Tokoh Terkenal "SYEIKH SITI JENAR KI SASRAWIJAYA PART 5"
http://massandry.blogspot.com
Konsep Pendidikan Syekh Siti Jenar
Istilah pendidikan bagi Syekh Siti Jenar tak akan terlepas dari kata budi pekerti atau adab. Sebelum membahas konsep pendidikan itu sendiri, peneliti memulai tentang pendapat-pendapatnya tentang pendidik, peserta didik serta tujuan pendidikan.
Istilah pendidikan bagi Syekh Siti Jenar tak akan terlepas dari kata budi pekerti atau adab. Sebelum membahas konsep pendidikan itu sendiri, peneliti memulai tentang pendapat-pendapatnya tentang pendidik, peserta didik serta tujuan pendidikan.
1.Pendidik (Guru)
Manusia tidak hidup diatas realita tapi hidup diatas opini “pendapat”. Orang tua mengajar dan mendidik anaknya berdasarkan pandangan yang dia terima dari orang-orang yang berpengaruh di lingkungannya.
Syekh Siti Jenar tidak memperlakukan orang dewasa seperti anak-anak. Dia tidak mencari murid, tetapi orang-orang ingin menjadi muridnya. Orang yang betul-betul ingin tahu harus diberi tahu apa adanya. Tidak boleh dibohongi. Orang harus dituntun untuk mendapatkan jalan hidup. Cara-cara yang digunakan untuk mengajari orang Arab yang masih jahiliyah, ditinggalkan oleh Syekh Siti Jenar.
Induk kucing mengajak anak-anak bercanda, di tengah candanya itu sang induk pura-pura menangkap lawannya dan dan menggondolnya. Hanya dalam waktu relatif singkat anak-anak kucing itu mampu bertindak seperti induknya. Tetapi manusia? Justru kebanyakan orangtua tidak mampu meningkatkan kepandaian anaknya secara langsung. Biasanya orangtua mempercayakan pendidikan itu kepada orang lain yang disebut “guru”.
Rasanya pernyataan di atas memang tidak bisa dipungkiri, orang tua yang sibuk bekerja menjadikan interaksi dengan anak-anaknya sangat berkurang, sehingga guru yang meningkatkan kecerdasan afektif, psikomotorik dan kognitif adalah orang-orang yang bukan dari orang tua.
Selanjutnya Ahmad Chodjim juga menjelaskan bahwasanya ada 4 macam guru dalam konsep Jawa, yaitu:
a) Guru ujud, seorang yang pekerjaannya sebagai guru. Ia bisa berupa guru formal seperti guru di sekolah-sekolah. Atau guru nonformal seperti guru silat, guru ngaji, guru agama di sekitar rumah kita, dan lain-lain keahlian. Guru ujud mengajarkan pendapat dan ketrampilan yang sudah berlaku umum.
b)Guru pituduh atau guru petunjuk, fungsi guru ini memberikan petunjuk kepada murid-muridnya bagaimana ia harus menempuh hidup ini. Ia harus mengenal bakat dan potensi anak didiknya.
c)Guru sejati, guru yang memahami hakikat hidup. Guru ini mampu mengajar murid-muridnya untuk merasakan dan mempraktikkan sendiri dalam menempuh jalan hidup. Guru ini mengetahui dan dapat mengajarkan cara menempuh kematian yang sempurna, kalepasan. Sebuah kematian berdasarkan iradatnya sendiri. Kematian yang tidak dikarenakan bunuh diri. Tetapi berdasarkan kemampuan menutup pintu kematian di dunia ini. Inilah yang dimiliki murid-murid Siti Jenar.
d)Guru purwa, urutan guru yang tertinggi. Ia merupakan manifestasi tuhan. Dia mengetahui kodrat dan iradatnya sendiri. Seperti yang dikabarkan oleh sebuah hadist, bila tuhan telah mencintai hambanya maka dia sebagai penglihatan, pendengaran, tangan dan kaki hambanya. Jika dia mohon perlindungan, maka dia dilindungi-Nya. Siti Jenar adalah guru purwa, dia bisa menghendaki dirinya mati dengan cara berdzikir. Ketika dia mati, baunya harum bak seribu bunga. Mayatnya mengeluarkan cahaya yang lebih tenang dari bulan purnama.
Pendidikan sekarang banyak diajarkan oleh pendidik yang ujud saja, sehingga bukan bersifat “haqqu al-yaqin”, berdasarkan kenyataan. Banyak orang yang hafal secara teoritis tapi tidak mengerti praktiknya.
Dari sini, peneliti menyimpulkan bahwasanya guru bagi Syekh Siti Jenar adalah guru sejati yaitu sebagaimana yang diterangkan guru purwa.
2. Arti Peserta didik
Dalam Serat Syekh Siti Jenar yang dikisahkan oleh Arjawijaya, disebutkan:
Sejati jatining ngelmu
Lungguhe cipta pribadi
Pustining pangestinira
Gineleng dadya sawiji
Wijangin ngelmu dytmika
Neng kahanan eneng-ening[55]
Artinya: Ilmu sejati menurut beliau adalah ilmu yang sebenarnya, berada pada cipta pribadi. Kreasi yang tumbuh dari dalam diri. Bukan yang kita terima dari orang lain. Yang kita dapat melalui indra, melalui pengajaran, itu hanyalah refleksi ilmu.
Untuk mendapatkan ilmu sejati manusia harus sunyi dari pamrih. Harus bening pikirannya. Bebas dari kekelutan dan kecemburuan. Bebas dari kekalutan dan kecemburuan, bebas dari dari kedengkian kalbu betul-betul diam., tak ada gemerisik. Hati dan pikiran menjadi satu sehingga tak ada konflik batin. Mak, dalam kondisi yang sepi dan tenang ini mengalirkan ilmu dari kedalaman pribadi. Mengetahui kenyataan, pancaindra tak berfungsi. Mengetahui bukan karena kata orang lain. Bukan karena membaca buku-buku.
Tapi beliau tidak mengharamkan membaca buku, Achmad Chodjim juga menjelaskan membaca buku-buku itu tetap harus karena sebagai penjelas atau jalan untuk memahami ilmu tersebut.
Jadi peserta didik yang telah dikonsep oleh beliau harus:
a)Mengendalikan hawa nafsu
b)Olah rasa dan olah nalar
c)Sungguh-sungguh dan kukuh
d)Tekad dan pekerti yang mengalahkana hawa nafsu
e)Sunyi dari pamrih
f)Bebas dari kecemburuan dan kedengkian.
3.Tujuan Pendidikan
Dalam kultur Jawa tidak menyebutkan kata-kata pendidikan tapi ngelmu yang artinya ilmu itu dapat dicapai dengan tindakan olah rasa “menghayati”, olah nalar “berfikir jernih”, dan olah kabisan “mengasah ketrampilan”, disertai kesungguhan hati dan pengendalian hawa nafsu.
Ngelmu berarti mengetahui kenyataan. Jadi, berilmu bukan sekedar mengetahui tapi dapat juga mengaplikasikannya. Ada wujudnya, ia harus bebas dari indra. Ingat indra bisa menipu kita, ada kenyataan yang tak dapat diketahui oleh indra, yaitu hidup sejati. Karena hanya mengandalkan indranya maka manusia tidak mampu melihat kenyataan yang akan terjadi.
Dalam bukunya Achmad Chodjim dijelaskan bahwasanya tujuan pendidikan yang ditawarkan Syekh Siti Jenar adalah menjadi manusia sejati. Manusia sejati adalah manusia yang berkehendak, berbudi luhur, beramal saleh, bukan karena diiming-imingi surga oleh orang lain. Juga bukan karena ditakut-takuti neraka. Semua tumbuh dari iradatnya.
Menurut Agus Sunyoto dalam dialognya Inti tujuan pendidikan Syekh Siti jenar adalah menciptakan siswa yang beriman, berakhlah dan berbudi luhur, sehingga menjadi manusia yang membrikan manfaat bagi orang lain “anfa’uhum linnas”.
Kemampuan jiwa untuk menerima ilham atau jalan yang baik dan yang buruk dalam tatanan kehidupan ini. Dan, kemanusiaan mulai matang setelah sang pribadi mempunyai sandangan kehormatan yaitu nafs al-muthmainnah. Jiwa yang tenang. Pada jiwa ini aspek rasio dapat berkembang optimal. pada jiwa ini manusia dapat melangkah ke tangga yang lebih tinggi untuk menjadi insan kamil. Manusia sempurna. Manusia yang mulai arif menggunakan akal budinya.
Dalam hidupnya beliau mendidik orang untuk dapat mengetahui yang maha kuasa, dan mengethui letak pintu-pintu kematian. Yang maha kuasa dan pintu-pintu kematian adalah kenyataan. Nah, pribadi yang sejati adalah pribadi yang dapat mewujudkan kodrat, iradat dan ilmunya.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar (Yogyakarta; Pustaka Belajar, 2005), hlm. 364
[2] http://aindra.blogspot.com/2007/10/syech-siti-jenar-dan-pemahaman-ttg.html, indra Tgl 1.10.07, diambil, 06/05
[3] Rachimsyah, Biografi dan Legenda Walisanga (Surabaya; Penerbit Indah, 1997), hlm. 211-212
[4] Ibid, hlm. 211-212.
[5] Abdul Munir Mulkhan, loc, it, hlm. 3-4.
[6] Ibid, hlm. 62-63
[7] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa; Telaah atas Metode Dakwah Walisongo (Bandung; Mizan), hlm. 49-50
[8] Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan Dan Perkembangan Kota-Kota Muslim Di Indonesia (Menara Kudus, 2000), hlm. 34.
[9] Purwadi, Babad Tanah Jawi: Menelusuri Jejak Konflik (Yogyakarta: pustaka alif, 2001), hlm. 37
[10] Hasanu Simon, hlm. 367
[11] Agus Sunyoto, Suluk Malang Sungsang: Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti Jenar (Yogyakarta: Pustaka Sastra, 2006), hlm. 289
[12] Ibid, hlm. 290-291
[13] Ragil Pamungkas, Teka Teki Walisongo dan 7 Kesalahan Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2008), hlm. 91
[14] Ibid, hlm. 91
[15] Ibid, hlm. 301-302
[16] Abdul Munir Mulkhan 1999, 114-115
[17] Widji Saksono 1995, hlm. 61
[18] Hasanu Simon, 408
[19] Abdul Munir Mulkhan, 1999, 116-130
[20] Abdul Munir, 1999, 97-98
[21] Hasanu Simon, 415
[22] http://www.facebook.com/agus.sunyoto1#!/agus.sunyoto1/posts/1931317007238, Agus Sunyoto 06 Maret jam 23:30. Diakses 09032011,
[23] Agus Wahyudi, Ma’rifat Syekh Siti Jenar: Makna Bahagia Sejati (Yogyakarta: Lingkaran, 2007), hlm. 6
[24] Ragil Pamungkas, hlm. 129-137
[25] Ibid, hlm. 7
[26] Op, It, hal. 385.
[27] Gatra, Walisongo, Syiar Panjang Tanpa Pedang, Edisi Khusus, hal. 74.
[28] Op, it, hal. 388
[29] Ibid, hal. 389
[30] Abdul Munir Mulkhan, loc, it. hal. 74-75.
[31] Ririn Sofwan, H. Wasit, H. Mundiri, Islamisasi di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. hal. 210.
[32] Ibid. hal. 72 .
[33] OP, It. hal. 29.
[34] Ibid, hal. 292.
[35] Abdul munir mulkhan, lop, It. hal. 9-10.
[36] Lebe lontang pada hakekatnya merupakan praktik upacara agama budha sekte Bhairawa, yaitu budhisme yang mengalami sinkretasi dengan unsur-unsur Indonesia asli, Jawa dan Cina sehingga menjadi tantrayana atau saktayana. Bermula dari paham dan praktik keagamaan, dimodifikasi dan diberi label serta kedok Islam lengkap dengan pengucapan lafal Arab, terciptalah upacara ibadah, kaidah moral dan syariat yang bersifat amoral, anakhis dan zindiq. Tatanan tersebut oleh Lebe Lontang dinamakan dzikir ojrat ripangi, yang isinya memfitnah dan sangat melecehkan Islam.
[37] Widji Saksono, Loc, it, hal. 46-47
[38] Ibid, hal. 66
[39] Abdul Munir Mulkhan, Lop,it, hal. 7
[2] http://aindra.blogspot.com/2007/10/syech-siti-jenar-dan-pemahaman-ttg.html, indra Tgl 1.10.07, diambil, 06/05
[3] Rachimsyah, Biografi dan Legenda Walisanga (Surabaya; Penerbit Indah, 1997), hlm. 211-212
[4] Ibid, hlm. 211-212.
[5] Abdul Munir Mulkhan, loc, it, hlm. 3-4.
[6] Ibid, hlm. 62-63
[7] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa; Telaah atas Metode Dakwah Walisongo (Bandung; Mizan), hlm. 49-50
[8] Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan Dan Perkembangan Kota-Kota Muslim Di Indonesia (Menara Kudus, 2000), hlm. 34.
[9] Purwadi, Babad Tanah Jawi: Menelusuri Jejak Konflik (Yogyakarta: pustaka alif, 2001), hlm. 37
[10] Hasanu Simon, hlm. 367
[11] Agus Sunyoto, Suluk Malang Sungsang: Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti Jenar (Yogyakarta: Pustaka Sastra, 2006), hlm. 289
[12] Ibid, hlm. 290-291
[13] Ragil Pamungkas, Teka Teki Walisongo dan 7 Kesalahan Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2008), hlm. 91
[14] Ibid, hlm. 91
[15] Ibid, hlm. 301-302
[16] Abdul Munir Mulkhan 1999, 114-115
[17] Widji Saksono 1995, hlm. 61
[18] Hasanu Simon, 408
[19] Abdul Munir Mulkhan, 1999, 116-130
[20] Abdul Munir, 1999, 97-98
[21] Hasanu Simon, 415
[22] http://www.facebook.com/agus.sunyoto1#!/agus.sunyoto1/posts/1931317007238, Agus Sunyoto 06 Maret jam 23:30. Diakses 09032011,
[23] Agus Wahyudi, Ma’rifat Syekh Siti Jenar: Makna Bahagia Sejati (Yogyakarta: Lingkaran, 2007), hlm. 6
[24] Ragil Pamungkas, hlm. 129-137
[25] Ibid, hlm. 7
[26] Op, It, hal. 385.
[27] Gatra, Walisongo, Syiar Panjang Tanpa Pedang, Edisi Khusus, hal. 74.
[28] Op, it, hal. 388
[29] Ibid, hal. 389
[30] Abdul Munir Mulkhan, loc, it. hal. 74-75.
[31] Ririn Sofwan, H. Wasit, H. Mundiri, Islamisasi di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. hal. 210.
[32] Ibid. hal. 72 .
[33] OP, It. hal. 29.
[34] Ibid, hal. 292.
[35] Abdul munir mulkhan, lop, It. hal. 9-10.
[36] Lebe lontang pada hakekatnya merupakan praktik upacara agama budha sekte Bhairawa, yaitu budhisme yang mengalami sinkretasi dengan unsur-unsur Indonesia asli, Jawa dan Cina sehingga menjadi tantrayana atau saktayana. Bermula dari paham dan praktik keagamaan, dimodifikasi dan diberi label serta kedok Islam lengkap dengan pengucapan lafal Arab, terciptalah upacara ibadah, kaidah moral dan syariat yang bersifat amoral, anakhis dan zindiq. Tatanan tersebut oleh Lebe Lontang dinamakan dzikir ojrat ripangi, yang isinya memfitnah dan sangat melecehkan Islam.
[37] Widji Saksono, Loc, it, hal. 46-47
[38] Ibid, hal. 66
[39] Abdul Munir Mulkhan, Lop,it, hal. 7
[40] Ahmad Chodjim, hlm, 80
[41] Agus Sunyoto, Suluk Sungsang, hlm. 313-314
[42] http://indonesia.faithfreedom.org/forum/syekh-siti-jenar-t34838/, Wed Sep 02, 2009 7:54 pm.oleh, lemah abang
[43] Ibid, http://indonesia.faithfreedom.org/forum/syekh-siti-jenar-t34838/, Wed Sep 02, 2009 7:54 pm.oleh, lemah abang
[44] Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar: Panduan menuju kemenyatuan dengan Allah, refleksi, dan penghayatan Syekh Siti Jenar (Jakarta: PT Buku Kita, 2007), hlm. 121
[45] Ibid, 122
[46] Ibid, 137
[47] Soesilo, hlm. 98
[48] P.J. Zoemulder, Manunggaling Kawulo Gusti: Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 128
[49] Agus Wahyudi, hlm.7
[50] Abdurrahman Abdul Khaliq dan Ihsam Ilahi Zhahir, Pemikiran Sufismr: Di Bawah Bayang-Bayang Fatamorgana (Jakarta: Amzah, 2001), hlm.23
[51] Soesilo, Ajaran Kejawen: Filosofi dan perilaku (Jakarta: Yusula, 2002), hlm. 96-97
[52] Ibid, hlm. 97
[53] Haryanto, Bayang-Bayang Adiluhung: filsafat Simbolik dan Mistik dalam Wayang (Semarang: Dahara Priza, 1992)_
[54] Abdul Munir Mulkhan, Pewarisan Ajaran Syekh Siti Jenar: Pembuka Pintu Makrifat (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm. 218-219
[55] Achmad Chodjim, hlm. 120