Bacaan Ringan "SEJARAH PANJANG KRIMINALITAS DI JAKARTA - PART 6"
http://massandry.blogspot.com
Istilah jagoan seperti disebut di atas memang sudah dikenal di kalangan pelaku kejahatan. Misalnya, seorang pencopet yang melakukan pekerjaan dan sukses membawa hasil yang memuaskan, maka ia mendapat sebutan sebagai jagoan. Pada 1950-1960-an, istilah jagoan di kalangan “dunia bawah” Jakarta merupakan suatu sebutan atau istilah yang umum. “Dunia bawah” Jakarta juga diramaikan dengan banyak tukang catut yang beroperasi sejak lama. Pencatutan juga meresahkan warga Jakarta dan terutama mereka yang ingin menikmati hiburan atau pergi ke luar kota. Tukang catut kerap melakukan pekerjaan di sekitar loket bioskop, pelabuhan, terminal atau stasiun. Mereka berpakaian dengan baik dan bagus. Salah seorang tukang catut “kaliber besar” yang tinggal di Matraman justru buta huruf. Ia selalu berdandan rapih atau necis, berdasi, tutur katanya sopan, manis sehingga banyak orang atau calon korban terpikat dan memercayai.
Di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok dan Pasar Ikan juga dikenal tukang catut tiket kapal. Mereka tinggal di sekitar daerah Jembatan Lima dengan menyewa sebidang rumah seharga Rp 0,25 hingga Rp 1 per minggu yang ditempati bersama beberapa orang dari luar Jakarta. Mereka juga mengurus surat-surat bagi yang ingin berpergian ke luar Jawa, dan bahkan pernah membantu pelarian seorang pembunuh dan perampok asal Tangerang-Serang ke Palembang. Bagi pencatut tiket kapal laut, uang akan memperlancar segala urusan apa pun termasuk melindungi buronan polisi. Rumah sewaan pencatut tiket kapal jarang sekali diperiksa, termasuk kelengkapan surat-surat penyewa.
Pihak pemerintah berpendapat bahwa masalah catut selain merusak ekonomi, juga menyebabkan insiden-insiden yang mengganggu keamanan karena tuduhan-tuduhan yang tidak terbukti bahwa bioskop mencatutkan karcis. Pihak kejaksaan kemudian bertindak untuk mencegah kejadian yang sama dengan menghukum pembeli dengan harga tiket lebih tinggi daripada harga yang ditetapkan. Sedangkan dalam penyidikan, aparat hukum tidak hanya berhenti memproses pada pelanggaran saja, tetapi terhadap si penjual atau pencatut digali organisasi yang mengorganisasi pembelian karcis-karcis itu.
Sementara itu, salah satu upaya pemerintah Jakarta untuk mengurangi kejahatan yang kian meresahkan warga adalah mewajibkan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) terhadap penduduk yang berada di perbatasan Jakarta mulai Februari 1953. Tujuan pembuatan KTP adalah untuk mencegah orang-orang yang dicurigai akan mengganggu keamanan baik di perbatasan maupun di pinggiran kota masuk ke Jakarta.
Kejahatan yang terjadi di pinggiran Jakarta seperti Pondok Gede, Kramat Jati, Pasar Minggu, Kebayoran Lama, Palmerah, ataupun Kebon Jeruk kerap kali dilakukan dengan cara kekerasan dan pelaku bersenjata tajam dan senjata api seperti dilakukan kelompok Mat Item yang mencapai 27 orang. Kelompok ini ditakuti warga sekitar Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Tangerang. Dia dikenal pula sebagai Hadji Mat Itam alias Adjum. Kelompok ini selain merampok juga memerkosa dan membunuh korbannya. Enam lurah menjadi korban kekerasan Mat Item dan komplotannya. Selain dikenal kejam, Mat Item dikabarkan mempunyai jimat berupa pisau kuning yang mampu membuat dirinya menghilang. Namun, Mat Item, jagoan terkenal di Jakarta, justru tewas pada 19 Februari 1953 dalam suatu penangkapan oleh pasukan Kala Hitam Kompi III pimpinan Letnan Suhanda di Kali Angke, Kampung Bojong. Selain Mat Item, beberapa jagoan lain yang namanya terkenal di beberapa tempat di Jakarta pada 1950-an antara lain adalah Tongtihu (Tanjung Barat), Mugni (Kramat Jati), Ma’i (Pondok Cina), Mat Nur (Ciganjur), dan Bulloh.
Kelompok Bulloh contohnya, mereka terkenal pada awal 1950-an di sekitar Jakarta Selatan dan Tangerang. Bulloh adalah seorang bekas lurah. Kekuatan kelompok ini dapat diukur ketika polisi menyita senjata milik mereka dalam suatu tembak-menembak yang berlangsung di Pasar Minggu. Dalam penangkapan terhadap jagoan ini, tiga dari sebelas anggota kelompok Bulloh tewas, dua ditangkap, dan sisanya melarikan diri. Senjata mereka yang disita polisi terdiri dari 2 revolver colt, 16 peluru, sepucuk pistol merek Wembly, sepucuk FN otomatis berikut 52 butir peluru, 3 golok, 3 keris besar, dan satu keris kecil.
Kejahatan juga mencemaskan warga kaya Jakarta sehingga membentuk persepsi mereka tentang keamanan itu sendiri. Mereka berupaya mempertahankan diri dari berbagai aksi kejahatan dengan mengubah bangunan tempat tinggal. Salah satu perubahan fisik pada rumah-rumah yang ada di Jakarta pada awal 1950-an adalah pemakaian teralis atau besi sebagai pasangan jendela dan pintu rumah.
Kejahatan di Jakarta yang baru menata diri selepas revolusi memang mencemaskan dan meneror warga, terutama orang-orang kaya. Merekalah yang tampak paling cemas terhadap berbagai aksi kejahatan di Jakarta, seperti tercermin pada pemakaian besi untuk membentengi rumah dan harta miliknya. Namun, justru di Jakarta inilah lahan subur bagi kalangan “dunia bawah” untuk menggarap kawasan bisnis dan perumahan serta menguasai ruang untuk menunjukkan kekuasaannya terhadap masyarakat dan pemerintah. Pada tataran tertentu, kejahatan di atas merupakan suatu bentuk protes terhadap properti orang kaya Jakarta, atau sebagai reaksi atas komersialisasi dan kemajuan yang tidak dapat dihindari oleh kelas berbahaya ini. Jagoan di kota ini justru membuat “kegelapan” yang menjadi impian keamanan dan ketenangan bagi orang-orang kaya atau masyarakat Jakarta menjadi “terang benderang” bagi hidup mereka, karena di kegelapan inilah justru tersimpan harta benda yang menjadi sasaran jagoan. Bayangan jagoan tentang kemakmuran terpantul dari rumah-rumah tembok dengan pagar besi dan teralis itu. Dengan kata lain, kejahatan tidak lain sebagai manipulasi dari kegelapan itu sendiri dan jagoan Jakarta pada 1950-1960-an telah mengubah semua itu dengan cara mereka sekaligus membalikkan nilai-nilai dari “dunia yang lurus” (straight world) dengan tetap bergantung kepadanya. [ ]