Tokoh Terkenal "SYEIKH SITI JENAR KI SASRAWIJAYA PART 3"
http://massandry.blogspot.com
Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal sebagai ajaran ilmu kebatinan. Suatu ajaran yang menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah yang kasat mata. Intinya ialah konsep tujuan hidup. Titik akhir dari ajaran Siti Jenar ialah tercapainya manunggaling kawula-Gusti. Yaitu bersatunya antara roh manusia dengan Dzat Allah. Paham inilah yang hampir sama dengan ajaran para zuhud, wali dan orang-orang khowash. Zuhud banyak dijumpai dalam dunia tasawuf. Mereka merupakan orang-orang atau kelompok yang menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan duniawi. Sebab mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih utama, yakni ingin mencapai kesucian jiwa atau roh.
Inti ajaran Syeh Siti Jenar adalah pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara makhluk dengan Dzat Pencipta, yang lebih populer disebut sebagai manunggaling kawula-Gusti. Bagian-bagian dari ajaran itu adalah meliputi penguasaan hidup, pengetahuan tentang pintu kehidupan, tentang kematian, tempat kelak sesudah ajal, hidup kekal tak berakhir, dan tentang kedudukan Yang Mahaluhur. Paham yang hampir senada dengan falsafah Jawa kuno.
Menurut Walisana, Syekh Siti Jenar adalah San Ali Ansor, yaitu seorang ahli sihir yang tidak diterima berguru kepada sunan Giri karena sang guru khawatir ilmunya akan diselewengkan.[26]
Disisi lain Gatra dalam bukunya mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar pada awalnya adalah bagian dari walisongo. Oleh dewan walisongo, Syekh Siti Jenar diserahi tugas untuk mengajar sasahidan, yaitu belajar syahadat dan tauhid. Tetapi belakangan ajaran Syekh Siti jenar lebih mengarah ke ilmu hakikat yang kemudian mengabaikan syari’at sehingga walisongo menilai hal itu bukan konsumsi orang yang awam dengan ajaran islam. Di daerah miskin dan terbelakang yang masyarakatnya baru saja meninggalkan agama Hindu dan terlepas dari kekangan aturan kasta, ajaran pembebasan seperti itu sangat menarik. Itulah sebabnya mengapa di daerah tertentu ajaran Syekh Siti Jenar cepat berkembang dari pada ajaran walisongo.[27]
Ada kemungkinan, bahwa bergabungnya mereka dengan aliran Syekh Siti Jenar itu bukan karena landasan keyakinan agama, melainkan karena alasan politik stategis. Karena hal serupa pernah terjadi sekitat tahun 1965-1968, ketika para penganut faham komunis di Indonesia ketakutan dengan reformasi orde baru yang membubarkan partai komunis itu lalu menggabungkan diri dengan kelompok non Islam apa saja karena sebelumnya PKI sangat bermusuhan dengan golongan Islam.
Kepada siapa saja Syekh Siti Jenar menggali ilmu, beritanya sangat simpang siur. Mungkin Syekh Siti Jenar pernah berguru kepada Vendanta Budhisme, mungkin pula pada seorang guru Syi’ah Bathiniyah, bahkan mungkin dari mazhab Zindiq. Dalam kitab Walisana disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar pernah berguru pada sunan Giri secara mencuri-curi, karena beliau dianggap memiliki ilmu sihir, dengan alasan ditakutkan kalau ajaran Islam disalah gunakan untuk meningkatkan ilmu sihir yang telah dimiliki oleh beliau.[28]
Salah satu ajaranya yang dianggap aneh ialah tentang hidup dan mati, tentang tuhan dan manusia, serta kewajiban memenuhi rukun Islam. Syari’at yang dikenakan bagi orang hidup, tidak berlaku bagi orang yang mati. Padahal, Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa semua orang di dunia ini adalah mati, dan kehidupan yang sesungguhnya baru dimulai setelah orang meninggalkan dunia. Orang-orang yang nampaknya hidup di dunia ini tak lain adalah bangkai-bangkai yang terdiri atas tulang dan daging yang kelak akan ditinggalkan.[29]
Sebelumya, agar pembahasan lebih sistematis, maka dipisahkan antara inti ajaran dan pandangan Syekh Siti Jenar terhadap syari’at Islam. Kedua hal itu sebenarnya memang sangat erat hubunganya. Dengan pemisahan itu diharapkan pembahasan selanjutnya lebih terfokus.
Dengan pendirian serta keyakinan kepada murid-muridnya, beliau mengajarkan lima tahap ilmu, yaitu:
a) tentang asal-usul manusia.
b) masalah yang berkaitan dengan pintu kehidupan.
c) tempat manusia hidup kekal dan abadi.
d) tempat alam kematian yang sekarang sedang dialami.
e) tentang adanya Yang Maha Luhur yang menciptakan bumi dan angkasa.
Para murid yang kebanyakan orang awam menerima dengan mentah-mentah, berlaku seperti orang kehilangan akal, sikapnya angkuh bahwa ia adalah orang pilihan sebagai murid beliau. Seperti gurunya mereka merasa bahwa hidup di dunia adalah siksaan maka tindakanya menunjukkan sebagai orang yang tidak betah hidup.
Setelah menerima lima langkah ilmu tersebut, banyak murid Syekh Siti Jenar yang memilih mengakhiri kematian di dunia ini dengan cara bunuh diri atau berbuat onar agar mereka terbunuh. Murid-murid Syekh Siti Jenar merasa tidak tahan lagi berada di dunia yang selalu mengalami kesulitan, penderitaan dan kesengsaraan. Mereka merasa bosan dan muak melihat bangkai-bangkai berserakan dan berkeliaran ke mana-mana.[30]
Bagi beliau hidup di dunia ini adalah mati yang disitu terdapat baik buruk, sakit dan enak, mujur dan celaka, surga dan dunia. Bahagia dan sempurna campur menjadi satu. Dengan adanya peraturan, maka manusia terbebani sejak lahir. Oleh karena itu, ajaran Syekh Siti Jenar sangat menekankan pada upaya mencari hidup yang abadi agar tahan mengalami hidup dunia itu. Beliau selalu mengajarkan bagaimana cara mencari moksa. Hidup ini mati karena mati adalah hidup yang sesungguhnya, karena manusia bebas dari segala derita.[31]
Beliau memandang kehidupan di dunia ini sebagai kematian yang singgah di dalam raganya. Inilah yang membuat manusia tersesat di dalam neraka. Oleh karena itu Syekh Siti Jenar ingin segera mengakhiri kematianya di dunia dan menempuh kehidupan yang abadi.[32]
Pandangan seperti ini ditolak oleh orang-orang yang tingkatanya masih syari’at, dengan rasionalisasi, Allah Swt memang beberapa kali bersabda dalam Al-Qur’an, bahwa setelah seseorang meninggal dunia, dia akan hidup kekal di alam lain. Misalnya surat Al-Baqoroh ayat 154 yang artinya:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
Yang dimaksud hidup disini adalah hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan Hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu.
Dari ayat ini sama sekali tidak tersirat bahwa hidup di dunia itu sia-sia. Mereka telah berjihad dan rela mati karena Allah, kemudian setelah itu mereka hidup di alam akherat dengan menikmati jerih payahnya selama berjuang di alam dunia. Jadi jelas disini bahwa hidup di dunia dan akherat merupakan rangkaian yang saling berkaitan.
Selain itu dalam surat Adz-Dzariat ayat 56 mengatakan:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Jadi kalau beliau memandang kehidupan di dunia itu sebagai kematian, lalu orang hidup dianggap sebagai bangkai yang genthayangan, itu jelas penafsiran yang keliru atau penafsiran yang tidak berdasarkan ajaran al-Qur’an. Hidup di dunia hanya sementara waktu, paribahasanya “hanya mampir ngombe”, tetapi bukan berarti yang hanya sebentar itu tidak penting. Namun bukan berarti kita harus mencela ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar, memang kelihatannya lain dari pada yang lain tapi kalau dipikir secara mendalam semua perbedaan tidak ada yang salah karena memiliki dasar-dasar sendiri.
Dari sisi lain, Widji Saksono berpendapat bahwa faham Syekh Siti Jenar merupakan bibit Zindik, yaitu gerakan politik yang menentang atau melemahkan gerakan Islam yang dipimpin oleh walisongo. Pada waktu itu Zindiq merupakan gerakan politik yang datang dari kaum atheis, hindu, budha atau gerakan lain yang tidak rela melihat majapahit jatuh. Sikap ingin mempertahankan nilai-nilai Hidhu-Budha pada ajaran Syekh Siti Jenar maupun murid-muridnya dapat dilihat dari langgam pangkur yang dikutib Dr Rinkes sebagai berikut:
Kang kapindo aja sira, ngrusak barang tinggalan barang dingin, kaya rontal sastrayu, tulis-tulis neng sela, kayu watu patilasan, ywa kelebur, wharuhanira bangsa jawa, budine tan bisa enting. Kang kaping tri mbok menawa, kowe rujuk buangen masjid iki, sirnakna serana latu, sun owel turunanira, nora wurung tembe kanut mendem kulhu, edan kedanan mring Allah, nganggit-anggit nora panggih.[33]
Ungkapan diatas sangat jelas menunjukkan keberatan dan kekhawatiran Syekh Siti Jenar akan hilangnya tradisi agama Hindhu-Budha yang akan diganti dengan agama Islam. Pada awal abad ke-16 rasa khawatir tersebut sudah memuncak, karena kekuasaan kerajaan Hindhu Majapahit telah digantikan oleh kerajaan Islam Demak Bintara. Begitu sengitnya sikap Syekh Siti Jenar demi menyaksikan meningkatnya perkembangan Islam, sampai-sampai dia ingin menggerakkan masyarakat untuk membakar masjid yang sudah mulai berdiri di mana-mana.[34]
Yang paling unik dari ajaran beliau adalah cara dan kemampuanya dalam memilih mati. Dalam serat Syekh Siti Jenar disebutkan bahwa cara mati Syekh Siti Jenar dengan murid-muridnya membuat para wali terkejut. Namun boleh jadi hal itu hanya merupakan simbolik dengan pesan tertentu. Boleh jadi juga hal itu merupakan siasat walisongo dan raja Demak untuk menghindari tanggung jawab sebagai penyebab kematian mereka. Atau itu sekedar simbol dari para pembangkang untuk tidak mau kehilangan muka dan bukti bahwa mereka tetap tak terkalahkan.[35]
Jika Al-hallaj mati dipancung kepalanya, Syekh Siti Jenar memilih sendiri cara matinya. Akan tetapi cara mati beliaupun penuh dengan kontrofersi. Dalam kaitan dengan kematianya, hal ini apa benar beliau memang mati dihukum pancung atau hanya mengelabui walisongo. Setelah ia matipun ada cerita aneh bahwa mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, yang menurut cerita kejadian ini dilakukan oleh walisongo untuk meyakinkan kepada masyarakat akan kesesatan Syekh Siti Jenar.
Dilihat dari segi akhlak, beliau dianggap menyimpang dari akidah akhlak pada umumnya. Menurut Zoetmulder, praktik yang dijalankan murid-murid beliau, antara lain:
a) Lebe Lontang[36]
b) Seks bebas
c) Cabul
Sesuai dengan diatas, pandangan Syekh Siti Jenar terhadap seks sangatlah bebas, tidak ada haram-halal, boleh sesukanya mengadakan hubungan intim meskipun bukan suami-istri. Padahal di antara agama Al Kitab, sudah jelas Islamlah yang paling ketat dalam mengatur hubungan pria-wanita. Hanya ajaran Islam yang mengenal istilah aurat dalam hal berpakaian, juga istilah mukhrim yang antara lain mengatur pergaulan.
Pendapat diatas sangat jarang sekali, dalam dialognya bersama Agus Sunyoto, ajaran-ajaran seperti itu hanyalah tingkah laku orang-orang yang mengaku murid Syekh Siti Jenar, ajaran Syekh adalah manunggaling kawulo gusti.
Dikuatkan dengan salah satu pendapat yang mengatakan bahwa beliau adalah wali yang terkenal setelah sunan Kalijogo, sehinggga delapan wali kecuali sunan Kalijogo kalah denganya.[37]
Ada pula yang berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar hanya nama simbolik yang dipergunakan walisongo untuk melambangkan sifat-sifat tercela yang harus dijauhi oleh setiap muslim.[38]
Jadi kisah-kisah disekitar kematian beliau yang aneh-aneh itu hanya untuk membentuk opini masyarakat Islam agar tidak mudah terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang berbeda dengan Al-qur’an.
Melihat bahwa dalam pelbagai serat dan babat, nama Syekh Siti Jenar disebut dan disertai dengan nama muridnya secara jelas, secara hipotesis bisa dikatakan bahwa jenar bukan tokoh fiktif. Perselisihan dikalangan para ahli tentang Siti Jenar sebagai tokoh fiktif atau bukan pada hemat penulis disebabkan perbedaan antara yang termuat pada peninggalan yang ada.
Sedangkan dibidang politik, ketundukan mutlak hanya taat kepada Allah yang dijadikan oleh pengikut Syekh Siti Jenar untuk membangkanng kekuasaan Demak Bintara.pandangan ini menjadi dasar para elit keturunan majapahit yang yang berada diluar istana demak untuk mendukung ajaran Syekh Siti Jenar, misalnya Ki Ageng Pengging. Jadi isu Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya dijadikan motivator untuk untuk menggerakkan masyarakat yang masih mencintai kerajaan Majapahit menentang kerajaan Demak Bintara.[39]
Jadi ajaran syekh siti jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Beliau memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran siti jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. syekh siti jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan islam sekitar abad ke-9 masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan tuhan. dimana pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan ;
a)Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll).
b)Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu.
c)Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan.
d)Ma'rifat, kecintaan kepada allah dengan makna seluas-luasnya.
Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan. pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh syekh siti jenar. ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang syekh. para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh syekh siti jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran islam yang harus disampaikan adalah pada tingkatan 'syariat'. sedangkan ajaran siti jenar sudah memasuki tahap 'hakekat' dan bahkan 'ma'rifat'kepada allah (kecintaan dan pengetahuan yang mendalam kepada allah). oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh siti jenar hanya dapat dibendung dengan kata 'sesat'.
Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa makhluk hidup adalah kehidupan yang terperangkap dalam alam kematian, zat mati tak akan pernah menimbulkan kehidupan. Sedangkan zat hidup tak akan tersentuh kematian. Tuhan disebut Al-Hayy karena dia maha hidup dan eksis karena dirinya sendiri. Nah, kekuatah hidup-Nya mengalir dalam alam kematian ini muncul sebagai makhluk hidup. Karena itu, kita yang dilahirkan ini bukan untuk hidup tetapi untuk mati.[40]
Suluk Sungsang menceritakan, dalam perdebatan antara Syekh Siti Jenar dan Kebo Kanigoro. Syekh Siti Jenar melontarkan pertanyaan,[41]
“Ada berapa cara yang saling berbeda dari kemunculan makhluk-makhluk di dunia ini. Tolong jelaskan pada kami, cara apa saja itu dan disebut apa proses kemunculan makhluk-makhluk di dunia ini?,”
Kebo kanigoro tercekat kaget, lama ia tidak menjawab, akhirnya ia mengembalikan kepada Syekh Siti Jenar, “kami tidak bisa menjawab pertanyaan tuan Syaikh, kami mohon penjelasan.”
“Ketahuilah pangeran kebo Kanigoro, kemunculan makhluk hidup di dunai ini melalui tiga cara berbeda yang disebut wetu telu (keluar tiga). Pertama, adalah yang disebut menganak (melahirkan). Kedua, mengendong (melalui telur). Ketiga, masemi (tumbuh). Seluruh makhluk hidup yang memiliki daun telinga, umumnya muncul di dunia melalui cara menganak. Sedang makhluk-makhluk yang tidak memiliki daun telinga umumnya muncul ke dunia melalui mengendong. Dan semua makhluk hidup yang muncul tidak memiliki cara menganak atau mengendong, umumnya muncul ke dunia melalui cara masemi.”
Mati itu seperti tidur. Di dalam tidur ada mimpi. Hidup kita sekarang ini bagaikan tidur. Jadi, yang terjadi sekarang ini hanyalah bayang-bayang kehidupan. Realita yang ada sekarang ini masih maya. Karena masih terkena kematian. Kalau diamati secara seksama, realita sekarang ini ada tetapi maya. Ada, tetapi selalu bersifat baru.
Banyak orang mengatakan bahwa kita harus mendahulukan kewajiban daeipada hak. Padahal, tak ada hak, manusia tidak dapat mewujudkan kehidupannya. Harus ada hak hidup lebih dulu, lihatlah benih yang ditanam di kebun. Ia kita beri hak untuk hidup lebih dulu. Kita rawat dan pelihara. Akhirnya, dengan kemandirian dan kodrat benih itu, ia tumbuh dengan subur dan memberikan hasil yang baik. Setiap manusia ada kodrat untuk hidup mandiri. Tetapi hak untuk mengekspresikan kemandirian dan kodrat hidupnya harus ada. Itu lah hak hidup.
Agar kodrat dan kemandirian manusia di alam ini bisa terpenuhi, maka manusia berhak untuk memperoleh kehidupannya. Orang tua dan masyarakat memlihara bayi-bayi yang dilahirkan. Mereka membangun keamanan dan ketentraman bersama. Tak ada diskriminasi, orangtua dan masyarakat menyediakan pendidikan. Orang tua dan masyarakat menyediakan lapangan kerja. Maka, lahirlah manusia-manusai baru yang membrikan buah kehidupannya bagi masyarakat tempat tumbuh hidupnya. Ini sebuah masyarakat yang didambakan Siti Jenar. Tetapi ide ini lahir sebelum zamannya. Justru di Milinium III ini manusia ingin hidup yang ebbas dari kerangkeng kekuasaan negara. Manusia ingin hidup mandiri.
“Anal jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa.
Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia.[42]
Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses kemanunggalan.