Monday, December 24, 2012

Fakta Dunia "KONSPIRASI GERAKAN THEOSOFI DI INDONESIA - PART 1"

http://massandry.blogspot.com
Theosofi yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky, seorang wanita asal Rusia berdarah Yahudi, pada 1875 di New York, Amerika Serikat, ini memang memberikan pengaruh yang cukup besar bagi gerak nasionalisme di negeri ini. Banyak elit-elit nasional dan founding father negeri ini pada masa lalu yang terpengaruh dalam ajaran-ajaran Theosofi ini. Sebagian dari mereka bahkan menjadi anggota resmi dan memegang teguh keyakinan Theosofi. Kebanyakan dari para tokoh yang tergabung dalam Theosofi adalah mereka yang mengusung paham kebangsaan (nasionalisme), dan penganut kebatinan.Mereka umumnya tertarik dengan Theosofi karena jargon yang dikampanyekan oleh organisasi itu, diantaranya soal pluralisme, dimana semua agama pada intinya sama saja, selama menebarkan kebajikan, kasih sayang, toleransi, perdamaian, persamaan, dan sebagainya. Semua itu tercermin dalam motto organisasi ini, yaitu "There is no religion higher than truth", tak ada agama yang lebih tinggi daripada kebajikan. 
Jargon-jargon tersebut pada masa itu disuarakan oleh para humanis Eropa, yaitu mereka yang mengusung paham humanisme sebagai pokok tertinggi dalam kehidupan, yang mana kebanyakan dari mereka adalah para penganut Theosofi ataupun Freemasonry yang datang ketika Indonesia masih bernama Hindia Timur atau sering disebut Hindia Belanda.

Tak salah jika  menyebut bahwa Theosofi memberikan nuansa bagi cikal bakal pluralisme di Indonesia. Karena, disamping para anggotanya dari beragam etnis, bangsa, dan agama, Theosofi juga mengajarkan kesamaan semua agama-agama (trancendent unity of religion) dan kesamaan Tuhan (trancendent unity of God) sebagaimana tercermin dalam pemikiran para tokohnya seperti Madame Blavatsky dan Annie Besant. Ujungnya, mereka ingin membangun sebuah persaudaraan universal, dengan menghapus sekat-sekat agama. Ajaran-ajaran masing-masing agama dihapus dengan nilai-nilai universal yang berlandaskan pada paham humanisme.

Sejarawan Robert Van Niels dalam buku "Munculnya Elit Modern Indonesia" menyatakan bahwa orang-orang Eropa yang datang ke Hindia Timur pada masa lalu memiliki peranan penting bagi munculnya elit modern Indonesia. Orang-orang Eropa yang datang pada masa itu, adalah para humanis yang tak hanya bekerja sebagai pegawai kolonial, tetapi juga membawa serta pemikiran dan kebudayaan mereka. Sejak tahun 1870, kata Van Niels, kota-kota di Jawa tidak hanya menjadi pusat perdagangan orang-orang Eropa, namun juga menjadi tempat bersemainya kebudayaan dan pemikiran yang mereka bawa.

Selanjutnya pada masa 1900-an organisasi seperti Theosofi dan Freemason makin berkembang pesat, khususnya di Tanah Jawa dengan munculnya loge-loge tempat pertemuan mereka di berbagai daerah. Karena itu, tak berlebihan jika Theosofi dan Freemason disebut sebagai organisasi yang bergeliat bersama gerak laju kolonialisme di negeri ini, yang kemudian secara tidak langsung melalui elit-elit nasional yang direkrut menjadi anggotanya, mempengaruhi gerak laju nasionalisme negeri ini juga.

Dalam kata pengantar buku "Teosofi, Nasionalisme dan Elit Modern" Prof. David Reeve dari Universitas New South Wales Australia menyatakan, "Dalam lingkaran orang-orang nasionalis yang sekular, begitu banyak orang-orang yang memiliki hubungan dengan Gerakan Theosofi, "tulisnya. Prof Reeve juga menyatakan, para aktifis Teosofi yang merupakan elit nasional pada masa lalu adalah orang-orang yang juga banyak terlibat dalam perumusan naskah UUD 1945, meskipun ia tak berani menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar Theosofi mempengaruhi pola pikir mereka dalam menyusun UUD tersebut.

Nama-nama seperti Mohammad Yamin, Prof. Soepono, dan Radjiman Wediodiningrat, adalah tokoh-tokoh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang banyak menyampaikan gagasan-gagasan soal prinsip-prinsip dasar negara ketika itu. Bahkan Radjiman, yang merupakan tokoh penting dalam Gerakan Theosofi dan anggota resmi kelompok Freemason, adalah ketua sidang BPUPKI, sidang yang kemudian menghasilkan Pancasila sebagai dasar negara. Sedangkan Mohammad Yamin termasuk orang yang berkontribusi besar dalam merumuskan lambang negara Pancasila.

Tokoh-tokoh nasional lain yang sangat dekat dengan Gerakan Theosofi adalah Mohammad Tabrani (Tokoh kongres Pemuda Pertama pada 1926'Ketua Pemuda Theosofi), Ki Sarmidi Mangoensarkoro (Tokoh Taman Siswa), Ki Hadjar Dewantara (Tokoh Taman Siswa), Tjipto Mangoenkoesomo (Tokoh Boedi Oetomo), Goenawan Mangoenkoesoemo (Tokoh Boedi Oetomo), Armin Pane (Sastrawan), Sanoesi Pane (Sastrawan), Mohammad Amir (tokoh Jong Sumatrenan Bond), Datoek Soetan Maharadja (tokoh kaum adat Minangkabau), Siti Soemandari (pemimpin Majalah Bangoen), dan tokoh-tokoh nasional lainnya, terutama yang berasal dari Keraton Paku Alaman Yogyakarta, organisasi Tri Koro Dharmo, Jong Java, Boedi Oetomo, Perhimpoenan Goeroe Hindia Belanda (PGHB/cikal bakal PGRI), dan para alumnus Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (School tot Opleiding van Indische Artsen/STOVIA) di Batavia.

Pada masa berkembangnya Gerakan Theosofi, gesekan-gesekan pemikiran dengan tokoh-tokoh Islam yang berasal dari Sarekat Islam berlangsung sengit. Bahkan rivalitas antara Boedi Oetomo dan Sarekat Islam, diantaranya juga berpangkal dari pemahaman soal keyakinan dan pemahaman Islam.

Tokoh Boedi Oetomo, seperti Goenawan Mangoenkoesomo dan Radjiman Wediodiningrat cenderung bersikap konfrontatif terhadap aspirasi Islam. Sehingga tak heran, jika Prof Reeve sebagai akademisi yang pernah meneliti Gerakan Theosofi, menyatakan, "Perkumpulan Teosofi mengaku terbuka untuk semua agama, namun tampaknya mereka menjalin sangat sedikit persentuhan dengan Islam," jelasnya.

Bukti kedekatan Gerakan Theosofi dengan Boedi Oetomo terlihat dalam Perayaan 10 Tahun Organisasi Boedi Oetomo pada 1918 yang berlangsung di Loge Theosofi, di De Ruijstestraat 67 Den Haag, Belanda. Dalam perayaan tersebut, tokoh-tokoh Boedi Oetomo dan mahasiswa Indonesia, termasuk Ki Hadjar Dewantara dan Goenawan Mangoenkoesomo, menggelar perayaan dan peluncuran buku Soembangsih:Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-20 Mei1918. Dalam buku itu, Goenawan Mangoenkoesomo menulis, "Bagaimanapun tinggi nilai kebudayaan Islam, ternyata tidak mampu menembus hati rakyat. Bapak penghulu boleh saja supaya kita mengucap syahadat, "Hanya ada satu Allah dan Muhammad-lah Nabi-Nya", tetapi dia tidak akan bisa berbuat apa-apa bila cara hidup kita, jalan pikiran kita, masih tetap seperti sewaktu kekuasaan Majapahit dihancurkan secara kasar oleh Demak," tulisnya.

Gerakan Theosofi di Indonesia meninggalkan jejak sejarah yang panjang di negeri ini. Beberapa tokoh yang dikemudian hari menjadi elit nasional di negeri ini, tak lepas dari persentuhannya dengan aliran kebatinan Yahudi ini. Baik sebagai anggota resmi, ataupun sekadar berinteraksi dengan kelompok ini. Pada masa lalu, untuk mengenang keberadaan Gerakan Theosofi, beberapa tempat di Jawa, menggunakan nama-nama dari tokoh Theosofi. Seperti Blavatsky Park di Batavia, Olcott Park di Bandung, dan Besant Square di Semarang. Nama-nama itu merujuk pada tokoh-tokoh Theosofi: Madame H.P Blavatsky, Henry Steel Olcott, dan Annie Besant.

Sejawaran Universitas Indonesia, Harsja W. Bachtiar menggambarkan tentang apa dan siapa Gerakan Theosofi itu. Dalam sebuah tulisan mengenai Moh. Amir, tokoh Jong Sumatrenan Bond (JSB) yang juga anggota Theosofi, Harsja menulis, "Theosophical Society (Perkumpulan Theosofi), yang dicipta oleh Madame H.P. Blavatsky, seorang bangsawan Rusia, dan Henry Steel Olcott, seorang penganut kebatinan, di New York tahun 1875, dan yang kemudian dipimpin oleh Annie Besant, berusaha mencari kearifan Tuhan, ajaran-ajaran kebatinan seperti Karma dan Reinkarnasi, menyatukan sekalian agama, dan menyatukan agama dan ilmu pengetahuan,"tulisnya.

Harsja W. Bachtiar kemudian menuliskan bahwa beberapa orang yang dikemudian hari menjadi elit nasional masuk menjadi anggota perkumpulan Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah perkumpulan yang didirikan oleh Gerakan Theosofi. Mereka adalah Mohammad Hatta, Djamaluddin Adinegoro (tokoh pers Indonesia), Mohammad Jamin (tokoh Jong Sumatrenan Bond), dan Bahder Djohan (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada kabinet Natsir dan Wilopo). Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota Dienaren van Indie selain yang disebutkan oleh sejarawan Harsja W. Bachtiar tersebut adalah, Siti Soemandari (tokoh perempuan Indonesia), Ki Sarmidi Mangoensarkoro (tokoh pendidikan Indonesia), Prof. Soepomo (salah seorang perumus UUD 45), dan Prof. Soekanto (tokoh kepolisian Indonesia).

Perkumpulan Dienaren van Indie yang dipimpin oleh tokoh Theosofi Ir. A.J.H van Leeuwen memberikan beasiswa pendidikan (studie fond) kepada tokoh-tokoh tersebut. Untuk menyatakan keanggotaan mereka, pada nama belakang mereka harus dicantumkan huruf "DI" sebagai tanda dari perkumpulan ini. Anggota Dienaren van Indie yang paling mencolok kiprahnya diantaranya adalah Mohammad Tabrani, tokoh Jong Theosofen (Pemuda Theosofi) yang menjadi penggagas Kongres Pemuda Indonesia pertama pada 1926. Kongres ini diselenggarakan atas biaya kelompok Freemason dan diadakan di loji milik Freemason di Batavia. Loji ini juga sering dijadikan tempat berkumpul para anggota Theosofi, mengingat dua organisasi ini memiliki kesamaan tujuan, yaitu menjadikan paham humanisme sebagai doktrin tertinggi dalam kehidupan. Pada masa lalu, kebanyakan mereka yang menjadi anggota Theosofi, juga menjadi anggota Freemason.
 
Sosok yang paling menarik perhatian dari anggota perkumpulan Dienaren van Indie adalah Mohammad Hatta. Dalam buku "Gerakan Theosofi di Indonesia" penulis menyatakan, Hatta setidaknya pernah bersentuhan dengan organisasi ini atau setidaknya berusaha dijerat untuk masuk sebagai anggota Theosofi.

Hatta bersentuhan dengan Theosofi dalam arti beliau pernah menjadi anggota Dienaren van Indie dan mendapat beasiswa dari perkumpulan ini. Persentuhan Hatta dengan Theosofi melalui tokoh bernama Ir. P Forunier dan Ir. A.J.H van Leeuwen. Sedangkan mengenai usaha menjerat Hatta masuk sebagai anggota Theosofi bisa dilihat dari buku otobiografinya. Dalam buku berjudul, "Mohammad Hatta untuk Negeri" ia menuliskan pengalamanya yang berusaha dibujuk masuk untuk menjadi anggota Theosofi.

 

Newer Post Older Post Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds