Fakta Dunia "IBUKOTA NEGARA INDONESIA ADALAH TOKYO ? - PART 1"
http://massandry.blogspot.com
Banjirnya uang dari Jepang, memberanikan tekad Soekarno menjadi tuan rumah Asian Games IV tahun 1962, dengan sebuah stadion raksasa yang dianggap mewah sampai sekarang. Juga menyelengarakan pesta olah raga antara negara berkembang, Ganefo I tahun 1963 (Ganefo hanya sekali dan tak ada kelanjutannya). Hingga 32 tahun berkuasa, Soeharto tak mampu membangun stadion sekelas Senayan di tempat lain, dan juga tak mampu menjadi tuan rumah olahraga internasional yang berbobot, meski mempunyai uang jauh lebih banyak dibanding Soekarno.
Batavia atau Jakarta Telah menjadi kota pusat pemerintahan penjajah Belanda selama ratusan tahun, untuk mencuri apa saja yang bisa diambil dari bumi Indonesia. Tapi, menjelang awal Maret 1942, pemerintahan Hindia Belanda memindahkan ibukota ke Bandung. Bukan karena kota itu lebih sejuk dan nyaman, tapi karena Batavia (Jakarta) sudah dikuasai penguasa baru: Jepang.
Bandung jadi penuh sesak oleh pengungsi. Kebanyakan wanita dan anak-anak. Hotel-hotel fully booked dan sumpek. Orang-orang Belanda ini memang ingin ‘berlibur’ di ibukota baru. ‘Libur’ panjang dari memerintah jajahannya untuk selamanya. Kenapa Bandung disebut ibukota? Karena pentolan penguasa Hindia Belanda berkumpul di sana. Ada Gubernur Jenderal Tjarda van Stakenborgh Stachouwer dan keluarga. Ada juga Letnan Jenderal Hubertus Johannes van Mook yang dijangkiti rasa takut mati.
Sebenarnya Bandung juga sama tidak amannya dengan Jakarta. Kota ini dihujani bom dan peluru. Saking pengecutnya, van Mook yang takut mati buru-buru ungsi ke luar Bandung. Pas weekend hari Sabtu 7 Maret 1942, van Mook naik pesawat Glan Martin kabur ke Australia. Ngeeeng…Yang unik, pesawatnya memakai landasan sepanjang Jalan Buah Batu, karena landasan bandara Andir (sekarang Hussein Sastranegara) rusak. Apa yang dibawa? Kebanyakan bawa baju yang melekat pada badan.
Lalu kemana Gubernur Jenderal Tjarda?
Dia tetap di Bandung, tidak melarikan diri, karena keesokan harinya, Minggu 8 Maret 1942, dia ada janji penting. Bukan janji sama Tuhan pergi ke gereja, tetapi janjian sama Jenderal Hitoshi Imamura, penguasa militer tertinggi Jepang di Hindia Belanda, yang mewakili Kaisar Hirohito. Mereka berdua bertemu di Kalijati, Subang, untuk menyerahkan kekuasaan Hindia Belanda secara resmi kepada penguasa baru. Hari itu berakhirlah kekuasaan Belanda di Indonesia untuk selamanya. Ada majikan baru yang memerintah, dengan nasib baru. Kepedihan dan kesengsaraan baru untuk rakyat Indonesia di bawah kekuasaan Jepang.
‘HUBUNGAN GELAP’
Sejak Jepang menguasai banyak negeri di Asia. praktis pusat kekuasaan jajahan berkiblat ke Tokyo. Dalam film-film perjuangan kita, sering diperlihatkan adegan rakyat Indonesia, yang harus menunduk bersama dengan semangat disiplin tinggi di sebuah lapangan di tiap pagi hari, untuk hormat ke Kaisar Hirohito di Tokyo. Mirip orang Islam sembahyang menghadap ke Makkah, Saudi Arabia. Jepang datang membawa “harapan baru” bagi Indonesia, yakni sebagai “Saudara Tua” yang membebaskan bangsa Asia dari kejahatan kulit putih orang Eropa. Tentu saja, banyak orang Indonesia senang. Bahasa Belanda dilarang diajarkan dimana-mana. Harus menggunakan bahasa Indonesia dan juga Jepang.
Orang Belanda yang dulu sombong berlagak bagai majikan, berganti nasib di tempatkan di ruang sengsara, di kamp-kamp penyiksaan sistematis. Juga sebagian rakyat Indonesia ikut merasakan ini, terutama yang membangkang terhadap Jepang. Semua kehidupan rakyat Indonesia, sudah diatur dalam sebuah peraturan, yang dibuat sebelum mereka menguasai kepulauan nusantara. Jadi memang sudah ada niat Tokyo untuk datang, berkuasa dan mencuri kekayaan alam Indonesia. Dulu semasa sebelum perang dunia kedua, mereka harus membeli kekayaan alam seperti minyak (bahkan sering kekurangan pasokan) dari Hindia Belanda. Nah, sekarang mereka mendapatkannya secara gratis, dengan cara menyiksa dan membunuhi si pemilik kekayaan alam: orang Indonesia.
Anehnya, sebelum Indonesia lahir sudah terjadi ‘hubungan gelap’ antara Jakarta dan Tokyo. Perdana Menteri Hideki Tojo datang ke Jakarta tahun 1943. Dia menghadiahkan kimono untuk Fatmawati, istri Soekarno, sambil mengundang Soekarno, Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo, untuk “jalan-jalan” ke Tokyo. Akhirnya, mereka bertiga pergi ke Jepang pada November 1944. Inilah pertama kali Soekarno (yang kelak menjadi presiden) pergi ke luar negeri.
Selama 17 hari mereka dimanja dan dipamerkan kehebatan Jepang. Dan yang spektakuler, mereka di pertemukan dengan Kaisar Hirohito. Kok mau-maunya Hirohito bertemu orang yang statusnya belum jelas? Mereka bukan kepala negara, bukan utusan sebuah negara dan hanya warga biasa. Lebih aneh lagi, Kaisar Hirohito ‘merusak’ protokol Istana Kekaisaran dengan menyalami Soekarno dan memberinya medali kehormatan tertinggi. Belum pernah seorang kaisar melakukan hal ini sebelumnya. Padahal di saat yang bersamaan, ribuan orang Indonesia mati sia-sia bagaikan serangga disemprot pembasmi hama, oleh tentara Jepang.
Di tahun-tahun berikut menjelang kemerdekaan, kejadian itu melekatkan sebuah anggapan kuat, bahwa Soekarno dan Hatta (dan juga beberapa pendiri negara Indonesia) memang ‘boneka Jepang’. Di hadapan Jenderal Imamura, Soekarno pernah berpura-pura dan ‘menjilatnya’, dengan kata-kata, “Tuan mengusir orang yang dianggap penindas sejati bangsa Indonesia. Saya berterima kasih kepada Tuan untuk selama-lamanya”. Tuduhan sebagai kolaborator Jepang, ternyata efektif menjauhi Soekarno mendapat pengakuan atas kemerdekaan negerinya yang ia lakukan bersama patriot lain, dari dunia internasional, khususnya negara-negara barat yang menang dalam perang dunia kedua. Bila tidak pandai-pandai berunding, bersilat lidah dan bisa mengambil hati rakyat, Soekarno dan Hatta bisa saja diadili sebagai penjahat perang oleh Sekutu dan juga tentunya oleh Belanda, yang ingin datang kembali menguasai Indonesia, meski gagal total
Kebalikannya dialami oleh PM Tojo. Seusai perang, dia diadili sebagai penjahat perang oleh Sekutu dan digantung di sebuah tempat di Tokyo, yang sekarang menjadi lokasi berdirinya gedung pencakar langit Sunshine 60.
IBUKOTA PINDAH KE TOKYO
Seperti sudah ditakdirkan (bahkan diramalkan oleh Jayabaya ratusan silam sebelumnya), Indonesia lahir, berjuang dan hidup dengan ‘a little help from Japanese’. Sulit dibantah bahwa kemerdekaan Indonesia, banyak mendapat bantuan dari Kantor Penghubung Jepang di Jakarta. Perumusan naskah proklamasi saja dilakukan di rumah kediaman seorang petinggi Jepang, yang semula direncanakan di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin) di Harmoni, Jakarta. Soekarno menjadi presiden juga dengan bantuan pemerintah militer Jepang di Indonesia. Bahkan Soeharto melesat karir militernya, karena didikan dari PETA (Pembela Tanah Air), yang dibentuk Jepang. Bukti dan pengalaman seperti ini, membawa corak yang kental akan peranan Jepang membela dan membantu pembangunan Indonesia, kelak di kemudian hari. Soekarno dan Soeharto adalah sahabat paling akrab keluarga kekaisaran dan pemerintahan Jepang.
Setelah kemerdekaan dan Indonesia mendapat pengakuan internasional, dimulai era baru hubungan antara Indonesia dan Jepang. Sikap Jepang sangat hati-hati terhadap bangsa Indonesia (juga bangsa Asia lainnya), yang masih terkenang getirnya masa lalu hidup bersama Jepang yang bengis. Bahkan Kaisar Hirohito jarang, mungkin tidak pernah, berkunjung ke negara Asia manapun, setelah perang usai. Meski setiap kepala negara Asia sowan kepadanya, bila datang dalam sebuah kunjungan kenegaraan ke Tokyo.
Kekejaman masa pendudukan Jepang, ditanggapi dengan tuntutan pembayaran pampasan perang oleh Indonesia, sebesar 17,5 miliar dolar AS. Jumlah yang terlalu tinggi untuk ditolak Jepang. “Emangnya Jepang pernah benar-benar perang sama Indonesia?. Kita tak perlu bayar apapun!”, komentar orang yang menolaknya. Namun Jepang tetap membayar sejumlah besar uang untuk mengobati luka hati bangsa Indonesia (juga negara Asia lainnya), yang tak bisa dihargai oleh uang atau apapun. Dimulailah perundingan pampasan perang yang membuat Presiden Soekarno dan juga pejabat penting laiinya, sering datang ke Tokyo.
Selama menjadi presiden, Soekarno telah 15 kali berkunjung ke luar negeri ke 58 negara (termasuk ke Bangladesh, Singapura dan Bahrain, yang saat itu belum menjadi negara merdeka). Sekali berkunjung bisa satu negara (tapi jarang), atau ke sejumlah negara sekaligus didatangi. Pernah antara 16 April sampai 2 Juli 1961, Soekarno sekali jalan mengunjungi 21 negara! Mungkin karena pesawatnya sering menyewa, jadi Soekarno sekalian aja pakai sekaligus mengunjungi sejumlah negara. Dari 15 kali pergi ke luar negeri (antara 1951 sampai 1965), 11 kali diantaranya termasuk pergi ke Jepang.
Saking seringnya ke Tokyo, wartawan kawakan Mochtar Lubis yang selalu membangkang dengan kebijakan Soekarno, mengejeknya, “Wah, ibukota Indonesia pindah ke Tokyo”. Ini bukan gurauan. Tapi kenyataan. Pejabat dan menteri sering melaporkan pekerjaannya bukan ke Istana Merdeka, tapi ke Tokyo.
Jaksa Agung AS Bob Kennedy ingin bertemu Soekarno, datangnya harus ke Tokyo, bukan ke Jakarta (dia pernah datang ke Jakarta sebelumnya.) Tanggal 29 Januari 1958, Soekarno menjadi presiden pertama Indonesia yang berkunjung ke Jepang selama 18 hari. Inilah kunjungan kenegaraan pertamanya dan satu-satunya ke Jepang. Selebihnya kunjungan kerja untuk membahas pampasan perang, berunding dengan Malaysia dan keperluan lain. Namun setiap dia ke Tokyo, Soekarno hampir selalu diundang makan siang oleh Kaisar Hirohito. Sebuah sikap yang jarang didapat oleh kepala negara manapun di dunia. Sejak itu dia sering ke Tokyo. Dari 22 tahun menjadi presiden, Soekarno berada di Jepang (kebanyakan di Tokyo) selama 117 hari, yang diakumulasikan dari 11 kali ke Jepang. Artinya, 1,5% masa kepresidenannya dihabiskan di Jepang. Jumlah yang sangat besar untuk ukuran panjang masa kekuasaan Soekarno.
Seringnya Soekarno berada di Tokyo, membuat perundingan pampasan perang menjadi lancar, yang akhirnya dibayar Jepang secara bertahap. Hasilnya, bisa dilihat dengan munculnya bangunan-bangunan gigantik. Misalnya hotel-hotel di Pelabuhan Ratu, Yogyakarta, Bali, Hotel Indonesia, Jembatan Ampera di Palembang, serta Wisma Nusantara setinggi 29 lantai (diresmikan Soeharto tahun 1969), adalah sebuah hasil dari pampasan perang. Gedung perkantoran ini cukup modern di Asia untuk ukuran saat itu. Yang paling monumental adalah tugu monumen nasional di tengah Jakarta, yang merupakan simbol hasil pampasan perang.
Meskipun Soekarno sering ke Tokyo (117 hari), tidak demikian dengan perdana menteri Jepang. Selama ia berkuasa, hanya 2 orang perdana menteri yang datang ke Jakarta. Pertama adalah Perdana Menteri Nobusuke Kishi pada November 1958. Anehnya, 50 tahun kemudian cucu Kishi, Perdana Menteri Shinzo Abe, datang ke Jakarta pada Agustus 2008. Dan kedua PM Hayoto Ikeda pada September 1963. Baik Kishi dan Ikeda datang cuma 2 hari di Jakarta. Namun Jepang akhirnya mengirimkan Putera Mahkota Akihito dan Putri Michiko datang ke Indonesia pada 1962. Dia menjadi anggota kekaisaran Jepang yang pertama datang ke sebuah negeri bekas jajahan Jepang paling luas.
Tiga puluh tahun kemudian, Akihito dan Permaisuri Michiko juga menjadi Kaisar Jepang pertama yang datang ke Indonesia pada 3 Oktober 1992. Kaisar Akihito datang menghadiahkan ikan koi hasil silangan koi Jepang dan koi Indonesia, untuk Soeharto.