Tuesday, October 29, 2013

Fakta Dunia "PERIODE AWAL PARTAI KOMUNIS INDONESIA 1914-1926 - PART 3"

http://massandry.blogspot.com
1920-26. Mendekati Bencana
Awal tahun 1920-an merupakan periode kekalahan yang dialami gerakan kaum buruh, baik di Indonesia maupun di tingkat internasional. Pemogokan besar dikalahkan, dengan puncaknya kalahnya pemogokan buruh kereta api pada tahun 1923 - di mana VSTP sebagai pejuang garis depan gerakan serikat buruh mengalami kehancuran. Periode liberalisme "etis" jelas telah berakhir. Dalam periode ini semua pemimpin PKI berbangsa Belanda diusir, diikuti oleh pengusiran para pemimpin pribumi yang penting (khususnya Semaun dan Tan Malaka).

Indonesia terlalu jauh dan tak terjangkau bagi intervensi efektif Komintern. Fokusnya diarahkan kepada Cina, yang dianggap lebih menguntungkan. Dengan cepat, kekuatan organisasional dan momentum yang terbangun di masa ISDV, digabung dengan pemehaman yang tidak lengkap atas program-program kelas buruh, kemudian berubah menjadi tendensi yang condong kepada isme ultra kiri dan juga sektarianisme, yang berkembang di kalangan para pemimpin yang tersisa (Pimpinan ini selalu berobah akibat orang-orangnya sering ditahan dan diusir).

Perdebatan utama di Konferensi Kedua Komintern tentang revolusi kolonial gagal menerangkan situasi bagi PKI, terutama karena terpisah dari intenasional itu. Tentang orientasi kepada gerakan nasionalis, banyak yang merasa bahwa pendapat Lenin tidak bisa diterapkan di Indonesia akibat lemahnya borjuasi nasional, dan tidak usah diperhatikan. Di sisi lain, PKI tidak puas dengan sikap Komintern terhadap gerakan Pan-Islam, yang terhadapnya SI berasosiasi. Posisi Komintern bersifat kesahabatan terhadap buruh dan petani yang menganut Islam, tetapi melawan gerakan Pan-Islam karena dianggap sebagai instrumen imperialisme Turki, pemilik tanah luas dan ulama di negara Islam.

Memang betul bahwa dari sudut pandang ini SI merupakan suatu yang kontradiktif. Sayap kanan kelas menengah secara buka memihak dengan imperialisme Turki dan Jepang. Di lain pihak massa Islam mendukung SI sebagai mesin perjuangannya. Asal bersenjata dengan pendekatan yang seimbang dan pemandangan yang luas dan sabar, dengan kegagahan dalam perjuangan dan pemeriksaan setiap tahap perjuangan, sebenarnya tidak mustahil kaum komunis memecahkan khayal tentang Pan-Islamisme, yang meraja terutama di tengah kaum petani.

Pemimpin pemimpin PKI hanya memperdulikan kekhawatirannya bahwa sikap Komintern akan digunakan oleh musuh-musuh mereka untuk mengasingkan PKI dari massa. Mengganti taktik menjadi perspektif, sikapnya pasif atau hanya mau mempertahankan posisinya, secara sepenuhnya keliru, menemukan "identitas" antara antara Islam dan Komunisme. (Dan karena sangat terkesan dengan kesuksesan Gandhi di India, hingga tahun 1924 PKI mengutarakan hormat kepada pasifisisme borjuis). Campuran impresionistik yang tidak seimbang antara sektarianisme dan penyerahan diri secara politis kepada tendensi borjuis nasionalis ini, lebih lanjut menghambat kemajuan level politis bagi para kader di dalam PKI sendiri. Dibuktikan juga bahwa dekat sekali pikiran ultra kiri dan oportunisme, tidak dengan sengaja diarahkan ke sana, tetapi dalam kasus PKI, hal ini merupakan konsekuensi dari ketidakmampuan partai itu untuk mengembangkan kepemimpinan Marxis yang memiliki pemahaman dialektis mengenai situasi yang terus bergulir.

Meksipun kelemahan ini, pada tengah tahun 20 an PKI muncul sebagai organisasi yang terkemuka dalam perjuangan massa. Bagaimanapun, posisinya yang kuat itu jadi malah menutupi posisinya yang lemah tidak kukuh secara keseluruhan, yang oleh kepemimpinannya gagal terlihat. Kenyataannya zaman itu bersifat reaktioner, mengikuti kekalahan yang dialami oleh kaum buruh di Indonesia, dan di tingkat internasional. Pemerintah kolonial melakukan pengetatan yang kejam bertujuan menghancurkan gerakan revolusioner, yang pertama pecah adalah kepemimpinan SI yang "moderat". Dalam situasi penekanan ini PKI, lebih kuat orgnisasinya, bisa bertahan lebih lama beberapa tahun sebagai organisasi massal; namun peran kepemimpinannya mulai carut marut, merefleksikan turunnya suasana di dalam perjuangan secara umum dan bukan situasi penuh ledakan revolusioner.

Akan tetapi kenyataan ini tidak diperhatikan. Sementara anggota kepemimpinan yang lebih maju membahas kemungkinan perang antara Jepang dan Amerika akan menyebabkan situasi revolusioner di Indonesia, perspektif itu tidak dipakai sebagai analisa bagi partai seluruhnya, atau sebagai petunjuk strategi dan taktik. Pengertian perlunya persiapan revolusioner kurang, dan pada kenyataannya kurang pula pengertian atas revolusi sebagai akibat perkembangan obyektif. Tugas partai dimengertikan secara voluntaristik, yaitu keinginan revolusioner dianggap paling penting, dan revolusi dimengerti sebagai putsch (pemberontakan bersenjata). Mulai tahun 1924 ada bagian pimpinan, yang berkeyakinan bahwa "tidak ada waktu tersisa lagi", bertekad mengikuti jalur ini dengan harapan bahwa contoh yang mereka beri akan menyalakan pemberontakan umum.

Akhirnya ramalan revolusi akan terjadi dalam waktu singkat, dalam beberapa pengertian, menjadi terbukti sendiri, yang sebetulnya proses ini mencerminkan keterbelangkangan daerah pedesaan. Para petani, bahkan banyak buruh yang kurang berpengalaman, mudah memberontak. Mereka amat siap untuk beraksi secara militan, namun, dalam kekalahan dengan kecepatan sama mereka menjadi apatis dan jatuh ke dalam demoralisasi. Agitasi revolusiner yang kurang tajam, didasarkan pengertian yang keliru dan kurang realistis, yang terdiri dari janji-janji utopis dan ancaman terhadap mereka yang memusuhi, dapat menegakkan gelombang perjuangan secara lokal di tengah kekalahan yang lebih luas. Tetapi metode macam begitu - hasil dari semangat revolusioner yang membara sekaligus juga ketidaksabaran - adalah amat sangat berbahaya. Pada pertengahan tahun 1920-an menjadi mungkin bagi ototritas partai untuk menghasut gerombolan bekas anggota PKI yang kecewa di berberapa daerah. Di sisi lain, gairah revolusioner yang menggelora tercipta di beberapa bagian anggota awamnya, menyebabkan pimpinan merasa ditekankan segera "beraksi".

Akibat berantainya pimpinan yang kurang berpengalaman dengan cepat kehilangan kontrol terhadap gerakan yang dibangkitkannya sendiri, dan berkeyakinan bertindak dengan lebih cepat lagi merupakan satu-satunya solusi yang ada. Mereka melaju makin cepat, sampai kecelakaan tak terelakkan.

Dua aspek dari proses ini masih penting bagi kita sekarang: perjuangan antara pimpinan PKI dan SI; intervensi terhadap situasi yang berlangsung, yang dilakukan oleh para pemimpin yang diasingkan dan juga oleh Internasionale.

Pada tahun 1918-19, selama berlangsungnya kebangkitan perjuangan massal, aliran Semarang mengalami kemenangan-kemenangan politis yang penting terhadap sayap kanan SI. Pada tahu 1921 sayap kanan begitu sengit sampai siap mengejar dan mengusir anggota komunis, walaupun diperingatkan bahwa hal itu mungkin menghancurkan SI (akhirnya nyata). Hal itu menggiring terjadinya perpecahan cabang SI itu menjadi cabang "SI Merah" dan "SI Putih". SI Putih, yang berdasarkan agama dan jelas-jelas menentang adanya perjuangan radikal, tidak mendapat dukungan massa, dan segera hancur. PKI kemudian memberi nama baru bagi SI Merah menjadi Sarekat Rakyat pada puncaknya beranggota 60,000 orang.

Lagi-lagi, kebijakan yang tidak jelas yang dilakukan oleh PKI menggiring terjadinya akibat yang kontradiktif. Dalam pengertian dan tujuan apapun, Sarekat Rakyat merupakan bagian PKI, tetapi jumlah anggotanya jauh lebih besar, dan membanjiri PKI dengan suasana populisme radikal. Pada saat bersamaan, sementara mengahangi perkembangan kader, eratnya ikatannya SR dengan partai terbukti menjadi rintangan bagai partai untuk meraih dukungan massa yang lebih luas - ratusan ribu atau jutaan orang tidak siap untuk bergabung ke dalam apa yang mereka lihat sebagai PKI.

Kominern mendesak PKI untuk memisahkan SR dari partai, dan SR mengarahkan SR di bawah "kepemimpinan itelektual" partai dari pada menempatkannya langsung di bawah kontrol dewan pengurus, dan mendesak untuk memastikan bahwa program-programnya mencerminkan aspirasi massa dan bukan himbauan kepada elemen-elemen yang lebih maju semata. Sneevliet dan pemimpin Belanda lain menegaskan perlunya bersatu lagi dengan SI kalau mencari dukungan massal. Kalau menyisihkan hal ini sekarang, sudah jelas pentingnya arti ungkapan pimpinan kaum buruh dalam perjuangan nasionalis.

PKI tidak mampu menangani persoalan jauh ke depan. Kepemimpinannya tampak mengalami kesulitan membedakan orientasi praktis terhadap gerakan nasionalis dengan konsensi-konsesi politik bagi nasionalisme, dan kacau konsepnya mengenai seluruh gerakan nasionalisme dikuasai oleh Komunisme. Indepensi politis dari gerakan nasionalis, dengan logik yang aneh, berarti "perang total" melawan para pemimpin nasionalis. Oleh karena itu semua kesempatan berpropaganda dalam partai lain dari zaman ISDV, dan dari taktik front bersama (SI), semuanya hilang. Di tengah massa, tak diragukan lagi adanya keinginan kuat yang tersebar luas untuk mengakhiri perselisihan di antara para pemimpin. Akan tetapi para pemimpin PKI dan SI tidak mungkin setuju mengenai aksi bersama tanpa segera kemudian saling berpisah kembali di dalam suasana sengit. Hal ini melemahkan perjuangan massa keseluruhan dan Pdan lebih gawat situasi PKI karena gerakan massal berkurang, dan makin keras serangan pemerintah.

Apakah peran kelas buruh dalam kejadian-kejadian ini? Pada awalan tahun 1920-an PKI meraih pimpinan serikat buruh kerah biru. Berberapa bagian kaum buruh diorganisir, misalnya buruh dok dan pelaut (hal ini dimulai oleh pemimpin serikat pelaut yang diusir ke Belanda, yang berusaha komunikasi dengan Indonesia). Namun kemajuan-kemajuan ini, lagi-lagi, terjadi pada saatnya kemunduran gerakan buruh umumnya, dan jumlah anggotanya tidak kunjung bertambah. Pengaruh kaum buruh yang begitu kecil tidak dapat memukul kembali tekanan-tekanan yang terjadi terhadapnya, terutama yang berasal dari desa-desa, hal ini mendorong pimpinan partai terjerembab ke dalam advonturisme. Kaum buruh masih amat baru, dan terlalu dekat dengan pedesaan, dan oleh karena itu tidak kuat kesadaran politis yang kuat mendasarkan sikap independen. Kaum buruh berkecenderungan ikut terpengaruh suasana massa umumnya.

Keputusan PKI Desember 1924 untuk menyiapkan pemberontakan disertai keputusan menguatkan basis proletarnya - tetapi hanya supaya menyiapkan kekuatan pemberontakan yang lebih disiplin. Kejadian itu sebaiknya disertai pemogokan umum. Sebab suasana militan sekali, pemogokan terjadi tanpa direncanakan dan dikalahkan dengan tuntas. Semua ini menunjukkan kontrol kelas penguasa tetap ada, dan di segi lain kontrol pimpinan PKI lemah atas serikat buruh, bahkan serikat yang markasnya di gedung PKI. Akibat berantai dari kejadian ini adalah represi makin ketat dan PKI terpaksa menjadi gerakan bawah tanah. Semua kesempatan mengorganisir gerakan baik di kota maupun di desa hilang, akan tetapi aliran pro berontakan tambah kuat tekadnya bahwa "tak ada alternatif lain kecuali penyerahan atau pemberontakan".

Pemimpin pemimpin yang diasingkan memiliki pemahaman yang lebih jernis atas situasi yang berlangsung, tetapi tanpa pengaruh efektif. Semaun, saat itu berada di Belanda, terperangkap dalam persengketaan dan manuver-manuver organisasional melawan Sneevliet dan bekas pemimpin PKI lain yang berkebangsaan Belanda, membangkitkan tuduhan terhadap dominasi bangsa Belanda dan mengedepankan "masalah nasional" untuk menentang usaha-usaha mereka melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan PKI di Belanda. Semaun memperingatkab adanya bahaya "putsch" di Indonesia, tetapi pada saat hal itu terjadi ia malah menyambutnya sebagai "satu pemberontakan besar" yang akan meluas. Pendapat Tan Malaka di Cina jauh lebih terang. Ia tidak cuma secara konsisten memperingatkan bahayanya aliran ultra kiri, namun juga berjuang secara aktiv melawannya, dan sebagian pimpinan menyetujui pendapatnya, dan mulai membentuk blok melawan faksi pro pemberontakan. Selama tahun 1926 badan exekutif PKI mengikuti aliran Tan Malaka dan Komintern, tetapi situasi terlanjur sudah di luar kontrol, dan sakumpulan ranting liar meluncurkan pemberontakan pada akhir tahun 1926. Tak terelakkan hal itu dimusnahkan dengan telak.

Sampai tahun 1926, walaupun sudah mulai suasana kontra revolusi di Rusia, bagi Komintern tidak ada alasan merobah sikap umum terhadap Indonesia. Sampai saatnya pemberontakan Komintern tetap memperingati PKI untuk melawan adventurisme, dan menegaskan kepada PKI tentang perlunya membangung basis massa di dalam gerakan kemerdekaan nasional secara luas. Namun demikian, pada saat itu, kepentingan pemimpinan Stalinist mulai mendikte jalan baru. Dalam perjuangannya melawan oposisi kiri, dengan segala cara aliran Stalinis membenarkan penyerahan oportunis PK Cina kepada Kuomintang. Pemberontakan yang sia-sia di Indonesia itu disambut sebagai "lompatan kualitatif" yang khas, dan tanggapan itu menandai tahap baru dalam kemerosotan pimpinan Komintern: dari mengutuk rencana pemberontakan yang prematur pada awalnya, kini Komintern berganti posisi memberi dukungan yang sama sekali tidak kritis bagi terjadinya "perang sipil terbuka" di Indonesia, yang, menurut Komintern, menyebar dari Cina!

Kejadian ini menandai beloknya Kaum Stalinis kepada aliran ultra kiri di seluruh dunia. Untuk menyelubungi khianat oportunisnya, mereka mulai mencari-cari situasi yang sangat genting kemungkinan revolusi di mana saja, kecuali di situasi yang nyata penuh kemungkinan revolusioner. Satu tahun kemudian (1927) giliran buruh Shanghai yang dikhianati dan dikalahkan. Bagi gerakan buruh Indonesia, belokan itu mencegah kesempatan mengimbangi pengalaman dan memperbaiki kekeliruan periode itu dalam rangka kerja Komintern. Serentak itu kontak antara Oposisi Kiri dan Indonesia sama sekali putus. Sneevliet meninggalkan Oposisi Kiri, dan melemahkan perkembangan Trotskyisme di Belanda, dan hilang kesempatan terjadinya intervensi Marxis di Indonesia.

Dengan kekalahan pemimpin pemimpin Islam oleh pihak komunis dan kemudian kekalahan yang dialami PKI, hal itu menyebabkan kekosongan politis. Kelowongan itu diisi oleh angkatan baru pemimpin yang berasal kelas menengah yang mendasarkan diri mereka pada doktrin barunya, yaitu nasionalisme sekuler berprogram persatuan perjuangan semua suku bangsa yang mendiami pulau-pulau di Indonesia untuk melawan penjajahan Belanda. PKI muncul kembali dalam gelombang perjuangan baru, sebagai oragnisasi massa yang lebih besar dari sebelumnya. Masih cedera akibat kejadian tahun 1920-an dan 1930-an, parti ini nyaris tidak punya kaitan dengan Marxisme revolusioner. Kaum Marxis di Indonesia masa kini perlu mempelajari lagi periode ISDV dan tahun awalan PKI, untuk menemukan lagi akar gerakan revolusioner di negara ini - salah satu gerakan yang terpenting di dunia kolonial - sebagai bagian esensial dari persiapan yang perlu untuk menghadapi letusan sosial yang tak terelakkan.

Newer Post Older Post Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds