Monday, April 8, 2013

Tokoh Terkenal "SYEIKH SITI JENAR KI SASRAWIJAYA PART 2"

http://massandry.blogspot.com
Dikisahkan dalam Suluk Malang Sungsang, setelah memasuki tahun kelima dari perjalanannya di pedalaman Nusa jawa, sampailah Abdul Jalil di dukuh Lemah Abang yang terletak di kaki utara gunung Mahendra (Lawu) di lembah selatan bengawan Sori. Di dukuh yang dibukannya barang enam tahun silam itu ia disambut dengan penuh suka cita oleh murid-murid yang sangat merindukannya. Namun, ia memutuskan tidak tinggal di Lemah Abang. Ia tinggal dan mengajar di Siti Jenar, yang terletak di utara Bengawan Sori. Berbeda dengan tampilan keseharian sewaktu ia menggunakan nama masyhur Syaikh Jabaranta, di dukuh Siti Jenar itu ia melepaskan khirqah sufi dan tidak memperkenalkan diri dengan nama Syaikh Jabarantas. Hal ini dikarenakan peringatan dari istrinya menyangkut sikap para wiku yang sangat berlebihan menghormatinya, seolah-olah mereka adalah sekumpulan umat yang menunggu sabda Nabi panutannya. Para wiku selalu mengiyakan apa saja yang di sampaikan Abdul Jalil tanpa ada yang bertanya apalagi membantah.[11]

Sadar anggapan keliru para wiku itu bakal mendatangkan masalah yang tidak kalah pelik dibanding nama mashur Syaikh lemah Abang di Caruban, Abdul Jalil pun buru-buru melepas khirqah ketika akan memasuki dukuh Siti Jenar. Itu sebabnya, tidak ada seorangpun yang mengenalnya sebagai guru suci termasyhur bernama Syekh jabarantas. Kepada para murid yang semula mengenalnya dengan nama Syaikh Lemah Abang, ia meminta untuk tidak menggunakan nama itu lagi. Para murid dan penduduk desa-desa sekitar menyebutnya dengan nama baru sesuai dukuh tempatnya mengajar, yaitu Syaikh Siti Jenar (Jawa Kuno: guru suci dari dukuh Siti Jenar).[12]

Versi yang berbeda menyatakan, nama Syekh Siti Jenar diberikan karena Ali Hasan pernah menjadi seekor cacing tanah. Sebelum Ali Hasan yang sekarang memiliki julukan Syekh Siti Jenar dinobatkan menjadi anggota dewan walisongo, terlebih dahulu Siti Jenar belajar kepada Sunan Giri. Karena ia merupakan salah satu anggota yang bisa dikatakan juga sebagai murid baru, maka Syekh Siti Jenar hanya diberikan ajaran yang sekiranya perlu.[13]

Ia mencuri ilmu, dikarenakan saat itu ia merasa sudah menguasai ilmu yang diberikan oleh Sunan Giri, untuk itu ia mempelajari yang belum ia ketahui.[14]

Tidak lama kemudian setelah ia sadar, bahwa dirinya diberhalakan oleh murid-muridnya, ia mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan dukuh Siti Jenar, meski ia tahu istrinya sedang hamil tua. Sebelum pergi, ia menyampaikan khotbah Tauhid kepada para murid dan orang-orang yang mengaku pengikutnya. Inti dari khotbah itu adalah setiap orang harus sadar jika segala sesuatu yang tergeletak di alam semesta ini adalah nisbi. Tidak ada yang bersifat mutlak. Lantaran itu, masing-masing orang harus hidup madya (tengah-tengah), ora ngoyo (tidak berlebihan), dan ora ngongso (tidak melampui batas).

Setelah itu ia dan istrinya melewati jalan setapak berliku atau lembah yang tak banyak dilewati manusia. Namun, sepanjang perjalanan yang diliputi kesunyian itu, ia justru merasakan kerinduan yang kuat untuk berbagi keberlebihan-kelimpahannya kepada manusia. Ia merasa berat untuk menggenggam tangannya erat-erat dan tidak memberi. Ia merasakan jiwanya seperti air mata berbual-bual yang airnya tidak dapat mengalir karena tertahan tumpukan batu-batu berbalut lumpur kotor. Akhirnya ia bersinggah di kerajaan Pengging.

Pengging adalah daerah yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi, yang membentang sejak lembah selatan dan tenggara gunung Candrageni hingga wilayah timur gunung Candramukha, terus ke utara hingga perbatasan Kadipaten Semarang. Meski Pengging hanya negeri kecil sempalan Majapahit yang lebih sempit wilayahnya dibandingkan Pajang, Mataram, dan Paris Luhur, di bawah kepemimpinan Prabu Adi Andayaningrat, kemakmuran Pengging tidak kalah dibandingkan ketiga kerajaan tersebut. Bahkan dalam hal keamanan boleh dikata pengging sangat kuat dan mantab kecuali wilayah perbatasan Mataram-Pajang-Pasir-Pengging yang seperti tanpa penguasa.[15]

Kematian Syekh Siti Jenar tidak terlepas dari kisah persidangan Walisongo, dengan memperhatikan akibat buruk tibdakan-tindakan Syekh Siti Jenar itu akhirnya sidang Walisongo memutusakan hukum kisas baginya.

Sidang dihadiri oleh delapan wali yang lain dan dipimpin oleh Sunan Giri sebagai ketua. Sunan Giri mengutus dua santri pilihan untuk menyampaikan hasil keputusan Walisongo itu kepada Syekh Siti Jenar. Ketika dua utusan itu tiba di tempat tinggal Syekh Siti Jenar, Syekh Siti Jenar menanyakana bagaimana sebutan dirinya dalam undangan sunan Giri itu. Kedua utusan mengatakan bahwa yan diundang adalah Syekh Lemah Abang, maka Syekh Siti Jenar menjawab bahwa Syekh Lemah Abang tidak ada disini, yang ada ialah pangeran Sejati (Allah), yaitu Jatining Pangeran Muya. Dengan kesal kedua utusan itu kembali tanpa hasil.

Ketika mendengar laporan tersebut, sunan Giri marah sekali, tetapi masih dapat di sabarkan oleh wali yang lain. Kedua utusan disuruh kembali untuk memnaggil pangeran sejati. Dipanggil dengan sebutan itu, Syekh Siti Jenar menyarankan agar utusan itu kembali ke Giri karena tidak ada disitu pangeran sejati, yang ada Syekh Lemah Abang utusan kembali lagi dengan tangan hampa dan kesal. Sesampai di Giri, utusan itu disuruh kembali untuk mengundang Pangeran Sejati alias Syekh Lemah Abang, atau Syekh Lemah Abang alias Pangeran Sejati. Dengan panggilan itu barulah Syekh Siti Jenar mau memenuhi undangan Sunan Giri atas nama Walisongo. Setelah Walisongo berkumpul semua, forum terpecah menjadi dua kubu, yaitu walisono (delapan orang) berhadapan dengan Syekh Siti Jenar seorang diri. Setelah nyata dan yakin bahwa Syekh Siti Jenar tersesat dan bid’ah, maka para wali berusaha untuk menginsyafkannya. Tetapi ajakan itu ditolak, seperti diberitakan kitab walisana dalam langgam Asmarandana, pupuh XXXII bait 20-21.

Mengahadapi masalah itu, patih Wonosalam mengusulkan kepada raja agar membuat surat dengan ditandatangani oleh patih, penghulu dan jaksa. Isi surat minta agar Syekh Siti Jenar menghadap raja Demak dan kalau tidak mau datang akan dihukum kisas. Sunan Kalijogo mengusulkan agar orang yang ditunjuk sebagai utusan adalah semua wali. Namun sunan Maulana Maghribi mengusulkan cukup lima wali saja yang masing-masing disertai oleh murid-muridnya. Atas dasar itu lalu berangkatlah Sunan Mbonang, Sunan Kalijogo, Pangeran Modang, pangeran Kudus dan Sunan Geseng. Utusan berangkat ke desa Krendhasewa diikuti oleh 40 santri. Para santri memakai pakaian serba putih dan membawa senjata tajam.[16] Menghemat penulisan, akhirnya memutuskan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar. Sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti di mana letak desa Krendhasawa, tempat tinggal Syekh Siti Jenar tersebut.

Walaupun Walisongo telah memutuskan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar, namun pelaksanaan pidanannya masih ditangguhkan sampai berdirinya pemerintahan atau kerajaan Islam di Demak. Para wali berpendapat bahwa masalah eksekusi hukuman mati sebagai perkara pidana adalah hak penguasa negara Islam yang sah, bukan hak pribadi seseorang. Sebagai pribadi para wali tidak mempunyai hak untuk menetapkan suatu pidana, apalagi pidana mati atas seseorang. Setelah kerajaan Islam Demak Bintara berdiri, Syekh Siti Jenar dipanggil oleh sidang Walisongo. Tetapi ternyata pendirian Syekh Siti Jenar tidak berubah sehingga hukum kisas dilaksanakan atasnya.[17] 

            Tentang pemberian hukuman mati kepada Syekh Siti Jenar ini Babad Tanah Jawi (Wirjapanitra, hlm.21-22) menuliskan,

Sunan Mbenang Mbisiki Sunan Kudus supaya Sitijenar den pateni. Ing wasana Sitijenar pinedhang dening Sunan Kudus, sirahe gumlundhung ing lemah, getihe abang muncrat-muncrat. Sunan Kudus ngendika: Elo iki jarene Allah, teka getihe abang. Padha sanalika metu getihe putih, gandane arum mengambar, sarine gumlundhung aneng lemah. Sunan Kudus ngendika; jarene Allah, teka padha bae karo aku, jisime gumluntung aneng lemah. Padha sanalika jisime mumbul terus sirna. Sunan Kudus ngendika maneh; lah iki wali apa, dene patine nggawa jisim, kaya jim prayangan. Kacarita jisime tumuli niba eneng lemah. Banjur dukubur.

Intinya, perkumpulan para wali di Demak, dipimpin oleh Sunan Giri, yang memutuskan untuk menghukum Syekh Siti Jenar. Sunan Kudus mengusulkan agar Syekh Siti Jenar diundang ke Demak. Untuk itu diutuslah dua orang memanggil Syekh Siti Jenar. Pertama kali kedua utusan itu tidak berhasil, utusan lalu kembali ke Demak. Akan tetapi keduannya disuruh kembali ke tempat tinggal Syekh Siti Jenar untuk memanggil lagi. Pada panggilan kedua ini Syekh Siti Jenar mau datang dan kemudian ditetapkan hukum mati baginya. Pelaksanaan hukuman mati tersebut dilakukan oleh Sunan Kudus dengan dipedang lehernya.[18]

Sumber lain menyatakan, bahwa rombongan utusan raja Demak yang ditugaskan untuk mengatasi masalah Syekh Siti Jenar itu dipimpin Sunan Mbonang. Ketika rombongan utusan Demak tiba di desa Krendhasawa, mereka lalu menuju tempat tinggal Syekh Siti Jenar. Salam yang diucapkan oleh pimpinan rombongan, yaitu sunan Mbonang sama sekali tidak dijawab oleh Syekh Siti Jenar yang sedang mengajar murid-muridnya. Oleh karena itu surat raja lalu dilemparkan kepada Syekh Siti Jenar dan jatuh dipangkuannya. Syekh Siti Jenar terkejut dengan kejadian itu, tetapi tidak menghiarukan tamunnya dan terus melanjutkan mengajar ilmu kepada murid-muridnya, pura-pura tidak tahu kalau ada rombongan tamu terhormat.

Setelah terjadi perdebatan lama antara sunan Mbonang dengan Syekh Siti Jenar, dan kemudian Syekh Siti Jenar pilih mati dengan caranya sendiri. Cara yang ditempuh, menurut Abdul Munir Mulkhan yaitu memusatkan fikiran, lalu menutup rapat-rapat pintu nafas, menggulung habis rahasia hidupnya, kemudian dilepas ke tempatnya semula. Cara mati ini tentu sulit ditangkap orang lain dan tidak masuk akal, tetapi sangat dikagumi oleh para penganutnya. Cara bunuh diri seperti ini dianggap hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang tingkat kerohaniannya sangat tinggi.[19]

Dalam serat Syekh Siti Jenar disebutkan bahwa ketika walisongo membuka keranda yang berisi jenazah Syekh Siti Jenar, mereka mencium bau wangi dan cahaya kemilau. Kalau hal itu diketahui umum, mereka khawatir popularitas Syekh Siti Jenar akan meningkat dan sebaliknya membuat walisanga merasa malu serta wibawa kerajaan Demak akan memudar. Olek karena itu tanpa sepengetahuan raja Demak, jenasah Syekh Siti Jenar lalu diganti dengan bangkai anjing kudisan.[20]

Selain itu, sebuah kisah lain lagi menyatakan bahwa pengadilan Syekh Siti Jenar dan pemakamannya dilakukan di Cirebon. Bahkan kisah pengadilan Syekh Siti Jenar di cirebon ini juga dilengkapi dengan tempat pemakamannya yang dinamakan makam Pamlaten, karena katanya pada waktu makam dibongkar kembali yang nampak bukan jenasah manusia, melainkan dua kuntum bunga melati yang harum baunya.[21]

Menurut Agus Sunyoto, Syekh Siti Jenar wafat biasa karena usia tua. kisah-kisah legenda tentang eksekusi membingungkan dan tidak sesuai kronologi waktu, terutama saat terjadi kontroversi naskah Cirebon dan Demak. Menurut naskah Cirebon, Syekh Siti Jenar diadili dan dieksekusi di Masjid Cipta Rasa Cirebon. Menurut versi Demak, Syekh Siti Jenar diadili dan dieksekusi di Masjid Demak. Mungkinkah satu orang diadili dan dieksekusi di dua tempat dalam waktu berlainan?.[22]

Menurut penganut Tarikat Akmaliyah yg dinisbatkan kepada Syekh Siti Jenar, sesungguhnya Syekh Siti Jenar tidak diadili dan dieksekusi mati. Tapi ajarannya dilarang Sultan Demak.

Bagaimanapun Kisahnya, semua serba kontrofersi mulai dari adanya, asal usulnya bahkan makamnya. Namun, setiap elemen pasti memiliki negatif dan positifnya, begitu juga Dia.

Banyak pelajaran kebaikan yang dapat kita ambil dari kisah hidup dan ajaran Syekh Siti Jenar. Meski sumber tentang kehidupan dan pahamnya hanya bersumber karangan pujangga, yakni Raden Sosrowidjojo dan kenjeng Sunan Pakubuwono VI, hal ini tidak menjadikan kita surut untuk menggali kebenaran umat di saat kini, yakni tingkah dan tindakannya yang congkak, kurang mengahargai tatanan masyarakat, kurang menghormati hukum syari’at dan negara, serta tutur kata yang kasar tiada mengerti perasaan lawan bicara. Hal ini tidaklah sesuai dengan teladan kanjeng nabi Muhammad Saw.[23]

Ragil menuliskan 7 kesalahn Syekh Siti Jenar, yaitu:[24]
a)Syekh siti jenar tidak menggunakan cara yang baik untuk mencari ilmu
b)Syekh Siti Jenar keluar dari syari’at
c)Syekh Siti Jenar tidak menempatkan ilmu pada tempat yang seharusnya
d)Syekh Siti Jenar tidak mencapai maksud dalam belajar ilmu
e)Syekh Siti jenar tidak menghargai kedudukan orang lain
f)Syekh Siti Jenar tidak menghargai kehidupan

Sementara pelajaran baik yang dapat kita ambil adalah tentang kesempurnaannya dalam bertauhid. Puncak pengharapan seorang saalik atau penempuh jalan spiritual adalah tercapainya keadaan tauhid dalam diri secara sempurna. Tauhid dalam arti penyatuan, yakni penyatuan tuhan dan meniadakan yang lainnya. Sebagaimana isi syahadat atai penyaksian sebagai rukun islam yang pertama.[25]

Menurut penganut Tarikat Akmaliyah yg dinisbatkan kepada Syekh Siti Jenar, sesungguhnya Syekh Siti Jenar tidak diadili dan dieksekusi mati. Tapi ajarannya dilarang Sultan Demak.
Dari ulasan diatas dapat disimpulkan, bahwasanya kematian Syekh Siti jenar ada dua pendapat:
a)Menurut Widji Saksono, mati karena hukuman kisas (dipenggal) 
b)Menurut Munir Mulkhan, mati karena keinginannya sendiri
c)Menurut Agus sunyoto, mati karena usia tua

Makam Syekh Siti Jenar:
a)Masjid Demak
b)Cirebon, pemakaman Pamlaten

Newer Post Older Post Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds