Saturday, July 19, 2014

Bacaan Ringan "SEJARAH PANJANG KRIMINALITAS DI JAKARTA - PART 1"

http://massandry.blogspot.com
Membaca warta koran-koran Jakarta, pembaca kerap disuguhi kasus kriminalitas. Kejadian yang mengusik rasa aman warga Jakarta, juga warga kota lain di Indonesia, sesungguhnya berlangsung sejak era kolonial. Sebagai kota besar dengan pertumbuhan dan perkembangannya, pula keragaman warganya, Jakarta punya daya tarik. Kota ini seolah menjadi penampungan berbagai etnis di Indonesia yang datang karena berbagai alasan. Ekonomi menjadi salah satu alasan warga luar Jakarta menggantungkan nasib. Jakarta dipandang menyediakan lahan yang secara ekonomis menjanjikan kehidupan lebih baik.

Di sisi lain, ada masyarakat yang menganggap kemajuan Jakarta justru menciptakan ruang sosial ekonomis. Mereka memandang pembagian Jakarta secara administratif juga berlaku bagi mereka. Dengan kata lain, ada ruang bagi mereka untuk mengatur dan menguasai wilayah dan sumber ekonomi di dalamnya. Para penguasa lokal ini terdiri dari para jagoan atau ada kalanya disebut preman. Merekalah penguasa sesungguhnya atas wilayah itu.

Jagoan juga sarat dengan unsur kekuasaan, magis, dan kharisma. Dalam sejarah Indonesia, jagoan bermakna pula sebagai sebutan bagi pahlawan lokal, pemberani, pelaku kriminal, orang kebal atau orang yang memiliki kekuatan gaib, atau perantara kekuasaan. Jagoan identik dengan kekuatan, kekebalan, kekerasan, kejahatan, dan kekuasaan.

Kategori tersebut tak dapat dilepaskan dari pandangan masyarakat tentang sosok jagoan. Seorang jagoan menempati kedudukan istimewa di masyarakat karena berbagai kelebihan yang dimilikinya, termasuk dihormati dan bahkan ditakuti. Dalam hal ini jagoan dapat dipandang sebagai modal sosial dan politik bagi individu, organisasi, dan negara. Oleh penguasa, jagoan dimanfaatkan sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, serta dipakai sebagai penarik pajak, pengawas kerja paksa, dan tugas lain yang berkaitan dengan penguasa. Jagoan digunakan pula untuk mengawasi jagoan lain dalam rangka keamanan dan ketertiban di wilayahnya, atau dengan kata lain “menangkap maling dengan maling” dipraktikkan penguasa untuk mengelola pemerintahan.

Pada 1950-an, jagoan terkenal di Jakarta Kota membantu kepolisian memberantas pencoleng yang meresahkan warga Jakarta Utara. Kerja sama serupa antara jagoan dan kepolisian untuk mengatasi masalah keamanan di Jakarta juga terjadi di Glodok dan Pintu Kecil. Di kedua wilayah terakhir, para pedagang menyanggupi kepada kepolisian untuk mengumpulkan sejumlah uang yang kemudian dipakai membentuk satu organisasi jagoan. Mereka memandang perlu ada organisasi jagoan untuk mengatasi masalah pencurian atau perampokan yang kerap terjadi.

Pada awal 1950-an keamanan di Jakarta memang meresahkan. Pada awal Januari 1951, misalnya, tercatat terjadi 300 kasus kejahatan di Jakarta. Sejak awal tahun itu pula, banyak organisasi penjaga keamanan bermunculan di Jakarta untuk menjaga rumah dan kawasan niaga. Kesan bahwa organisasi tersebut sebagai “laskar” dalam bentuk lain tak dapat dielakkan. Di beberapa organisasi itu, mereka yang pernah berjuang di front sekitar Jakarta/Jawa Barat bergabung di dalamnya. Diperkirakan terdapat tiga belas ribu anggota dari tiga puluhan organisasi penjaga keamanan yang tersebar di Jakarta pada awal 1950-an. Namun, hingga April 1954, hanya dua puluh organisasi penjaga keamanan yang disahkan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKBDR), termasuk Cobra yang dibentuk oleh Imam Sjafe’i atau Pi’i atau bang Pi’i, tokoh penting di wilayah Senen dan sekitarnya sejak akhir kolonial Belanda.Letkol. Imam Sjafe’i (Menteri Negara Diperbantukan kepada Presiden Khusus Urusan Pengamanan, 1966.) 

Newer Post Older Post Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds