Bacaan Ringan "PUNK...PUNK...AND PUNK !"
http://massandry.blogspot.com
When the Punks …when the punks…when the punks and skinss go marching in…
I wanna be in the number…Ah when the punks and skinss go marching in….
When the Skins…when the Skins…when the Skins go marching in…
I wanna be in the number…Ah when the Skins go marching in….
Mereka yang hadir pada scene Poster Café Jakarta di era 1990an tentunya akan mendarah daging disaat teriakan – sahut menyahut lagu When the Punks and Skins Go Marching in (dari band Abrasive Wheels) mengisi ruangan penuh sesak. Suatu epik, suatu elegi, suatu energi bagi kami – kami dan menjadikannya nafas untuk memahami apa itu punks and skins.Teriakan dan sahut–sahutan antara punks and skins inilah yang mengisi udara Jakarta pada Senin, 19 Desember 2011.
Ketika kami atas dasar kesadaran individu–individu punks and skins yang bebas mendengar panggilan “When the Punks and skins Go Marching in”, sebuah panggilan yang dulunya hanya bisa terealisasi di dalam ruang Poster Café sekarang mewujud di jalanan. Muka–muka lama yang tidak pernah hadir di dalam acara–acara dekade akhir 2000an kembali bermunculan, kenapa? Karena ini sebuah panggilan, panggilan When the Punks and skinss Go Marching in. Sebuah keyakinan bahwa bila panggilan itu terdengar maka mereka yang telah menggantikan mohawk, jacket, spike-nya dengan identitas kesehariannya akan kembali menggunakannya untuk menyahut panggilan tersebut.
Bicara mengenai Punks and Skins Jakarta, kami membicarakan sebuah komunitas historis yang berdiri 20 tahun yang lalu. Meskipun ada rupture atau discontinuity atas para pelaku – pelakunya, ada yang datang dan pergi, namun bagi mereka yang memahami betul apa arti panggilan itu akan kembali menyahut: I wanna be in the number!!!
Kata “when” menunjukkan waktu. Waktu dimana sebuah panggilan dikumandangkan untuk punks and skins. Kami punks and skins tidak perlu selalu hadir di depan publik mengatakan kami punks atau skins dan menyatakan telah melakukan ini itu. Ini masalah waktu, waktunya panggilan itu adalah Solidaritas Punk Aceh. Inilah “Marching in”. Apa yang membuat kami “Marching in” adalah penangkapan tanpa proses hukum teman–teman Punk di Aceh. Kedua, apa yang membuat kami “Marching in” adalah bahwa isu punk seringkali dipolitisasi atau hanya menjadi komodifikasi media belaka. Ini momen bagi kami untuk merebut kendali media yang senang memutarbalikan realitas untuk sebuah logic of capital belaka.
Bila ada elemen persaudaraan yang kurang dari gerakan internal punks and skins ini adalah saudara kami yang selama perjalanan 20 tahun menyertai. Kami kehilangan saudara kami yaitu teman–teman hardcore dalam panggilan ini. Tiga kakak–beradik saudara dalam sebuah kultur budaya perlawanan. Namun, mohon membaca tulisan ini di dalam konteks komunitas punk Jakarta dengan saudara–saudaranya tersebut.
Antara Mabes Polri dan Walikota Aceh
Seruan solidaritas punk Aceh menggema menjadi seruan persaudaraan punk internasional. Seruan Solidaritas ini tidak hanya milik dari Punks and Skins yang turun demonstrasi di hari Sabtu, 17 Desember 2011, atau Senin, 19 Desember 2011. Solidaritas punk Aceh tidak bisa direduksi oleh klaim–klaim kelompok tertentu. Solidaritas Punk Aceh milik semua punk baik lokal dan internasional dan ini membuktikan kehadiran World Wide Punk. Solidaritas punk Aceh juga bukan milik punk saja, masyarakat yang simpati dan medukung juga merupakan bagian dari solidaritas ini.
Tolong sidang pembaca untuk menempatkan tulisan ini dalam memberikan catatan–catatan yang khusus membahas peristiwa tiga hari yaitu Senin 19 Desember 2011, 20 Desember 2011, 21 Desember 2011. Tulisan ini membahas pilihan–pilihan dan tujuan dari apa yang terjadi dalam tiga hari tersebut. Solidaritas Punk Aceh ini perlu sasaran yang tepat untuk berbicara banyak, teman–teman merumuskan ini semua bersama-sama:
Dari Isu Punk vs Syariah ke Hari Polisi Baik
Terjadi perdebatan kenapa harus yang di demo adalah Mabes POLRI mengingat Polisi itu hanya alat negara. Sebagaimana layaknya sebuah alat, dia tergantung siapa yang mengggunakan. Sebuah alat tidak bisa berdialog seperti pisau atau garpu yang kami pakai ini tergantung siapa yang menggunakan. Mereka yang mengajukan ide ini memberikan penawaran agar agendanya adalah agar menargetkan walikota karena kebijakan penangkapan Punk di Aceh lahir dari sini.
Teman–teman sebagian besar sepakat dengan ide Kepolisian mengingat beberapa hal: 1. Polisi melakukan penangkapan tanpa proses hukum, 2) Membuktikan alat negara tidak bekerja semestinya. Inilah yang menelurkan ide untuk ”Hari Polisi Baik”. Ide ”Hari Polisi Baik” perlu dilihat sebagai sebuah ”Mocking” atau ”Ledekan” sebuah cara resistensi yang sangat sering digunakan oleh punk. Selain itu, ”Hari Polisi Baik” juga bertujuan untuk mengalihkan isu bahwa Punk dibentrokkan dengan Syariah di Aceh. Ini hal paling penting, teman–teman menolak punk Aceh vs Syariah Aceh karena sebagian dari kami juga Muslim dan ini memiliki implikasi politis tertentu:
Punk seolah–olah bermusuhan dengan Islam, padahal banyak teman–teman adalah Muslim.
Isu ini kemudian diarahkan dan dibenturkan dengan isu HAM dimana perlakuan terhadap anak Punk itu dilakukan di bawah hukum Syariah.
Ini akan mengarahkan Punk Aceh dijadikan alat untuk dibenturkan untuk menggoyang Syariah Islam di Aceh.
Mocking dan Everyday Politics
Banyak komentar datang dari mereka yang menyatakan bahwa demonstrasi ke Mabes POLRI atau institusi negara lainnya sama saja mengakui keberadaan mereka. Ini berarti menyerah dan merengek atau cengeng minta pengakuan dari lembaga atau institusi yang selama ini dilawan punk. Namun kenyataannya di lapangan sikap Stateless yang ditunjukkan teman–teman terjadi dilapangan berkali–kali. Jika mereka memahami perlawanan punk, punk tidak hanya melawan dengan cara–cara kekerasan tapi juga menggunakan unsur mocking dan shocking.
Pertama, tidak ada satupun dari teman–teman yang turun pada tanggal 19 Desember 2011 melaporkan atau mengirim fax ke kantor polisi untuk pemberitahuan akan ada demonstrasi. Disinilah mocking terjadi, didalam dialog–dialog yang sangat lucu dengan pihak kepolisian. Disaat kami berkumpul di Melodi Blok M patroli polisi menghampiri kami. Salah satu dari mereka menghampiri:
Polisi: “Kalian mau ngapain ngumpul-ngumpul disini?”
Punk: ”Kami mau siap–siap demonstrasi di Mabes Pak”
Polisi: (sambil terlihat bingung) dalam rangka apa kalian demo ke Mabes POLRI?”
Punk: “Solidaritas terhadap teman kami Punk Aceh?”
Polisi: “Oh teman kalian di Aceh. OK baiklah, apakah kalian punya surat izin berdemo atau sudah mengirim pemberitahuan ke pihak kepolisian?”
Punk: “Untuk apa mengirim surat pemberitahuan demonstrasi, jikalau pihak yang akan kami demo itu adalah pihak yang biasanya mengeluarkan surat izin tersebut?”
Polisi: (setengah bingung) oh ya sudah kalau begitu kami akan mengiringi.
Punk: “Kalau bapak ingin sekaligus ikut di dalam barisan berdemo dengan kami ke MABES juga silahkan, kami malah senang”.
Polisi: (bingung)
Punk – punk: hihihihihi
Setelah terjadi dialog ini beberapa teman yang bertugas menghadapi pihak kepolisian tersenyum dan sedikit simpul tawa menyungging di bibir kami. Mentertawakan kebodohan tentunya. Bagaimana sebuah institusi formal yang kuat, kaku dan paling represif di negeri ini memiliki banyak celah atau in between spaces yang dapat dimanfaatkan untuk melawan. Bahkan untuk hanya sekedar mentertawakan atau mocking, sebuah tindakan yang terhitung sebagai micro politics atau the art of resistance bila kita mau membacanya dari kacamata James Scott. Perlawanan apalagi perlawanan politik tidak hanya dipahami seperti sebagian rekan–rekan yang memahami perlawanan harus seperti yang dilakukan Sondang atau para Korban Mesuji.
Perlawanan tidak harus terlihat heroik atau sistematik dengan membangun jaringan lintas komunitas dengan LSM manapun. Perlawanan itu hari ini, sekarang, karena manusia berhadapan dengan situasi everyday life politics. Perlawanan bisa saja dengan melanggar aturan seperti menerobos lampu merah dan bila ditangkap bayar Rp 50.000. Ini sederhana karena menunjukkan institusi penegak hukum tidak kredibel. Sederhana. Perlawanan juga dapat dipahami dari kacaramata “diucapkan dengan hati, itu selemah – lemahnya iman” merupakan sebuah anjuran perlawanan dari agama tertentu.
Perlawanan bisa seperti pelawak Jojon dengan lawakannya menyatakan “ini uang Rp 500 rupiah ada gambar monyet dan ini yang Rp 50.000 ribu adalah kakeknya monyet”. Apa definisi melawan disaat manusia – manusia nyaris tanpa daya harus berhadapan dengan hidup dengan akrobatik? Perlawanan tidak harus nyata dengan perang dan pemberontakan, perlawanan dapat bersifat hidden transcript tanpa perlu terlihat. James Scott mungkin tidak pernah bertemu dengan Wiji Thukul namun mereka mungkin sepaham dalam sebuah bait yang ditulis Wiji Thukul yang terkenal dengan judul Peringatan:
...Kalau rakyat sembunyi dan berbisik–bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar...
Mocking kedua terjadi disaat kami ditanya dari organisasi mana dan siapa pemimpin kami. Tentunya ini menjadi bahan tertawaan para punkers yang turun di hari itu. “Wah pak, maaf kami tidak bertindak atas aliansi dengan LSM mana pun atau dikoordinir oleh pihak mana pun” sambil senyum–senyum seorang teman menyawab. “Iya tapi kami perlu mencatat untuk kebutuhan arsip dan administrasi pelaporan” sanggah pak polisi. “Hahaha” saya dan bebeberapa teman yang mendengar tertawa nyaring. Inilah salah satu titik lemah institusi kenegaraan, bahwa formalitas dan sistem membuat mereka berpikir dengan logic tertentu yang tidak bisa memahami “bahwa ada sebuah demonstrasi tanpa surat ijin dan tanpa pengorganisasian atau lembaga tertentu yang menggerakkan”.
Ini bukan logika institusional. Ini tidak bisa dimengerti oleh sebuah institusi yang selama ini bertindak sebagai alat penegak hukum. Aneh rasanya atau tidak masuk akal demonstrasi itu berlangsung karena setiap punk hadir di sana karena faktor kesadaran individual bukan karena ada organisasi sistematik yang bekerja.
Di saat polisi nampak akan sedikit usil dengan kami, kami mengingatkan agenda kami adalah “Hari polisi baik”. “Hari polisi baik” sebagai mocking, ledekan paling telak. Sebuah ironi yang membatin hati para polisi yang bertugas (kalau kami keras dan kasar kepada yang demo maka kami bukan polisi baik?). Permainan logika sebenarnya yang bekerja dibalik demonstrasi 19 Desember 2011. Seperti Abu Nawas misalnya melontarkan jokes–jokes kepada Khalifah dimasa dahulu.
Media dan Perebutan Wacana
Nyaris sebagian besar mereka yang turun di hari Senin, 19 Desember 2011 adalah punk anti media mainstream. Kami semua telah berhitung bahwa setidaknya dalam seminggu media mainstream akan menjadikan pemberitaan di Aceh dan aksi kami di Mabes POLRI akan memicu sorotan. Sikap saya sendiri terhadap media mainstream atau asli, atau alternatif bahkan sampai yang abal-abal sekalipun tidak masalah karena mengikuti Deng Xio Ping sejalan dengan ide ”tidak masalah kucing itu berwarna merah atau warna apa, yang penting bisa nangkep tikus”.
Seluruh teman–teman menolak untuk masuk ke media mengingat komitmen mereka selama ini. Dari perdebatan paska demo sorenya seorang teman mengontak ada tawaran dari Metro TV dan tidak ada satupun dari teman–teman yang mau maju. Saya bilang, OK saya maju. Mereka tanya kenapa? Karena ini momentum bagi kita yang sudah kepalang tanggung untuk mencuri discourse yang hendak dimanfaatkan media. Siang harinya di kepolisian saya bilang ke wartawan TV ONE, apakah anda berani mengangkat ini? Sorenya malah Metro TV yang memburu berita ini dan ini menguatkan asumsi saya dan teman–teman bahwa akan ada kepentingan politik nasional yang akan mencoba masuk. Kita semua bisa tahu siapa dibalik Metro TV dan saya siap menghadapi discourse apapun yang akan dilempar dalam arena televisi tersebut.
Bila kita kembali melihat wawancara hari selasa, 20 Desember 2011 di ”8–11 Show” kita akan dapat melihat bagaimana Anchor Metro TV, Tommy Cokro membangun wacana dengan menggiring pertanyaan awal agar diskusi tersebut diarahkan ke Syariah Islam. Saya tidak terpancing dan menegaskan beberapa point yang sebenarnya menjadi tujuan–tujuan demonstrasi dihari sebelumnya. Begitu juga dengan wawancara di hari Rabu berikutnya, mencuri discourse itu juga yang hendak dilakukan.
Terlepas dari problematis dan mengundang pro dan kontra diseputar kenapa harus masuk televisi, saya rasa beberapa poin penting yang hendak disampaikan telah diucapkan. Selain itu tujuan bahwa tidak semudah itu media mainstream menggiring isu Punk Aceh dan Demonstrasi Mabes POLRI sebagai sebuah hot news untuk kepetingan rating atau bahkan politik nasional yang lebih besar. Saya hanya berpikir dan bertujuan satu: punk harus siap dengan setiap medan wacana, mau itu dijalanan, dengan warga negara lainnya, di media atau dimanapun juga, punk harus mampu berbicara atas namanya. Punk perlu menjadi Punk for the sake of punk itself.
Selain itu, Selasa malam, sebagian teman–teman memutuskan untuk aksi berikutnya dengan konsep “Tukar Kepala”. Isu ini telah berkembang di Facebook dan SMS-SMS dimana sebagian teman–teman menganggap kalau Punk Aceh dikeluarkan hari Jumat itu sama saja aksi Senin merupakan sia–sia. Jadi untuk itu teman–teman berniat mendatangi kepolisian untuk memotong rambut mereka di depan kepolisian dan minta dipenjara 10 hari ditukar dengan teman–teman di Aceh. Sebagian teman–teman melihat aksi harakiri ini dalam prosesnya akan menjadi chaos.
Akhirnya kami semua melakukan pembacaan ulang dengan beberapa kesimpulan. Pertama pada level lokal Aceh, setelah mengontak beberapa teman kami di Aceh mereka mengatakan bahwa penangkapan Punk Aceh ini merupakan isu yang terkait dengan pencitraan politisi Aceh kepada rakyat Aceh untuk kepentingan Pilkada Aceh. Bahwa politisi tertentu ingin terlihat punya citra dan komitmen untuk membersihkan Aceh. Kedua pada level lokal Jakarta, kami melihat beberapa LSM menggunakan isu Punk Aceh ini untuk kepentingan isu Hak Asasi Manusia dan masuk ke arus high politics. Ketiga pada level nasional, bahwa isu Punk Aceh dijadikan sebagai cermin problem institusi kenegaraan yang tidak kredibel. Keempat pada level internasional, pembenturan ide HAM dan Syariah Islam dengan menggunakan peristiwa Punk Aceh sebagai alat kritik.
Dari hasil pembacaan bersama ini berhasil meyakinkan teman–teman untuk tidak melanjukan ide ”Tukar Kepala” dan mendorong untuk terakhir kalinya tampil di Metro TV untuk menyatakan ke publik bahwa Punk menolak untuk dipolitisir oleh elemen-elemen high politics dari level lokal Aceh dan Jakarta, level nasional maupun level internasional. Bahwa demonstrasi Senin dan tindakan masuk ke Media pada Selasa dan Rabu tujuan utamanya adalah menyatakan solidaritas dari Punk Jakarta dan menolak lebih jauh upaya–upaya politisasi dari berbagai aktor politik level manapun dan media mainstream.
Political Punk, Punk dan Politik
Sejak tahun 1997, Punk di Jakarta dan kota–kota lainnya tidak akan pernah sama. Unsur kesadaran bahwa punk mempunyai peran politik di masyarakat mulai berkembang di dalam komunitas punk Jakarta dan kota–kota lainnya. Perkembangan ini juga berdinamika dengan realitas Indonesia era akhir 1990-an. Arus perubahan ini sebenarnya memicu dua arus besar dalam menyikapi punk dan politik. Saya menamakan ini sebagai politik eksternal punk dan politik internal punk.
Pertama, politik eksternal punk. Mereka yang melihat punk harus terjun ke masyarakat membuat jaringan dengan elemen–elemen perlawanan lainnya. Mereka ini yang berdinamika dengan gerakan mahasiswa di era tahun 1998. Secara psikologis banyak yang kecewa terhadap apa yang selama ini mereka lakukan. Punk hanya dijadikan alat untuk kepentingan dan agenda kekuatan politik lainnya. Praktek politik eksternal punk ini banyak dikooptasi oleh kepentingan–kepentingan politik yang bermain di era akhir 1990-an. Walaupun banyak yang berhasil melepaskan diri dari jerat kooptasi banyak dari teman–teman yang mengambil jalur politik eksternal ini menghakhiri perlawanan mereka dengan mengalami depolitisasi dan dehumanisasi.
Kedua, politik internal punk. Sebagian besar punk Jakarta pada era akhir 1990-an ini memilih untuk tidak mengikuti arus high politics dan terjun ke dinamika politik nasional. Mereka pada arus politik internal punk ini lebih memilih untuk membangun komunitas punk dari dalam dengan bergiat pada kerja D.I.Y. Pada era itu record label dan zines bermunculan sebagai bagian dari kegiatan ini. Mereka menyakini dengan fokus pada internal komunitas itu sudah merupakan aktivisme politik itu sendiri karena berusaha mandiri dalam derajat tertentu.
Terlepas dari infrastruktur ekonomi komunitas yang tidak kunjung menguat karena faktor–faktor ekonomis kebutuhan sehari–hari, banyak dari teman–teman yang berhasil menemukan jalan hidupnya di punk. Dulu sebelum ide mengenai D.I.Y masuk ke komunitas, ”No Future” merupakan slogan Sex Pistols yang sering dikumandangkan. Namun, mereka yang aktif secara internal komunitas setidaknya berhasil mentransformasi ”No Future” menjadi ”Punk is the Future”.
Kenapa ”Punk is the future?” Saya sendiri menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana teman–teman yang dulunya putus asa karena mereka dari masyarakat ekonomi lemah satu persatu meninggal dunia, entah karena narkoba atau karena tidak memiliki semangat hidup karena lingkungan yang serba kekurangan. Disaat mereka mengenal D.I.Y. mereka terdorong motivasi untuk bisa hidup dengan sablon kaos dan membuka lapak punk. Realitas inilah yang terjadi. Bagaimana negara yang selama ini harusnya bertanggung jawab tidak pernah menyentuh rakyat kecill. Di saat harapan hidup baik rakyat miskin dan anak terlantar menjadi tanggung jawab negara tapi tidak pernah berjalan sesuai amanah undang–undang, punk is the future adalah kepastian hidup bagi mereka yang memiliki semangat untuk bisa menghidup. Pada perkembangannya teman–teman yang memulai ini sebagian berhasil hidup dan menghidupi anak dan istri melalui etika D.I.Y. Dengan berkenalan dengan punk beserta konsep D.I.Y-nya mereka memiliki harapan untuk hidup lebih baik.
Definisi apa itu politik, apa itu political punk tidak milik satu kelompok tertentu. Silahkan definisikan sendiri. Silahkan tentukan sendiri mana yang politik dan mana yang tidak. Bagi sekelompok punk berbicara politik, ide–ide besar dan mewajibkan punk menjadi ancaman merupakan sesuatu yang penting. Bagi sekelompok punk lainnya menjalankan kehidupan sehari–hari dengan sablon, manggung, jualan di lapak itu suatu yang cukup. Karena apapun yang kita pilih apakah pernah pemerintah berpikir dan peduli?