Wednesday, December 4, 2013

Bacaan Dewasa "SEJARAH PANJANG PELACURAN DI DUNIA - PART 2"

http://massandry.blogspot.com
Pada masa abad pertengahan, hetaerae paling terkenal adalah Ratu Theodora yang mengubah larangan hak milik bagi pelacur serta membangun penampungan bagi pelacur yang ingin meninggalkan profesinya.Di Venesia, Italia, tercatat nama Veronica Franco yang juga berhasil membangun tempat penampungan bagi pelacur pada 1577 M (Ihsan; 2004:133).

Secara historis, para pelacur berpindah bersama para tentara dan kelompok pekerja ke wilayah-wilayah di mana persediaan wanita sangat terbatas. Di lokasi tersebut para pelacur melakukan pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan, sekaligus membantu kegiatan seks laki-laki. Beberapa bukti menunjukkan, pada awal-awal berdirinya Amerika Serikat, para pelacur datang dari masyarakat kelas bawah. Namun saat ini, pelacur yang berasal dari kelas menengah maupun dari kelas atas sudah biasa. Sejarah ini menjadi karakteristik zaman Viktoria pada saat perempuan ditempatkan dalam kategori sempit, baik atau buruk, dan pada saat itu kaum laki-laki menggunakan double standard dalam seks akibat terlalu dominannya peran laki-laki. Dalam lingkup kultur yang lain, pelacur berasal dari semua kelas. Di antara mereka bahkan menempati kelas sosial yang relatif tinggi, seperti hetaerae dalam Yunani kuna, devadasis di India, dan geisha di Jepang. Meskipun ada pelacur yang ditempatkan dalam kelas yang demikian, pada umumnya mereka berasal dari kelas bawah (Schafer, S. et al.: 1975:43).

Menurut Schafer (1974:43), di Amerika Serikat, pelacuran tidak pernah diterima oleh masyarakat, demikian pula di negara-negara lain. Perlawanan terhadap pelacuran dilakukan secara besar-besaran di AS hingga usai Perang Dunia I, untuk menghindari kekhawatiran wabah sekaligus memprotes perang. Namun perlawanan ini kemudian dioperasi dengan dilakukan penjagaan polisi, meski itu di luar hukum yang berlaku. Pada suatu waktu, saat Wali Kota Chicago dijabat William Hale Thompson, para operator sekitar 2.000 bordil membayar polisi penjaga bordil 100 hingga 750 dolar AS perminggu. Bagaimanapun, dengan meningkatnya penyebaran wabah, investasi di rumah-rumah pelacuran semakin menurun.

Selama Perang Dunia II, sekitar 600.000 pelacur bersama jumlah yang sama dari wanita yang siap menjadi pelacur secara part timer diterjunkan. Lalu berapa jumlah pelacur di AS yang sekarang ini beroperasi, tidak diketahui. Bahkan seiring dengan iklim semakin bebasnya hubungan seks, dengan sendirinya kebutuhan pelacur menurun secara tajam. Meskipun para pelacur secara resmi tidak didukung pemerintah, angkatan bersenjata AS diajarkan bagaimana melindungi dan terbebas dari penyakit kelamin. Sebuah studi tentang penyakit kelamin di kalangan tentara AS di Eropa setelah Perang Dunia II menguak, rumah pelacuran yang mendapatkan izin menjadi sumber penyebaran infeksi GI, penyakit kelamin. Laporan lain mencatat bahwa 6% anggota tentara AS yang mengidap infeksi VD, diakibatkan melakukan hubungan seks dengan pelacur profesional, 80% akibat berhubungan dengan pelacur amatir, dan 14% lainnya disebabkan oleh istri-istrinya. Karena berbagai penyakit ini menyebabkan para tentara tidak bisa maju ke medan tempur, para petugas kesehatan ketentaraan AS merekomendasikan melakukan operasi rumah-rumah pelacuran secara kemiliteran sebagai bagian dari sistem operasi Post Exchange (PX) (Schafer, 1974:44).

Menurut Truong (1992:147), prostitusi semula merupakan subjek pinggiran. Pelacur bergerak ke daerah pusat politik seksual internasional dengan bangkitnya gerakan menentang rumah-rumah bordil berlisensi dan “perdagangan budak kulit putih”. Pencabangan dari gerakan pemurnian sosial yang lahir di akhir abad XIX di Barat (Inggris, Viktorian, Belanda, Kerajaan Jerman, dan Amerika Serikat), gerakan menentang perbudakan kulit putih diformalkan di tahap global sebagai The International Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih) pada 1904, serta The International Convention for the Suppression of the White Slave Traffic (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih) pada 1910.

Gerakan ini mengerangkai isu pelacuran dalam konteks kejahatan perdagangan, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional (Chauvin, 1982). Pada mulanya gerakan tersebut menaruh keprihatinan terhadap para perempuan Barat yang diperdagangkan antara negara-negara Eropa Barat dengan Amerika Serikat, dan dari negara-negara ini ke wilayah-wilayah jajahan. Namun demikian, pengamatan terhadap situasi yang berlangsung di wilayah jajahan secara tak terelakkan mengakibatkan lahirnya toleransi terhadap pelacuran dan rumah bordil berlisensi dalam wilayah jajahan oleh pemerintah kolonial yang sedang mengalami serangan. (Truong; 1992:147-148)

Pada bagian lain, Truong mengemukakan, sebuah kajian lintas bentuk-bentuk intervansi negara dalam pelacuran terorganisasi di Asia Tenggara dan wilayah-wilayah lainnya menunjukkan bahwa intervensi negara dalam reproduksi lahir ketika peningkatan mobilitas geografis manusia (urbanisasi, migrasi, militerisasi, perdagangan) mendislokasikan hubungan-hubungan ikatan manusia. Hubungan-hubungan ini digantikan berbagai hubungan baru, yang menciptakan bentuk-bentuk baru hubungan seksual, hasrat dan signifikansi sosial yang diatur oleh hukum pasar. Sebagai hasilnya, keragaman wilayah tercipta melalui mana aspek-aspek sosial dan biologis reproduksi diorganisasikan, dengan berkaitan pada struktur kelas dan kadangkala etnik. Bergantung pada corak rumah tangga, komunitas dan negara, tugas-tugas biologis dapat bersifat integral atau terpisah dari tugas-tugas sosial reproduksi (Truong; 1992:340-341).

Dalam kasus Muangthai, (Truong: 1992:246), ditemukan bahwa di luar gambaran umum turisme, terdapat sejumlah faktor tambahan yang berperan dalam peleburan sistematis pelayanan seksual ke dalam jasa turisme. Ini mencakup karakter hubungan gender yang berakar dalam agama dan struktur kelas serta situasi geo-politik spesifik Asia Tenggara pada periode 1960-an. Penghukuman legal terhadap pelacur hadir hampir-hampir serentak dengan formalisasi legal industri hiburan, akibat kebijakan investasi yang ditujukan untuk menangkap pasar “rest and recreation” semasa konflik Indocina. Dualitas antara pengakuan dan pengingkaran terhadap pelacuran, digandakan dengan kedatangan masif tentara tentara AS, berakibat pada menjamurnya beragam bentuk pelacuran tersamar di dalam industri hiburan. Praktik-praktik ad hoc penyediaan pelacuran perlahan-lahan menjadi sistematis sebagai hasil dari tingginya tingkat akumulasi modal.

Basis industri dan pola ketenagakerjaan yang diciptakan semasa periode ini mendapat pukulan hebat ketika tentara AS menarik diri dari Indocina. Lebih jauh lagi, efek turisme Rest and Recreation terhadap anggaran pembelanjaan adalah sangat substansial sehingga ketika pasar ini menyurut, alternatif harus segera ditemukan untuk mempertahankan pengoperasian infrastruktur turisme dalam rangka mengejar pengembalian modal dan keuntunga. (Truong, 1992:346).

Kombinasi dari berbagai kepentingan bersama ini mendorong perusahaan-perusahaan untuk meleburkan berbagai pelayanan seksual ke dalam proses produksi yang sangat terorganisasi dengan beragam titik distribusi pada tingkat internasional. Yang paling penting di antaranya adalah tumbuhnya turisme seks kolektif melalui agen penyelenggara tur yang dibeli oleh individu, kelompok, atau perusahaan transnasional sebagai bonus tambahan bagi karyawannya. Ini menunjukkan bahwa terdapat proses berkelanjutan akumulasi modal langsung dalam wilayah reproduksi (pemeliharaan dan pembaharuan kapasitas bekerja manusia) pada skala luas. 

Dalam kaitan ini, adalah relevan untuk menunjukkan bahwa bentuk paling kental dari jasa reproduksi di bawah hubungan komersial, yakni tur paket seks, mencerminkan sebuah kontradiksi dalam internasionalisasi pembangunan kapitalis. Adalah melalui proses pembangunan kapitalis hubungan-hubungan kekerabatan diberaikan dan selanjutnya jasa-jasa reproduktif difragmentasikan dan dileburkan ke dalam hubungan pasar. Melalui pembangunan kapitalis pula reintegrasi jasa-jasa reproduksi dapat berlangsung sepenuhnya di bawah hubungan pasar.

Newer Post Older Post Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds