Fakta Dunia "PERIODE AWAL PARTAI KOMUNIS INDONESIA 1914-1926 - PART 2"
http://massandry.blogspot.com
1914-19: Pembangunan Basis Massa
Usaha Sneevliet di Indonesia, yang meletakkan pondasi bagi PKI, ada tiga segi: membentuk nukleus kaum sosialis (dimulai dari para pekerja asing berkebangsaan Belanda); membangun gerakan serikat buruh, dan melakukan intervensi ke dalam gerakan nasionalis.
Atas prakarsa Sneevliet pada tahun 1914 didirikan Persatuan Sosial Demokrat Indonesia (ISDV), yang pada awalnya terdiri dari 85 anggota dua partai sosialis Belanda (Partai Buruh Sosial Demokrat yang berbasis massa di bawah kepemimpinan reformis, dan Partai Sosial Demokrat yang merupakan cikal bakal Partai Komunis, terbentuk setelah perpecahan politik dengan SDAP di tahun 1909)
Sejak mulanya tendensi revolusioner mengendalikan ISDV, sikapnya militan terhadap isu-isu lokal (misalnya, kampanye mendukung seorang jurnalis Indonesia yang diadili karena melanggar hukum pengendalian pers, dan juga mengadakan rapat umum menentang persiapan perang yang dilakukan oleh pemerintah Belanda) dan selain itu ISDV juga melibatkan diri dalam pergerakan nasional. Pada tahap itu orang Eropa anggota ISDV Belanda boleh masuk Insulinde sebagai anggota individual. Pimpinan Insulinde dan Sarekat Islam bersifat kelas menengah, tetapi senang dan bersyukur menerima bantuan dari ISDV, dan hanya kaum sosialis siap membantu pada saat itu.
Namun demikian, tak terelakkan konflik mulai timbul antara kepemimpinan ISDV dan Insulinde, dan juga di dalam ISDV sendiri. ISDV menegaskan bahwa pejuangan melawan penjajahan Belanda harus didukung kaum sosialis, dan menyatakan bahwa hal ini mencakup perjuangan melawan sistem kaptialis. Pimpinan kelas menegah Insulinde (seperti para pemimpin SI kemudian) secara naluriah menolak dengan keras pikiran itu, dan mengedepankan "teori dua tahapan". Dalam ISDV sendiri aliran refomis meninggalkan partai itu di tahun 1916 dan mendirikan Partai Sosial Demokrat Indonesia (ISDP), yang dalam waktu singkat langsung dekat dengan pemimpin kelas menengah nasionalis. Di sisi lain, ISDV makin digemari dan dihormati kaum militan Indonesia karena berani dan berprinsip dalam hal politik lokal. Walaupun diserang para pemimpin nasionalis karena banyak yang berketurunan Belanda, hal ini tidak merupakan rintangan dalam perjuangan membangun organisasi revolusioner, dan merebut dukungan massal.
Banyak masalah sulit yang dihadapi oleh ISDV di periode awal bangkitnya gerakan politik massa ini. Pada 1915-18 penguasa Belanda menanggapi gerakan massa yang tumbuh dengan mendirikan semacam "Volksraad" yang bertujuan membendung militansi massa. ISDV - berlawanan dengan pimpinan nasionalis dan ISDP - pada mulanya memboikot badan ini, tetapi kemudian membatalkan keputusan itu ketika mulai jelas bahwa Volksraad itu dapat dimanfaatkan sebagai medan propaganda revolusioner.
Sneevliet juga memegang peran penting dalam Serikat Staf Kereta Api dan Trem (VSTP), pada saat itu kecil saja, dan sebagian besar anggotanya berkulit putih. Sneevliet mengarahkan VSTP kepada bagian besar buruh yang pribumi, dan pada saat bersamaan berusaha menguatkan struktur organisasinya dengan menegaskan pentingnya pengurusan cabang cabang yang baik, juga konperensi tahunan, penarikan sumbangan anggota, dsb. Dalam jangka waktu singkat anggota serikat ini menjadi dua kali lipat, dan sebagian besar pribumi. Kesuksan VSTP meraih hormat bagi gerakan sosialis, dan memungkinkan Sneevliet merekrut para aktivis buruh ke dalam ISDV. Yang terpenting di antaranya adalah Semaun, seorang pemuda buruh perusahaan kereta api yang pada tahun 1916 (saat berusia 17 tahun), menjadi kepala Serikat Islam di Semarang, dan di kemudian hari menjadi tokoh penting dalam PKI.
Untuk membedakan pemkembangan era itu dari situasi di negara negari bekas jajahan di masa sekarang, dua aspek yang berlawanan sebaiknya diperhatikan, yang pertama lemahnya kaum buruh di Indonesia, dan yang kedua, perkembangan kuat gerakan buruh di tingkat internasional dan diterimanya secara tuntas ajaran marxis dan sosialis. Kondisi kelas buruh Indonesia di saat itu hanya bisa dibandingkan dengan kondisi kelas buruh di negara paling terbelakang sekarang ini, dan saat bersamaan kelas buruh itu dijajah oleh kekuatan imperialis yang maju, bukan rezim Bonapartis yang lemah atau tidak kukuh pemerintahnya.
Liberalisme Belanda tidak mendorong perjuangan buruh. Pemogokan dibalas dengan PHK massal, pembuangan para aktivis ke pulau-pulau terpencil, dan tindakan apa saja yang perlu untuk menghancurkan gerakan buruh. Dalam periode itu jarang sekali pemogokan buruh menemui kesuksesan, dan tidak mungkin berhasil memengaruhi perjuangan luas. Dilawan oleh majikan yang kuat, terbatas kemungkinan memajukan kondisi kaum buruh lewat perundingan.
Meskipun demikian gerakan serikat buruh bertahan dan berkembang. Kenyataan ini hanya bisa diterangkan dengan kekuatan dan daya tahan kaum buruh, dengan tumbuhnya jumlah dan pengalaman kaum buruh, dan di pihak lain, diterangkan oleh kenyataan bahwa perjuangan serikat buruh] tidak dapat dipisahkan dari perjuangan yang lebih luas yang dilakukan oleh rakyat Indonesia dalam melawan penindasan dan penghisapan pemerintah Belanda.
Pasa saat bersamaan, waktu itu gerakan kaum buruh di Belanda dan dunia internasional mempunyai kewibawaan yang tinggi bagi massa kolonial jauh melebihi situasi sekarang, akibat khianat yang bertumpu dari Stalinis dan Reformis. Hal tersebut menambahkan nilai penting gerakan buruh pada waktu awalnya. Dengan gerakan kaum nasionalis sendiri masih belia, para pemimpin buruh dan kaum sosialis berbangsa Eropa dapat terlibat dalam debat setingkat dengan para pemimpin nasionalis.
Meskipun demikian situasi selalu dipengaruhi oleh pentingnya kaum petani. Tidak mungkin suatu gerakan dapat berharap dirinya mempunyai pengaruh di tingkat nasional tanpa ia mampu menarik kaum petani. Sebagian besar kaum petani tetap mengikuti adat dan agama, kelihatannya pasif kalau ditindas, pemandangannya terbatas oleh kepentingan dan masalah kehidupan desa, tidak dapat diharapkan menunjang program sosialis dengan pemikiran yang termaju. Kaum petani hanya bisa memihak segi program sosialis yang merefleksikan kepentingan kaum tani sendiri, dan memihak perjuangan militan yang membantu tuntutan itu. Namun dukungan seperti itu juga biasanya sporadis, ekspolsif, dan tidak lengkap, selaras dengan karakter kaum tani sendiri - yaitu suatu kelas yang heterogen, produsen kecil yang terisolir, dan yang menurut kepentingan sendiri. Oleh karena itu kaum petani mungkin memihak kaum buruh, tetapi juga mungkin memihak demagogi kaum nasionalis, mistik agama atau aliran lain yang menawarkan pemecahan segera bagi persoalan kongkrit yang mereka hadapi.
Faktor lain yang penting di Indonesia, sebagaimana juga hal ini terjadi di dunia kolonial secara umum, ialah kelas menengah yang berpendidikan dan berharta milik - meskipun kecil, mereka ini adalah kekuatan yang signifikan. Kelas menengah juga sulit memihak program kaum buruh karena hanya bergerak di bidang politik untuk menahan kepentingan sendiri kepentingan borjuis, meskipun bertentangan dengan imperialism. Perjuangan bersama mungkin dilakukan antara kelas buruh dan kelas menengah hanya karena keduanya menghadapi musuh imperialisme, tetapi tujuan fundamenatal dan metode kelas menengah berbeda dengan tujuan dan metode kelas buruh. Kelas menengah, atau bagian-bagian darinya, dapat meninggalkan pemikiran bersifat utopis dan dan program reaksioner mereka hanya sebab mereka akhirnya mulai insaf bahwa tidak ada pilihan lain yang praktis, namun kemungkinan ini akan lama prosesnya serta sangat kontradiktif dengan kelas menengah sendiri. Mulanya kelas menengah akan berkembang secara terpisah dari gerakan kelas buruh dan, karena menyuarakan keluhan semua lapisan yang tertindas, mereka bisa memperoleh dukungan massal. Karena berpendidikan dan agak makmur, mereka agak jauh dari kehidupan orang biasa, tetapi oleh karena itu pula mereka makin yakin dan pandai, dan makin wibawa di mata kaum petani dan sebagian kaum buruh yang terbelakang.
Faktor ini dan faktor-faktor lainnya menerangkan pengaruh nasionalisme bersifat kelas menengah di dunia penjajahan. Yang paling penting ialah peran pemimpin nasionalis memusatkan tuntutan ke isu yang bisa didukung dengan penuh hati oleh kaum buruh dan petani, yaitu isu kemerdekaan nasional. Sebaiknya diperhatikan bahwa hanya dari sudut pandang Marxisme dan revolusi permanen-lah kaum buruh dan pemimpinannya akan menyadari peran kepemimpinan mereka dalam perjuangan ini, yang jika dipandang sepintas lalu perjuangan ini kelihatannya lebih luas dari perjuangan konkret kaum buruh. Karena pemimpin nasionalis timbul sebagai pemimpin perjuangan kemerdekaan, program sosialis terlihat sebagai semacam tambahan yang menempeli tujuan utama, yaitu sebagai sesuatu yang bisa ditunda, atau diberi dukungan hanya sebagai tujuan yang masih jauh.
Secara praktis, kaum sosialis hanya bisa memperoleh dukungan massa dengan membuktikan kecakapan menanggulangi soal-soal riil dengan mengungguli pemimpin nasionalis, dan dalam usaha ini perlu membuktikan programnya sebagai partai gerakan kemerdekaan. Untuk memperlihatkan sikapnya perlu mendirikan barisan bersama dengan orang nasionalis dalam perjuangan kemerdekaan berdasarkan kesatuan dalam aksi, sambil terus mempropagandakan ide-ide dan program sendirinya. Selaras itu Lenin dan Konperensi Komintern Kedua menerangkan kebijakan partai-partai Komunis terhadap "nasionalisme revolusioner".
Di segi lain harus dijelaskan bahwa di era kolonialisme usaha bersama tidak cukup mengatasi soal soal yang diderita rakyat yang sedang dijajah. Hanya kaum buruh yang mendirikan sosialisme yang dapat memecahkan soal itu. Dari sudut pandang obyektif, nasionalisme memainkan peran progresif karena bertentangan dengan imperialisme dan memeprlemahnya dengan membangkitkan massa untuk terlibat dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Akan tetapi karena bersifat kelas menengah nasionalisme ini tidak stabil dan mungkin membalik sikapnya dengan timbulnya ketegangan antara kaum buruh dan sistem borjuis. (Proses pembedaan kelas ini sudah mencapai puncaknya di India dan Kenya, yang kemimpinan anti kolonialnya, karena bersifat kelas menengah, sudah merobah menjadi rejim neo kolonial yang reaksioner yang menindas massa buruh dan taninya). Persekutuan antara kaum buruh dan kelas menengah di masa perjuangan kemerdekaan nasional mesti penuh prasyarat hubungan - yaitu hanya bisa berupa korelasi kekuatan yang temporer di mana gerkan kelas buruh yang revolusioner selalu berusaha menegakkan kepemimpinannya dalam perjuangan seluruhnya.
Jadi, pada umumnya, beginilah hubungan yang timbul akibat sikap ISDV terhadap Insulinde, dan lebih penting lagi, terhadap SI. Bagian Semarang Serikat Islam, yang memihak ISDV, sudah muncul sebagian oposisi pimpinan nasional, mulai mengajukan tuntutan sosial yang kongkrit, menuntut perjuangan melawan kapitalisme, dan lebih tegas tentang isu-isu praktis. Jumlah anggota bagian Semarang ini naik dari 1,700 pada tahun 1915 menjadi 20,000 pada tahun berikutnya, dan menjadi salah satu daerah SI yang terkuat. Usaha-usaha yang dilakukan oleh kepemimpinan Si untuk menghancurkan "aliran Semarang" semuanya gagal. Dengan begitu, mereka hanya dapat mencabut ide-ide sosialis dari SI dengan cara menghancurkan SI sendiri - suatu langkah yang akhirnya terpaksa mereka lakukan.
Walaupun makin berpengaruh, ISDV - seperti PKI kemudian - tetap merupakan organisasi kecil. Jumlah anggota ISDV naik dari 103 tahun 1915 (dengan hanya tiga anggota pribumi) menjadi 330 di tahun tahun 1919 (300 pribumi). Dalam arti ini ISDV menjadi partai kader - partai para aktivis dan pemimpin yang kuat dukungan di serikat buruh, di perkotaan, dan juga pedesaan. Orientasi kelas ISDV paling jelas terrefleksi dalam kedudukannya yang kuat di dalam gerakan serikat buruh. Ferderasi pertama serikat buruh, didirikan pada tahun 1919, terdiri dari 22 serikat, dan anggotanya berjumlah 72,000, dan sebagian menurut ISDV, dan bagian lain memihak pimpinan nasional SI. Sesudah berberapa tahun kontrol pimpinan SI yang kurang cakap mengalami perpecahan, kecuali di berberapa serikat pegawai (pekerja kerah putih).
Kewibawaan ISDV dicerminkan juga dengan dukungan massa terhadapnya di dalam tubuh SI sendiri. Dengan mengingat populasi Indonesia, jumlah penganut itu merupakan langkah awalan saja yang secara praktis perlu dikonsolidasikan sebagai simpul di setiap daerah yang kemudian menjadi dasar gerakan nasional yang didukung oleh jutaan orang, dengan intinya kader Marxis. Jika kondisi begini sudah tercapai barulah mungkin menempatkan ikhwal perebutan kekuasaan ke dalam agenda partai.
Dalam pengertian perspektif dan teoris, di satu sisi, sebagai organisasi kader ISDV amat lemah. Pengusiran Sneevliet dari Indonesia pada tahun 1918 meninggalkan jurang tak terjembatani di pucuk pimpinan organisasi itu. Tidak ada pemimpin, baik keturunan Belanda maupun pribumi, walaupun trampil sebagai pejuang revolusioner, memiliki pengalaman dan pemandangan marxis yang cukup luas untuk mengemudikan partai secara tepat saat menghadapi tikungan yang tajam dan mendadak.
Potensi revolusioner ISDV yang gemilang pada era itu ditunjukkan tahun 1917-18, saat partai itu segera mendukung Revolusi Rusia dan dengan cepat menarik implikasi revolusi itu bagi revolusi di negara Eropa dan Indonesia sendiri. Belajar dari pengalaman Rusia, ISDV mulai mengorganisir serdadu dan pelaut di Indonesia, dan dengan usaha itu berhasil menarik pengikut sekitar 3,000 orang di angkatan bersenjata Belanda.
Pada akhir tahun 1918, saat Belanda di ambang revolusi, pemerintah kolonial bingung karena kelihatannya mungkin ada perebutan kekuasaan revolusioner di Belanda, dan mungkin sesudahnya di Indonesia juga. Pada saat itu sosial demokrat Belanda kehilangan keberaniannya. Pemerintah kolonial menjanjikan berberapa perbaikan situasi, dan situasi revolusioner reda.
Situasi di Indonesia pada tahun 1918-19 penuh gejolak, karena kisis ekonomi menghantam para pekerja dan timbulkan perlawanan dengan kekerasan di kalangan kaum tani. Kejadian ini melatarbelakangi pertumbuhan ISDV/PKI secara massal, dan juga menyebabkan reaksi dari segi pemerintah. Karena faktor subjektif tidak kuat, pembangunan PKI ditentukan pemerintah kolonial yang makin agresif.