) Dimensi keyakinan yang berisikan pengharapan dengan berpegang teguh pada teologi tertentu.
2) Dimensi praktik agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keagamaan yang terkandung di dalamnya.
3) Dimensi pengalaman keagamaan yang merujuk pada seluruh keterlibatan subyektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari suatau agama.
4)Dimensi pengetahuan agama, artinya orang beragama memiliki pengetahuan tentang keyakinan, ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi.
5)Dimensi konsekuensi yang mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seorang dari hari kehari.

Dari lima dimensi tersebut tampak bahwa dimensi pengalaman keagamaan menjadi titik sentral atau pusat dari antar dimensi. Dimana dalam dimensi pengalaman keagamaan yang dalam Islam terkait erat dengan sistem tasawuf melibatkan secara intensif empat dimensi yang lain.

Spiritual keagamaan sebagaimana dialami Syekh Siti Jenar telah berhasil memadukan kelima dimensi tersebut.

Keterkaitan erat antara tasawuf dengan pengalaman keagamaan sangat jelas, dimana proses penempuhan jalan sufi merupakan upaya dan proses untuk dapat “mengalami” kelezatan beragama. Oleh karena itu “pengalaman” ini menjadi sesuatu yang sangat individual. Tetapi justru dengan statusnya inilah, pengalaman keagamaan menjadi sumber utama dalam penelitian-penelitian psikologi agama sejak tahap perintisnya dalam bentuk personal document. 

Sebagai ungkapan-ungkapan yang menggambarkan “pengalaman keagamaan”, banyak istilah yang dipergunakan oleh para ahli. Seperti:[46]
1)      Mystical Experience yang digunakan oleh F.C. Hoppald dan Merkur
2)      Mysticism Experiencw sekaligus Religious Experience oleh William J. Wainwright.
3)      Spiritual Experience oleh Charles T. Tart
4)      Religious Experience oleh William James, Brian Morris dan Erich Fromm
5)      Experience of Religious oleh R. Needham
6)      Estatic Religion oleh I. Lewis
7)      Mystical Awareness oleh Paul Mommaers dan Jan Van Bragt
8)      Peak Experience oleh Abraham W. Maslow

Variasi ungkapan mengenai pengalaman keagamaan itu, semuanya bermuara pada titik temu mistisisme, yakni pengalaman “merasakan” kemenyatuan dengan tuhan serta pengalaman merasakan keabadian. Jauh sebelumnya telah dirumuskan berdasarkan pengalaman riil oleh Syekh Siti Jenar dalam apa yang kemudian disebut Manunggaling Kawulo Gusti.

Manunggaling Kawulo Gusti adalah kebebasan manusia yang mutlak seperti kemutlakan kekuasaan tuhan sendiri. Karena manusia telah jadi tuhan seperti halnya konsep Wisnumurti atau Bimasakti.[47] Dalam tulisan Jawa keadaan ketunggalan tertinggi yang masih sepi dari determinasi disamakan dengan ahadiyya sama dengan emanasi pertama yang keluar dari keadaan belum terinci itu, yang bahkan belum memiliki ketunggalan dalam dirinya.[48]

Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat yang maha kuasa. hanya saja masing - masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda - beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. oleh karena itu, masing - masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.

Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.

Dalam ajarannya, Manunggaling Kawula Gusti adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh tuhan sesuai dengan ayat al Qur'an shaad: 71-72 yang menerangkan tentang penciptaan manusia yang artinya:
Ketika tuhanmu berfirman kepada malaikat: "sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah. maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya roh ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.

Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh tuhan dikala penyembahan terhadap tuhan terjadi.

Manunggaling kawulo gusti (Bersatunya Tuhan dan Manusia) adalah ajaran yang sangat kontroversial sampai saat ini. Banyak yang mengatakan kalau Syekh Siti Jenar mengaku sebagai tuhan dengan ajarannya itu. Tetapi kini banyak ditulis oleh penulis muda muslim yang tegas menolak pencitraan yang sudah sekian ratus tahun diyakini tersebut.

Para pendukungnya berpendapat bahwa syekh siti jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai tuhan. manunggaling kawula gusti dianggap bukan berarti bercampurnya tuhan dengan makhluknya, melainkan bahwa sang pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. dan dengan kembali kepada tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan tuhannya.

Dari sebuah karya sastra benama pupuh dimana Syekh Siti Jenar mendokumentasikan pendapat dan pandangannya tentang agama Islam, banyak yang berpendapat ajaran Syekh siti Jenar ternyata memiliki kesamaan dengan pandanga islam modern yang berkembang saat ini.

Tuhan ada dimana-mana, disetiap jengkal tanah dan setiap detakan jantung manusia. Tuhan ada di dalam hati dan otak manusia adalah inti ajaran manunggaling kawulo gusti itu sebenarnya.

Perbedaan penafsiran ayat al Qur'an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh tuhan, yaitu polemik paham 'manunggaling kawula gusti'.

Menurut Agus Wahyudi, manunggaling kawulo gusti hanyalah bersifat hakikatnya saja, maka tidak patut seseorang mengatakan gunung adalah Allah, sungai adalah Allah, manusia adalah Allah, dan seterusnya. Kalau ada seorang sufi yang berkata “Aku adalah Allah,” sebaiknya kita berpraduga baik saja, yakni bahwa dia berkata demikian lantaran merasa sedang berada dalam kesadaran hakikat. Ibaratnya dia sedang dalam keadaan mabuk tuhan.[49]

Menilik ke akidah sufi, dalam konsepnya jelas diterangkan bahwasanya Allah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan dihilangkan atau dilenyapkan. Bagi orang-orang sufi, manusia adalah penampakan lahir dari cinta tuhan yang azali kepada zat dan esensi-Nya, yang mutlak dan tidak bisa disifatkan. Oleh karena itu, manusia diciptakan tuhan dalam rupa-Nya yang mencerminkan segala sifa dan nama-Nya, sehingga “ia adalah Dia”.[50]

Berbagai pemikiran dan pandangan Syekh Siti Jenar itu dapat di kaji dari buku “Serat Siti Jenar” kesatuan dirinya dengan dzat tuhan atau sebaliknya. Dengan jelas dan terang ia menyatakan dirinya adalah tuhan dan tuhan itu adalah dirinya. Ajaran ini akhirnya mengantarkannya pada suatu kesimpulan bahwa manusia yang telah mencapai taraf penyatuan dengan tuhan, tidak lagi terbebani hukum dan bebas dari hukum. Beban hukumnya dibebankan kepada mereka yang belum mencapai kesatuan dengan hakikat hidup, dan menurut Syekh Siti Jenar, setiap orang mampu mencapai taraf itu jika mau.[51]

Menemukan kesatuan dengan hakikat hidup atau dzat tuhan, segala peribadatan adalah kepalsuan. Karena tuhan tidak terkenal hukum kealaman, maka manusia yang telah menyatu dalam dzat tuhan, akan mencapai keabadian seperti tuhan yang bebas dari segala kerusakan. Puncak penyatuan “Kawulo Gusti” oleh Syekh Siti Jenar disebutkan sebagai uninong aning unong.[52]

Dalam sebuah lakon, yang bersumber dari serat Dewa Ruci, menurut Haryanto mengisahkan tentang Bima yang mawas diri dengan tujuan menyucikan dirinya agar dapat menyatu dengan khaliknya atau pamoring Kawulo Gusti. Serat tersebut merupakan karya sastra Jawa Klasik yang mengajarkan tasawuf lengkap dengan langkah-langkah takhali, tahalli dan tajalli. Wejangan dewa Ruci berinti lima aspek, yaitu:[53]

1.Pancamaya,
Pancamaya (lima bayangan) bisa diartikan sebagai bayangan yang diperoleh melalui panca indera dan dismpan dalam hati secara tidak sadar. Pada saat panca indera reaktif terhadap segala sesuatu dari alam sekelilingnya, sesungguhnya ia didorong oleh nafsu.

2.Makrokosmos dan mikrokosmos
Makrokosmos adalah alam semesta seisinya yang dapat ditanggapi oleh panca indera manusia, kemudian disimpan secara tidak sadar sebagai pancamaya. Dengan demikian, isi alam semesta terdapat pada diri manusia, sekalipun hanya sebagai bayangan maya, bersifat semu.

3.Pramana
Pramana menunjukkan pengertian akan denyut jantung. Jadi selama masih berdenyut, selama itu raga masih hidup. Adapun yang menghidupi pramana adalah suksma sejati yang mampu merasakan adanya sifat-sifat Allah SWT. Pada raga dan jiwa manusia, jika raga manusia mati, pramanapun ikut mati. Akan tetapi, suksma sejati hidup terus dalam alam yang tidak terbatas waktunya, tanpa winates.

4.Ilmu pelepasan
Ilmu pelepasan adalah ilmu menjemput kematian yang diwejangkan oleh dewa Ruci kepada sena mencakup kematian dan pegangan hidup. Dijelaskan bahwa hidup tiada yang menghidupi karena sudah ada sejak makhluk berupa janin. Hidup tidak bersela waktu, artinya hidup abadi (langgeng). Dengan demikian yang mengalami kematian adalah raga, dan raga yang telah mati kembali ke tanah. Sedang jiwa dan suksma yang menghidupi raga selama hayat dikandung badan tidak mengalami kematian, tetapi kembali kepada asalnya, yaitu yang maha pencipta.

5.Hidup dalam mati dan mati dalam hidup
Hidup adalah mati dan mati adalah hidup menekankan bahwa agar selama orang masih hidup, nafsu yang mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan atau perpuatan jelek hendaknya ditinggalkan, sehingga menjadi nafsu yang mendorong perbuatan baik (nafsu muthmainnah). Dengan jalan demikian manusia dapat menyatukan diri dengan khaliknya.

Dalam pandangan kesatupadan serat dewa Ruci di atas, muncullah Bima yang tubuhnya menjadi kecil dalam kisah itu adalah proses ke arah semakin kecil dan ketiadaan diri. Itulah cermin kemanunggalan (larut dan lenyap) di dalam Allah.[54]

Pokok keilmuan Syekh Siti Jenar disebut sebagai “Ngelmu Ma’rifat Kasampurnaning Ngaurip” (ilmu ma’rifat kesempurnaan hidup [the science of ma’rifat to attain perfection of life]). Ranggawarsita menyebutkan basis ilmiah ajaran tersebut adalah renungan filsafat yg bentuk aplikasinya adalah metafisika dan etika.

Ajaran metafisika meliputi ontologi, kosmogoni dan antropologi. Ontologi berbicara tentang Ada dan tidak ada. Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar merumuskan tentang the Reality of the Absolute being (hakikat Dzat Yang Maha Suci) yg memiliki sifat, nama dan perbuatan “Kami”. Dari “Kami” inilah kemudian muncul “ada” dan “keadaan” lain, yg sifat hakikinya adalah “Tunggal”.

Manusia yg dalam hidupnya di alam kematian dunia ini disebut sebagai khalifatullah (wakil Allah=pecahan ketunggalan Allah), dan kemudian ia harus berwadah dalam bentuk jisim (jasmani) ia harus menyandang gelar “kawula”, sebab jasad harus melakukan aktivitas untuk memelihara jasadnya dari kerusakan dan untuk menunda kematian yg disebut "ngibadah” kepada yg menyediakan raga (Gusti). Maka kawula hanya memiliki satu tempat kembali, yakni Allah, sebagai asalnya. Maka manusia tidak boleh terjebak dalam wadah yg hanya berfungsi sementara sebagai “wadah” Roh Ilahi. Justru Roh Ilahi inilah yg harus dijaga guna menuju ketunggalan kembali (Manunggaling Kawula Gusti).

Ajaran ini banyak ditentang karena Tuhan dan manusia adalah hal yang berbeda. Tuhan yang mencipta sedangkan manusia yang diciptakan. Jadi antara yang menciptakan dan yang diciptakan tidak bisa bersatu.

Kalo logikanya orang awam : manusia menciptakan mobil ya brarti mobil dan manusia memang berbeda. Manusia mengambil bahan baku untuk membuat mobil diluar dirinya. nah kalau Tuhan menciptakan manusia. Apakah ia juga mengambil bahan baku diluar diri-Nya?

Ada beberapa martir sufi yang mengakui ajaran ini misalnya Syeh Siti Jenar dgn slogannya "Tiada Tuhan Melainkan Aku". Atau Al Hallaj yang mengatakan "Ana Al Haqq". Bahkan ada hadist nabi yang menceritakan bahwa nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan "Ana Ahmad bi la mim" (Ahad) artinya ya Nabi seakan-akan bilang dirinya Tuhan. istilah2 tersebut jelas menandakan bahwa Tuhan ada di dalam diri mereka. Bahkan di Quran pun dikatakan bahwa Allah itu lebih dekat daripada urat leher kita. (tulis alqur’an).

Bagi mereka yang mampu melakukan zikir hingga mencapai tahan "fana" maka biasanya ia akan mengalami "mahzub". Namun mahzub tidak mesti dalam keadaan fana. Mahzub bisa terjadi dalam keadaan sadar. Manusia yang mengalami mahzub biasanya akan mengatakan "Subhani" (Maha Suci Aku) dan istilah2 lain yang "meniadakan" dirinya sendiri sehingga memunculkan Tuhan dalam dirinya.

Ajaran MKG mengajarkan bahwa ada 3 unsur yang menyatu yaitu :
1. Sukma Kawekas (Nur Illahi)
2. Sukma Sejati (Nur Muhammad)
3. Nur Insan

Newer Post Older Post Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds