Tokoh Kriminal "KUSNI KASDUT - ROBIN HOOD DARI INDONESIA - PART 2"
http://massandry.blogspot.com
“Manusia tidak berhak mencabut nyawa orang, dan nafsu tidak bisa dibendung dengan ancaman,” (Sudarto, penasehat hukum Kusni Kasdut)
Revolusi meruntuhkan sistem nilai lama dan menyusun sistem nilai baru. Sedikit orang merenung dan mempertanyakan segala sesuatu dalam revolusi itu. Kebanyakan bertindak, larut tanpa bentuk di dalamnya dan mencari identitas yang terus terlepas. Kalaupun ada, salah satu pencari itu bernama Kusni Kasdut.
Semasa revolusi, Kusni ditugaskan melakukan hal-hal yang waktu itu dianggap perbuatan kepahlawanan. Akan tetapi selewat revolusi, perbuatan itu dinilai sebagai tindak pidana. Cerita demikian memang bisa didengar di mana pun, setelah revolusi selesai. Memang revolusi merupakan penjungkir-balikan segala nilai.
Kusni Kasdut yang bernama asli Waluyo, adalah seorang anak yatim dari keluarga petani miskin di Blitar. Terlahir dengan kemiskinan yang terus menghantuinya, tanpa revolusi, mustahil dapat beristrikan seorang gadis indo dari keluarga menengah, sekali pun telah diindonesiakan sebagai Sri Sumarah Rahayu Edhiningsih. Istri yang ia cintai, ia kagumi, bahkan ia puja itu melahirkan tekad untuk memperbaiki kehidupannya.
Ia mencoba mencari pekerjaan yang sepadan dengan martabatnya yang baru, dan kegagalan demi kegagalan ia dapat. Untuk kesekian kalinya,–berbekal pengalaman semasa revolusi ‘45–ia berusaha masuk anggota TNI, tetapi ditolak. Penolakan ini disebabkan sebelumnya ia tak resmi terdaftar dalam kesatuan. Selain itu, pada kaki kirinya terdapat bekas tembakan yang ia dapat semasa perang fisik melawan Belanda. Akibatnya, cacat secara fisik.
Kegagalan-kegagalan tersebut membentuknya ia seolah diperlakukan tidak adil oleh penguasa waktu itu, seperti ‘habis manis sepah dibuang’. Hal tersebut menimbulkan obsesi untuk merebut keadilan dengan sepucuk pistol, membenarkan diri memperoleh rejeki yang tak halal. Terlebih lagi membiarkan anak dan istrinya terlantar. Bersama teman senasip dan seperjuangan yang tak ada harapan untuk menyambung hidup, Kusni pun akhirnya merampok.
Demikian kegagalan sosial ekonomi dan keterdamparan psikologi telah mengantar individu memasuki dunia hitam. Kusni tak sendiri. Masih banyak Kusni-kusni lain, seorang di antaranya adalah Bir Ali. Anak Cikini kecil (sekarang belakang hotel Sofyan), mantan suami penyanyi Ellya Khadam. Bernama lengkap Muhammad Ali dan dijuluki Bir Ali–karena kesukaannya menenggak bir sebelum melakukan aksi– menjalani hukuman mati pada 16 Februari 1980. Bir Ali-lah yang membunuh Ali Badjened (seorang Arab kaya raya ketika rumahnya di rampok).
Pada mulanya, Kusni, dengan segala keramahan Usman, Mulyadi dan Abu Bakar mengundangnya masuk, bahkan memberikan posisi memimpin kepadanya. Kebetulan, ia memang dilahirkan dengan garis (insting) memimpin. Dan seperti buah terlarang, hal itu memang manis dan membuat ketagihan. Seperti seorang morfinis, Kusni tak dapat berhenti. Bahkan jeweran kuping dari seorang yang dikasihi dan dihormatinya, Subagio, tak mempan. Pengalaman tertangkap Belanda semasa revolusi, membuatnya memandang penjara sebagai lembaga tempat penyiksaan yang sah. Hanya untuk menghindari penangkapan, ia rela membunuh korbannya (itupun bila dianggap terlalu terpaksa).
Berbekal sepucuk pistol, tahun 1960-an, Kusdi bersama Bir Ali merampok dan membunuh seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened. Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan Awab Alhajiri, Kebon Sirih. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembakkan dari jeep. Peristiwa ini sangat menggemparkan ketika itu, karena masalah perampokan disertai pembunuhan belum banyak terjadi seperti sekarang ini.
Berselang satu tahun, tepatnya tanggal tgl 31 Mei 1961, Ibukota dibuat geger. Dimana terjadi perampokan di Museum Nasional Jakarta (Gedung Gajah). Bak sebuah film, Kusni yang menggunakan jeep dan mengenakan seragam ala polisi, menyandera pengunjung dan menembak mati seorang petugas museum. Dalam aksi ini, ia berhasil membawa lari 11 permata koleksi museum tersebut. Kusni Kasdut menjadi buronan terkenal.
Sekian tahun menjadi buronan, Kusni Kasdut tertangkap ketika mencoba menggadaikan permata hasil rampokannya di Semarang. Petugas pegadaian curiga karena ukurannya yang tidak lazim. Akhirnya ia ditangkap, dijebloskan ke penjara dan dihukum mati atas rangkaian tindak kejahatannya.
Memang, Kusni Kasdut bukanlah seorang pembunuh pathologik seperti Eddie Sampak dari Cianjur. Ia tak pernah terperosok ke dalam homoseksulitas seperti Henky Tupanwael. Di relung hatinya yang terdalam masih tersisa seberkas cahaya. Itu bisa dilihat dari usahanya menyelamatkan dua orang plonco dunia kejahatan, Roi dan Yoji, dari kehancuran total. Juga, kelakuannya sebagai napi cukup baik. Ia tak pernah berkelahi dengan sesama napi, dan kalau tak terpaksa tak pernah melawan petugas.
Kusni Kasdut yang sempat dijuluki Robin Hood Indonesia, juga dikenal sebagai si Kancil. Selain gesit dan banyak akal, kemampuan lain yang pernah miliki adalah ia mampu melarikan diri dari penjara mana pun. Kisahnya ini tercatat sebanyak tujuh kali Kusni meloloskan diri dari penjara. Sementara, Jack Masrene, salah seorang penjahat legendaris Perancis, tercatat berhasil kabur dari penjara sebanyak lima kali. Kusni Kasdut mengakhiri hidupnya di depan regu tembak, Jack Masrene mati diberondong di jalanan ketika hendak menyalakan mobilnya yang tengah parkir.
Begitulah akhir dari riwayat perjalanan Kusni Kasdut, yang pada masa perjuangan, ia seorang pemuda yang simpatik, ramah, juga sangat pendiam. Seorang mantan pejuang revolusi yang baik, betapa pun catatan kejahatannya, almarhum Kusni lebih terhormat ketimbang tuan-tuan quisling yang kini menikmati buah manis. Memang sejarah penuh ironi, dimana revolusi memakan anaknya. Dengan tegar, Ia menjalani hukuman mati di depan regu tembak pada 16 Februari 1980.
Di atas makamnya hanya tertulis: “Ignatius Waluyo” . Nama hitamnya, Kusni Kasdut, telah lama dinyatakannya sendiri habis. Yang hendak ditinggalkan hanyalah nama baptis. Itu adalah semacam simbol dia bukan manusia yang dulu pernah mengumbar kejahatan dengan tidak semena-mena, tapi seorang biasa yang mati dalam iman. Dan ia tidak bergurau, di muka rumah penjara Kalisosok sebelum berangkat ke tempat eksekusi, ketika ia berkata.
“Semoga dalam perjalanan terakhir saya ini tidak ketemu setan … Haleluya… Haleluya…!”
Tiga buah peluru tepat mengenai jantungnya dan lima yang lain di sekitar perutnya. Tugas 12 orang dari regu tembak polisi pagi itu, 6 Februari sekitar jam 04.35, selesai sudah: Kusni Kasdut, 52 tahun dinyatakan telah menjalani hukuman ditembak sampai mati. Waktu itu di langit bersinar tigaperempat rembulan malam ke-18. Di cakrawala sebelah utara nampak pijar-pijar kilat yang tak berbunyi. Nasib Kusni telah ditentukan, sejak Presiden Soeharto menolak permohonan grasinya.
Kelakuannya juga baik sebagai narapidana teladan di Cipinang. Dan ia sendiri berharap dapat pengampunan. Tapi hukuman bagi kejahatan yang pernah dibuatnya memang, seperti katanya sendiri, sudah tidak tertanggungkan lagi. Ia dipidana mati bagi kejahatannya membunuh anggota polisi di Semarang. Ia dihukum penjara seumur hidup untuk nyawa Ali Bajened. Ia divonis 12 tahun penjara untuk lakonnya memimpin perampokan berlian di Museum Pusat. Dan ia diganjar 5 tahun untuk kejahatannya — yang pertama — menculik seorang dokter.
Selama sebagai narapidana, Kusni juga sudah 8 kali berusaha lari dari penjara dan tempat tahanan polisi. Hanya tiga kali ia gagal. Demikianlah, Kusni Kasdut dipanggil dari sel ke-5 blok B-II penjara Kalisosok (Surabaya) untuk diberitahu tentang penolakan grasinya oleh Presiden. Tak ada yang bisa meraba apa yang ada dalam pikirannya. Tapi petugas penjara melihat ia kembali ke selnya dengan langkah yang biasa-biasa saja. Tidak kaget? Kecewa? Mungkin. Sebelumnya Kusni sudah juga diberitahu: akhir hidupnya ditentukan pemerintah. Upaya hukum, seperti “amnesti” yang masih diharapkannya, tentu saja tak mungkin bisa diperolehnya.
Keinginannya terakhir hanya ia mau duduk di tengah keluarganya. Itu terpenuhi. Sembilan jam sebelum diantar pergi oleh tim eksekutor, di ruang kebaktian Katolik di LP Kalisosok Kusni Kasdut dikelilingi keluarganya: Sunarti (istri keduanya), Ninik dan Bambang (anak dari istri pertama), Edi (menantu, suami Ninik) dan dua cucunya, anak Ninik. Itulah jamuannya yang terakhir-dengan capcai, mi dan ayam goreng. Tapi rupanya hanya orang yang menjelang mati itu yang dengan nikmat makan. Kusni, kemudian, memeluk Ninik. “Saya sebenarnya sudah tobat total sejak 1976,” katanya, seperti direkam seorang pendengarnya. “Situasilah yang membuat ayah jadi begini.”
“Sebenarnya ayah ingin menghabiskan umur untuk mengabdi kepada Tuhan” , Tapi waktu terlalu pendek. Ninik dan yang lain menangis. “Diamlah,” lanjut ayahnya, “Ninik ‘kan sudah tahu, ayah sudah pasrah. Ayah yakin Tuhan sudah menyediakan tempat bagi ayah. Maafkanlah ayah.” Kedua cucunya, Eka dan Vera, mulai mengantuk. Kusni banyak berpesan, misalnya agar keluarganya saling mengunjungi. Ia juga minta kerelaan Edi, menantunya, agar menyekolahkan Eka dan Vera di sekolah Katolik. “Syukur kalau salah scorang di antaranya bisa ada yang jadi biarawati.”
Lalu acara pemakaman juga dibicarakan. Mereka sepakat mengajukan permohonan agar jenazah dikuburkan di Probolinggo (Jawa Timur). Di saat terakhir Kusni menyerahkan sebuah bungkusan coklat kepada Bambang. Isinya sepotong kemeja safari, hem lengan panjang dan dua buah celana panjang. Pesan penghabisan sederhana, seperti urusan bisnis agar honor dari penerbit Gramedia, untuk riwayat hidup yang dibukukan oleh pengarang Parakitri, agar diurus.
Itu, kata Kusni, “merupakan persembahan terakhir bapak kepada anak-cucu.” Lalu keluarga itu berpisah. Di malam menjelang ajal, Kusni hanya duduk dekat terali besi, merokok kretek, mengobrol dengan sipir, dan sekali-kali bersembahyang. Ketika tim eksekutor menjemputnya, sekitar jam 03.00, Kusni masih tetap jaga. Ia menolak mandi pagi. Setelah menyalami petugas yang selama ini mengurusnya, Kusni pun diiring meninggalkan selnya. Di muka penjara menunggu dua orang polisi: Kol. Pol. Harsono dan Mayor Pol. Sujono. Mereka adalah petugas yang menangkapnya setelah sebulan melarikan diri dari penjara Lowokwaru di Malang. Mereka memeluk dan mencium Kusni. Lalu dua buah mobil polisi pun memimpin iring-iringan 17 mobil meninggalkan Kalisosok. Banyak yang menyangka hukuman mati bagi Kusni Kasdut akan dilaksanakan di Pantai Kenjeran sebelah timur kota. Ternyata rombongan menuju barat laut.
Di sekitar 8 km sebelum Gresik, iringan berhenti. Rombongan turun dari kendaraan dan berjalan kaki menuruti pematang-pematang tambak, untuk mencapai tanah yang agak datar berpohon rimbun dekat Selat Kamal. Di situ, segala sesuatunya telah siap. Kusni terpancang di sebuah tiang dengan sehelai kain menutupi mukanya. Romo Tandyo Sukmono membimbingnya berdoa. Lalu “Amin”. Dan peluru menggelegar. Tuhan, selesai sudah.
——-
Saat-saat terakhir Kusni Kasdut , dijadikan ide untuk lagu dari Super Group God Bless yang dibaptis dengan judul , “Selamat Pagi Indonesia” di album “Cermin”. Lirik lagu ini ditulis oleh Theodore KS, wartawan musik Harian Kompas yg jago menulis lirik lagu, arrangement lagu di gubah oleh Ian antono yang merupakan sahabat dari Theo sang penulis lirik.
Selamat Pagi Indonesia
Sayap burung berkepak
Menembus embun pagi
Terbang menerjang keheningan
gerbang dini
Terperanjat mendengar
Derap langkahnya yang begitu tenang
Melangkah menuju keabadian
Rumpun bambu bergoyang
Gemrisik dan melambai
Seakan memberikan kata “selamat Jalan”
Rumput-rumput nan hijau
Bermandi embun tunduk dengan pilu
Menatap dia pergi pagi ini
Langkahnya..
Berderap dan pandangannya
menatap ke depan
Tegakkan..
Dadanya seakan dia menantang perang
Di bibirnya terlukis senyum
yang yakin akan kebenaran
Matanya berbinar dalam keredupan
Mulutnya bergerak menyusun doa
terakhir baginya
Yang meluncur menembus himpitan sepi
kemanakah kucari
Kebenaran…
Kedamaian…
Kasih sayang..
Kemana…
(Kemana akan kucari)
Surya merekah pagi
Membuka tabir hari
Tapi dia takkan kuasa melihat lagi
Seandainya kuasa membuka
mulut mungkin akan berkata
(Selamat Pagi Indonesia, Cintaku)
Bagaimanapun kejamnya dia saat itu, namun saat bertobat dia melahirkan sebuah karya yang bisa di nikmati di museum Gereja kathedral. Karya kusni kasdut juga bisa di nikmati di museum Gereja Khatedral Jakarta berupa lukisan dari gedebong pisang. Seperti yang dituturkan oleh Eduardus Suwito (pengurus Museum Katedral), “Sebagai tanda terima kasihnya, Kusni Kasdut memberikan lukisannya itu kepada Gereja Katedral Jakarta. Dan beberapa hari setelah itu, Kusni Kasdut ditembak mati.”