Fakta Dunia "KELOMPOK MNLA - PEJUANG KEMERDEKAAN MALI UTARA"
http://massandry.blogspot.com
Timbuktu. Itulah nama dari sebuah kota termashyur yang terletak di Mali, suatu negara di Afrika barat. Agak ironis untuk mengetahui bahwa jika di masa lalu kota tersebut terkenal sebagai salah satu kota perdagangan yang ramai, maka di masa kini kota tersebut lebih dikenal sebagai kota miskin yang dicabik oleh konflik. Dan dalam konflik yang penyelesaian akhirnya masih belum jelas itu, tersembullah nama MNLA sebagai salah satu peserta konflik. Siapa itu MNLA & kenapa mereka bisa ikut terlibat dalam konflik di Timbuktu?
MNLA atau lengkapnya Mouvement National pour la Liberation de l'Azawad (Gerakan Nasional untuk Kemerdekaan Azawad) adalah kelompok bersenjata yang memiliki cita-cita untuk memerdekakan Azawad, wilayah di Mali utara yang mencakup provinsi Timbuktu, Gao, & Kidal. Pendiri sekaligus pemimpin tertinggi dari MNLA adalah Bilal Ag Acherif, seorang mantan pemberontak Mali pada medio 90-an. Pertama kali terbentuk pada bulan Oktober 2011, MNLA mulai menyita perhatian dunia setelah sejak awal tahun 2012 mereka terlibat konflik dengan tentara nasional Mali. MNLA menganut ideologi sekuler & keanggotaannya didominasi oleh etnis Tuareg.
Latar Belakang Pembentukan
Peta lokasi dari Azawad, Mali utara.
Tuareg adalah nama dari kelompok etnis yang mendiami daerah Mali utara & terkenal dengan pola hidup mengembaranya (nomaden). Namun saat Prancis mulai menguasai daerah Mali, orang-orang Tuareg mulai banyak yang meninggalkan pola hidup nomadennya & hidup di kawasan perkotaan Mali utara. Saat Mali merdeka, orang-orang Tuareg merasa dipinggirkan karena etnis mereka tidak ikut dilibatkan dalam aktivitas pemerintahan. Tak hanya itu, orang-orang Tuareg juga merasa kalau kebijakan reformasi lahan dari pemerintah pusat Mali bakal mengancam kepemilikan lahan tradisional mereka.
Sikap tidak setuju orang-orang Tuareg terhadap pemerintah pusat Mali akhirnya memuncak menjadi pemberontakan pada tahun 1963, namun pemberontakan tersebut berhasil ditumpas secara brutal dalam waktu singkat. Begitu brutal & berdarahnya penumpasan yang dilakukan sampai-sampai Kapten Diby Sillas Diarra - pemimpin pasukan Mali saat menumpas pemberontakan - mendapat julukan "jagal dari Kidal" (Kidal adalah nama provinsi di Mali utara). Undang-undang darurat militer juga diberlakukan di Mali utara & penduduk sipil dilarang memasuki daerah tersebut sehingga sebagai konsekuensinya, penduduk Mali utara pun jadi semakin terisolasi & terpinggirkan.
Memasuki dekade 70 & 80-an, Mali utara dilanda kekeringan hebat sehingga orang-orang Tuareg setempat terpaksa mengungsi ke negara-negara sekitarnya, salah satunya ke Libya. Mereka yang mengungsi ke Libya lantas ada yang direkrut oleh pemerintah setempat untuk menjadi anggota kelompok milisi "Legiun Islam". Dengan modal senjata & pelatihan tersebut, orang-orang Tuareg lantas kembali melancarkan pemberontakan di Mali utara pada awal dekade 90-an. Pemberontakan tersebut berakhir pasca perundingan damai yang dilakukan di Aljazair pada tahun 1992, namun kondisi Mali utara sendiri tetap tidak mengalami perubahan berarti & aksi-aksi pemberontakan berskala jauh lebih kecil tetap berlangsung hingga beberapa tahun sesudahnya.
Logo dari MNLA. (Sumber)
Awal tahun 2011, pecah perang sipil di Libya antara pemerintah Libya yang saat itu dikepalai oleh Muammar Qaddafi melawan kelompok pemberontak NTC. Orang-orang Tuareg juga ikut serta dalam perang tersebut di mana sebagian membela pihak NTC, sementara sebagian lainnya berperang di pihak Qaddafi. Menyusul berakhirnya perang pada bulan Oktober 2011 dengan kemenangan pihak NTC, orang-orang Tuareg tadi lalu kembali ke Mali sambil membawa persenjataan sisa-sisa perang sipil Libya. Sesampainya di Mali, mereka lalu mendirikan kelompok perlawanan baru yang bernama MNLA dengan tujuan memerdekakan wilayah Mali utara lewat jalur perjuangan bersenjata.
Aktivitas Utama
Walaupun sudah berdiri sejak bulan Oktober 2011, MNLA baru menampakkan aktivitas bersenjatanya pada bulan Januari 2012 ketika mereka menyerang kota Menaka, Aguelhok, & Tessalit di Mali utara. Aksi pemberontakan yang dilakukan oleh MNLA langsung mengundang kekagetan dari dari para pejabat Mali karena dalam sejarah pemberontakan-pemberontakan etnis Tuareg, baru dalam pemberontakan kali ini pihak Tuareg memiliki persenjataan berat yang tidak lain merupakan senjata warisan perang sipil Libya yang dibawa oleh orang-orang Tuareg di Mali utara.
Walaupun terkejut, pasukan Mali toh masih sanggup melawan balik & merebut kembali ketiga kota tadi sebelum pasukan MNLA kembali menguasai ketiga kota tersebut seminggu kemudian. Memasuki bulan Februari, pasukan MNLA memperluas wilayah taklukannya setelah mereka berhasil merebut kota Menaka. Sementara konflik di Mali utara terus berlangsung, timbul aksi protes di Bamako, ibukota Mali, yang mengkritik pemerintah Mali karena dianggap tidak mampu meredam pemberontakan di utara. Dalam aksi protes tersebut, muncul juga aksi-aksi penyerangan terhadap properti milik etnis Tuareg di Bamako.
Aksi protes terhadap pemerintah Mali akhirnya memuncak menjadi kudeta militer pada bulan Maret 2012 di mana kudeta tersebut mendapat kecaman dari dunia internasional. Memanfaatkan situasi tidak menentu di ibukota pasca kudeta & ditarik mundurnya hampir seluruh tentara Mali di utara, MNLA lalu melancarkan serangan ke kota-kota penting di Mali utara seperti Timbuktu, Kidal, & Gao. Memasuki bulan April 2012, seluruh kota penting di Mali utara sudah dikuasai sepenuhnya oleh MNLA & Ansar Dine, kelompok sekutu MNLA yang berideologi Islam garis keras.
Tanggal 6 April 2012, MNLA mendeklarasikan berdirinya negara merdeka Azawad yang wilayahnya mencakup seluruh wilayah Mali utara. MNLA juga mengklaim bahwa mereka tidak akan memperpanjang konflik kalau deklarasi kemerdekaan mereka diakui. Namun, deklarasi kemerdekaan tersebut langsung mendapat penolakan dari pemerintah pusat Mali & dunia internasional. Sementara itu di Mali utara sendiri, orang-orang Arab yang bermukim di Tuareg memutuskan untuk membentuk kelompok bersenjata baru yang bernama Front de Liberation National de l'Azawad (FLNA ; Front Pembebasan Nasional Azawad) karena mereka khawatir akan dominasi dari etnis Tuareg, etnis yang menyusun keanggotaan MNLA.
Selain dengan FLNA, MNLA juga mulai terlibat perpecahan dengan sekutunya Ansar Dine. Perpecahan antara keduanya sebenarnya sempat reda setelah pada akhir bulan Mei 2012, MNLA & Ansar Dine sepakat untuk menjadikan Azawad sebagai negara Islam. Namun konflik antara keduanya kembali pecah setelah Ansar Dine menyatakan kalau mereka ingin menjalankan hukum Islam ke seantero Mali & mengabaikan prospek Azawad sebagai negara merdeka. Setelah melalui pertempuran demi pertempuran, seluruh kota penting yang ada di Mali utara akhirnya berhasil dikuasai oleh Ansar Dine & sekutunya MOJWA - kelompok Islamis yang memiliki kaitan dengan Al-Qaeda - pada akhir Juni 2012.
Perkembangan Terakhir
Walaupun mengalami kekalahan dalam pertempuran melawan Ansar Dine & MOJWA, MNLA masih tetap eksis & para anggotanya yang masih tersisa kini terpaksa menyingkir ke daerah pelosok. Sementara itu di pihak pemenang, Ansar Dine mulai menjalankan hukum Islam secara keras kepada para penduduk lokal & melarang segala macam bentuk hiburan modern seperti musik pop & sepak bola. Para anggota Ansar Dine juga merusak situs-situs bersejarah di Mali utara dengan alasan situs-situs tersebut menjadi sarana penyembahan berhala, namun tindakan Ansar Dine tersebut tak pelak mengundang kecaman dunia internasional.
Untuk menyelesaikan masalah konflik di Mali utara yang semakin berlarut-larut, perwakilan dari MNLA, Ansar Dine, & pemerintah Mali sebenarnya sempat melakukan perundingan di Ouagadougou, Burkina Faso, Afrika barat, pada awal Desember 2012 lalu. Pasca perundingan, perwakilan MNLA mengaku bahwa pihaknya siap melepas isu kemerdekaan jika wilayah Azawad setidaknya bisa mendapatkan otonomi. Sementara itu di luar Mali, PBB juga sudah menyetujui opsi militer untuk mengembalikan stabilitas & keamanan wilayah Mali utara. Mengenai apakah nantinya MNLA bisa bertahan sambil mewujudkan impiannya atau malah akan lenyap akibat intervensi militer pasukan asing, hanya waktu yang akan menjawabnya.