Bacaan Ringan "SEJARAH PANJANG KRIMINALITAS DI JAKARTA - PART 5"
http://massandry.blogspot.com
Mandor, yang tak lain seorang jagoan di mata buruh pelabuhan, sangat penting dalam rekrutmen buruh pelabuhan untuk dipekerjakan di perusahaan bongkar-muat barang. Kedudukan sebagai perantara ini menunjukkan peran penting jagoan dalam hubungan yang bersifat ekonomis, politis maupun sosial seperti di atas. Pola hubungan sejenis terus berlangsung hingga ke tahun berikut. Jagoan pun dapat memainkan dua peran sekaligus yakni ke atas kepada penguasa/pemilik perkebunan/pemilik perusahaan dan ke bawah kepada rakyat biasa/buruh. Peran jagoan sebagai perantara dalam hubungan yang bersifat politis diperlihatkan oleh jagoan Senen, Pi’i, yang dikenal dekat dengan Jenderal A. H. Nasution dan para perwira di tubuh Divisi Siliwangi, Jawa Barat.
Pi’i disebut sebagai salah satu tokoh yang punya andil memobilisasi para demonstran dalam peristiwa 17 Oktober 1952 di depan Istana Negara. Peristiwa nasional pertama yang menyebut keterlibatan Pi’i adalah rapat Ikada (kini Lapangan Monas) di Jakarta pada 19 September 1945. Ia dikatakan berperan menggerakkan massa untuk menghadiri rapat tersebut.
Nama Pi’i kembali disebut saat terjadi gelombang demonstrasi mahasiswa terhadap Presiden Soekarno pada pertengahan 1960-an. Oleh para demonstran, Pi’i mendapat julukan sebagai ketua bajingan di Jakarta, ketua perkumpulan copet Cobra di Jakarta, penguasa “dunia bawah” Jakarta, dan ahli teror. Pada 1966, Pi’i menduduki posisi sebagai menteri negara khusus urusan pengamanan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa jagoan tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan atau ketergantungan kepada orang lain. Pendapat bahwa jagoan tidak dapat berkembang tanpa mempunyai hubungan dengan lembaga resmi atau kekuasaan mungkin benar, jika penjelasan di atas dapat dijadikan rujukan, setidaknya menggambarkan peran jagoan sebagai perantara dalam hubungan yang bersifat ekonomi, politik, atau sosial. Kendati jagoan sebagai perantara dalam panggung kekuasaan, peran yang dipegang jagoan ini sangat penting dalam keseluruhan alur kisah tentang kekuasaan yang melibatkan jagoan di dalam hubungan ini.
Sebagaimana diketahui, Senen adalah kawasan niaga yang paling sibuk dan lahan subur bagi Cobra untuk meraup pendapatan dari jasa keamanan di sini. Deretan pertokoan, stasiun, pasar, pelacuran, warung, dan perusahaan yang terdapat di wilayah Senen dan Salemba menjadi sumber ekonomi mereka. Wilayah ini juga menjadi lintasan jalur trem dan kendaraan dari berbagai arah sehingga memudahkan bagi siapa pun yang ingin menuju ke lokasi ini. Keberadaan Cobra di wilayah Senen dan Salemba tentu memberi rasa aman kepada warga atau pelaku ekonomi di sini. Reputasi Pi’i dan juga Cobra dalam mengendalikan keamanan tampaknya menjadi salah satu pertimbangan bagi militer untuk mengajak kerja sama organisasi ini mengatasi masalah keamanan Jakarta.
Jagoan juga mengelola keuangan secara teratur, sebagian disisihkan untuk organisasi, keluarga, dan pendidikan. Cobra menyisihkan sebagian pendapatan untuk pendidikan. Pengalaman Cobra pada 1950-1960-an menunjukkan bahwa organisasi jagoan mampu menjalankan organisasi dan mengelola ekonomi untuk kesejahteraan mereka. Jika pada masa revolusi para jagoan aktif dalam perjuangan di berbagai tempat dan membentuk laskar, maka pada awal 1950-an jagoan Jakarta justru mulai memegang kendali atau kontrol atas ruang dan wilayah secara resmi melalui organisasi jagoan.
Pencopetan adalah salah satu kejahatan yang meresahkan warga Jakarta. Sejak akhir 1930-an, salah satu kelompok pencopet yang sangat terkenal dan ditakuti warga Jakarta adalah Koempoelan 4 Cent. Pi’i disebut sebagai salah satu pendiri kelompok tersebut. Kelompok ini bermarkas di Senen. Anggotanya berasal dari luar Jakarta. Nama organisasi berasal dari uang empat sen yang harus diberikan setiap anggota kepada organisasi ini sebagai “fonds pertoeloengan” atau “djaminan”. Dana ini kemudian dikelola untuk kelompok. Jika anggota kumpulan yang ditangkap itu mempunyai istri, maka istrinya akan mendapat tunjangan dari organisasi dan dana diambil dari “fonds pertoeloengan” ini. Sewa rumah setiap anggota juga dibayar oleh perkumpulan.
Koempoelan 4 Cent dibentuk karena banyak kelompok yang beroperasi di wilayah Senen, baik di stasiun maupun pasar. Di bangsal stasiun, ada empat komplotan yang masing-masing mempunyai tiga hingga empat anggota. Para pimpinan pencopet atau jagoan Senen ini adalah Boesong, Galing, Ketol, Mariang, dan Senan. Jumlah anggota komplotan yang beroperasi di stasiun dengan di pasar daging saja mencapai tiga puluh orang. Lima kongsi pencopet inilah yang menguasai Senen sebelum terbentuk Koempoelan 4 Cent. Persaingan di antara komplotan justru memudahkan pihak kepolisian membekuk anggota komplotan yang diburu, dan lima puluh persen laporan mengenai kasus pencopetan yang masuk ke kepolisian berhasil diselesaikan. Polisi juga memanfaatkan informasi yang diperoleh dari anggota komplotan yang ditangkap untuk menangkap anggota komplotan lain yang dikejar. Menangkap maling dengan maling, dipraktikkan kembali oleh pihak kepolisian pada 1950-1960-an. Langkah ini ditempuh karena kepolisian kekurangan personil untuk membasmi para pencopet. Banyak komplotan di Senen juga berakibat hasil yang diperoleh para anggota komplotan sedikit.
Selain Koempoelan 4 Cent, jagoan lain Senen yang meresahkan warga adalah para “pendjaga sajoeran” yang berjumlah mencapai puluhan orang. Mereka terdiri dari tiga kelompok dengan pimpinan adalah Soeria, Opit, dan Adjam. Mereka adalah anak-anak dari bekas murid-murid si Tjonat −yang dikenal sebagai “kepala penjamoen”− dan bekerja sebagai kacung atau pesuruh di pasar sayur-mayur Senen. Para jagoan ini menarik sejumlah uang dari para pedagang sayur-mayur. Jika para pedagang menolak memberikan uang, maka jagoan-jagoan ini akan mengambil sayuran. Dalam suatu pengepungan terhadap jagoan pasar sayur ini, polisi menangkap empat puluh orang.
Para pedagang tentu resah dengan aksi jagoan yang merugikan usaha mereka. Pedagang Tionghoa contohnya kemudian mengumpulkan sejumlah uang dan mengusulkan agar dibentuk suatu “politie-agenten particulier” atau “tjenteng-tjenteng” untuk membantu polisi memberantas kejahatan di sekitar Senen. Usulan mereka juga karena sangat sedikit jumlah polisi yang bertugas menangani kriminalitas di Senen. Hanya ada dua reserse untuk menangani kejahatan di sekitar Senen. Para pedagang Tionghoa juga memakai sejumlah orang Tionghoa dan mempersenjatai mereka dengan pentungan, golok, dan rantai untuk membasmi kejahatan di sekitar tempat tinggal dan lokasi bisnis. Kekerasan baik terhadap pedagang maupun orang yang datang ke Senen terus saja mengkhawatirkan dan tanpa ada yang dapat menghentikan. Pertumbuhan dan peningkatan kejahatan disertai kekerasan di Senen diibaratkan seperti pertumbuhan jamur di musim hujan. Kerawanan di Senen juga menarik perhatian anggota <strong>Volksraad</strong> orang Tionghoa bernama H. H. Kan. Ia kemudian mengajukan pertanyaan kepada pemerintah mengenai kejahatan yang kerap kali terjadi di Senen.