Bacaan Ringan "TUJUH FILM INDONESIA YANG DI LARANG BEREDAR"
http://massandry.blogspot.com
Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!
Lapangan itu penuh manusia. Poster-poster besar terbentang. Tulisannya lugas, PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dan Marhaenisme. Ada lambang banteng dan segitiga. Ribuan kepalan tangan teracung. Teriakan menggema. Satu suara: Hidup Bung Karno!
Di podium, sosok yang dielu-elukan itu melangkah. Tegap dan gagah. Ia tampak berwibawa dengan safari putih dan kopiah hitam. Tangan kanannya teracung. Ia siap berbicara. “Saudara-saudara,” ia membuka suara. Dia mirip sekali Bung Karno, founding father Indonesia.
Kata demi kata dilontarkan memantik semangat. Massa di lapangan itu berkobar, terbakar. Saat sosok itu menutup orasi, ia masih mengacungkan tangannya ke udara. “Ini saatnya kita tunjukkan siapa diri kita!”
Lalu ribuan langkah kaki merangsek maju, menginjak-injak bendera merah-putih-biru. Inilah Indonesia yang bergerak, dan siap menerjang kolonialisme. Sebuah republik muda yang merdeka segera lahir.
***
Itu sepenggal adegan dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka. Sutradara Hanung Bramantyo, yang membesut film ini, tak salah memilih aktor muda Ario Bayu. Ia tampil meyakinkan sebagai Soekarno, dan berhasil menghadirkan kembali sosok si Bung yang garang di podium itu.
“Ario tekun sekali mendalami karakter Bung Karno. Makin lama kami syuting, dia makin menjadi,” ujar Indra Kobutz, asisten sutradara di film itu. Ario memang aktor watak yang sedang go international. Namanya mulai dikenal di Amerika dan Australia.
Dalam adegan film itu, misalnya, Ario berhasil mendidihkan darah nasionalisme penontonnya. Seakan ada Soekarno yang menjelma dalam tubuh Ario. Kewibawaannya, ekspresinya, suaranya. Bahkan caranya mengacungkan tangan. Serupa Soekarno, ia seakan mampu menyihir massa.
Film itu akan tayang di bioskop Indonesia, akhir tahun ini. Ia bahkan dijadwalkan tampil di enam negara di Asia.
Sayang, di tengah proses pascaproduksi, film itu menuai kontroversi. Adalah Rachmawati Soekarnoputri, putri Bung Karno sendiri, yang melayangkan somasi atas film itu.
Padahal mulanya, Rachmawati akur dengan Raam Pundjabi, bos Multivision Plus yang menjadi produser film Soekarno: Indonesia Merdeka. Mereka membuat perjanjian untuk bekerja sama. Rachmawati bahkan membentuk tim khusus untuk ‘mengawasi’ produksi film itu.
“Ini masuk akal, karena sejauh mana gesture Soekarno kan belum ada yang pernah ketemu,” ujar Rachma. Hanung boleh jadi sutradara. Namun Rachma adalah keluarga, lingkup terdekat. Bahkan putrinya sendiri. Ia yang paling tahu sosok ayahnya, dibanding ribuan referensi lainnya.
Di luar dugaan, kerja sama Rachma dan Multivision Plus gugur. Rachma merasa ada poin-poin perjanjian yang disalahi. Menurutnya, Soekarno yang ditampilkan dalam film itu tak sesuai fakta. Baik dari segi penokohan maupun alur cerita.
Rachma tak setuju soal gambaran sosok Soekarno memandang wanita. Ia juga tak sepaham soal pemeran utama. Menurutnya, Ario hanyalah anak muda yang lebih banyak tinggal di luar negeri sehingga tak memahami sejarah bangsanya sendiri. Ia bahkan tak kenal siapa Soekarno.
Meski begitu, produksi film terus berjalan. Hanung sebagai sutradara, merasa telah menjalani semua sesuai prosedur. Lagipula, ia orang kreatif. Punya kepentingan berbeda dalam filmnya.
Ia pernah menyebutkan, film memang harus sedikit ‘lebay’. “Bu Rachma mungkin melihat realitas. Tapi masyarakat melihat image yang besar. Buat saya, sosok Ario Bayu mewakili itu,” ucapnya di tengah syuting terakhir film Soekarno: Indonesia Merdeka.
Belakangan, melalui akun Twitter pribadinya Hanung melontarkan fakta-fakta yang ia temui dalam referensi soal Soekarno. Di antaranya, melalui buku Penyambung Lidah Rakyat tulisan Cindy Adams.
Namun, hingga kini konflik itu masih meruncing. Rachmawati mengembalikan uang Rp200 juta kepada Mutivision Plus. Ia bahkan disebut-sebut akan melaporkan Hanung ke pihak berwajib karena telah mencemarkan nama baiknya. Sayang sekali, film besar itu harus diiringi konflik-konflik internal.
Merunut ke belakang, sebenarnya Soekarno: Indonesia Merdeka bukan satu-satunya film besar yang pernah bermasalah. Ada sederet film lainnya yang sempat menuai kontroversi. Bahkan, ada yang sampai dilarang edar oleh pemerintah Indonesia.
Alasannya, sebagian besar termaktub dalam legislasi yang memayungi berdirinya LSF (Lembaga Sensor Film). Film-film itu menyinggung empat hal utama penyensoran: agama, ideologi dan politik, sosial budaya, serta ketertiban umum.
Akankah Soekarno: Indonesia Merdeka mengulang sejarah, bernasib sama? Rasanya tidak. Film ini diprediksi dapat memenuhi dahaga masyarakat akan sosok patriotis di Indonesia. Menghadirkan kembali ruh Soekarno di tengah kondisi kekinian bangsa. Lagipula, Indonesia sudah berdemokrasi.
Namun, tak ada salahnya belajar dari masa lalu. Mengutip dari berbagai sumber, berikut setidaknya tujuh film besar yang pernah diharamkan untuk beredar di Indonesia. Sebagian karya anak negeri sendiri. Ada juga beberapa hasil potret sutradara asing terhadap negeri ini.
Pagar Kawat Berduri (1961)
Sejatinya, film karya sutradara Asrul Sani ini berkisah soal strategi komunikasi. Latar filmnya menyuratkan kondisi Indonesia sebelum masa kemerdekaan. Tentang para pejuang yang ditawan di kamp Belanda karena nekad menyuarakan revolusi.
Semua berusaha melarikan diri. Tak mudah memang. Penjagaan begitu ketat. Mereka juga dipagari kawat berduri. Namun, Parman (diperankan Sukarno M Noor) punya strategi berbeda. Ia justru berkawan karib dengan seorang perwira Belanda.
Tingkahnya yang serupa penjilat itu membuat Parman dimusuhi kawan-kawan sebangsanya.
Penangkapan Parman yang akhirnya menyadarkan mereka. Rupanya, ia bersahabat dengan perwira Belanda untuk mencari informasi. Suatu ketika, tahulah ia bahwa dua kawannya, Herman dan Toto menjadi incaran bedil Belanda. Parman mendalangi aksi kabur.
Ia membekali kedua kawannya itu catut untuk memotong pagar kawat berduri. Herman berhasil lolos. Toto tertembak. Parman mendapat balasan: dieksekusi tentara Belanda.
PKI (Partai Komunis Indonesia) menuntut Pagar Kawat Berduri ditarik, karena dianggap bisa membuat masyarakat bersimpati pada Belanda. Adalah Soekarno yang berhasil menyelamatkannya. Namun tetap saja, film ini tak boleh beredar. Ia tak pernah merasakan tayang di bioskop Indonesia.
Romusha (1972)
Film ini juga mengisahkan masa penjajahan Indonesia. Bedanya, Romusha memilih latar saat Jepang menjadi penguasa. Jika film ini ditonton masyarakat sekarang, mungkin akan membuat darah mendidih. Pasalnya, Romusha mempertontonkan dengan jelas kekejaman tentara Jepang.
Itu dikisahkan melalui tokoh Rota (diperankan Rofi’ie Prabancana), seorang pribumi yang ditangkap tentara Jepang dengan tuduhan menghasut rakyat. Ia masuk kamp konsentrasi untuk menjalani romusha, kerja paksa ala Jepang. Siksaan demi siksaan ia terima.
Layaknya sapi perah, Rota bekerja siang malam. Banting tulang. Tak ada imbalan kecuali didera siksa.
Film sutradara Herman Nagara ini dilarang edar dengan alasan kekhawatiran mengganggu stabilitas hubungan Indonesia-Jepang. Tak pernah ada protes memang. Namun produser film, Julies Rofi’ie mengaku pernah mendapat keluhan keberatan dari Kedutaan Jepang.
Tak sampai menimbulkan konflik, jalan damai ditempuh. Produser meminta ganti rugi seluruh biaya produksi film yang batal edar itu, beserta bunganya. Sejarah Indonesia pun tak pernah mencatat film ini tayang di bioskop.
Max Havelaar (1976)
Ini film garapan Indonesia dan Belanda. Kisahnya diangkat dari novel Max Havelaar tulisan Multatuli. Nama ini memang kondang di Indonesia. Ia merupakan seorang Belanda yang peduli pada rakyat pribumi. Ia diangkat menjadi asisten Residen Lebak pada zaman penjajahan.
Lantas ia harus menghadapi korupsi. Bukan hanya dilakukan oleh bangsanya, melainkan juga oleh masyarakat lokal yang dipercaya Belanda. Ironis. Mereka meraup upeti dari rakyatnya sendiri, dan menjilat pada penjajah. Nuraninya terketuk.
Sayang, perjuangan Max Havelaar (diperankan Peter Faber) tak mampu melawan kejamnya sistem. Ia akhirnya dipecat, dan dipulangkan ke Belanda.
Dari awal pembuatan, film ini sudah menuai kontroversi. Penyelesaiannya memakan waktu tiga tahun. Sepuluh tahun, ia sempat tertahan di BSF (Badan Sensor Film). Akhirnya, Max Havelaar tayang di zaman Orde Baru. Sekejap kemudian, ia ditarik kembali.
Pembuatan film yang disutradarai Fons Rademakers ini juga melibatkan artis-artis Indonesia. Di antaranya, Rima Melati, Harry Lantho, Nenny Zulaeni, dan Maruli Sitompul. Kini, film ini hanya diputar di beberapa komunitas idealis.
Petualang-Petualang (1978)
Judul aslinya Koruptor-koruptor. Film garapan sutradara Arifin C Noer ini mengisahkan konflik kepentingan beberapa tokoh. Kesemuanya koruptor. Julius, seorang tokoh muda, memiliki ambisi membongkar segalanya. Keadaan pun memanas. Seperti film drama pada umumnya, percintaan pun menjadi bumbu yang manis.
Sebelum akhirnya dirilis, film ini sempat tertahan selama enam tahun di BSF. Tak ada alasan yang jelas. Beruntung, ia masih boleh edar. Namun, pengorbanan harus dilakukan. Film yang dibintang Christine Hakim dan Cok Simbara ini akhirnya lolos sensor setelah BSF memotong pita film sampai 319 meter. Judulnya pun diganti.
Entah apakah esensi Petualang-petualang sama dengan Koruptor-koruptor. Tak ada review yang membahas soal itu.
Merdeka 17805 (2001)
Bagaimana cerita kemerdekaan Indonesia versi Jepang? Jawabannya ada di film ini. Merdeka 17805 merupakan kolaborasi rumah produksi Indonesia dan Jepang. Ia diangkat dari kisah nyata, tentang perjuangan personel tentara kekaisaran Jepang yang ikut andil dalam kemerdekaan Indonesia.
Ya, dari kedatangan Jepang di perairan Indonesia pada 1942, ternyata ada sekelompok tentara yang hatinya terpanggil untuk membantu masyarakat pribumi membebaskan diri dari penjajahan. Ia lah Takeo Shimazaki, seorang kapten tentara Jepang yang memimpin operasi menyusup ke sebuah desa kecil di pelosok negeri.
Tak dinyana, kedatangan Shimazaki disambut gegap gempita. Seorang nenek bahkan mencium kakinya sambil menceritakan Ramalan Jayabaya, tentang bangsa berkulit kuning yang akan membebaskan masyarakat Jawa dari penderitaan panjang.
Hatinya terenyuh. Tekadnya bulat sejak itu. Apalagi, ia kemudian akrab dengan beberapa pribumi.
Adegan mencium kaki itulah yang menuai kontroversi. Adegan itu diminta dihapus. Peredaran film pun tak bisa massif karena alasan politik. Padahal, film ini juga melibatkan beberapa pemain Indonesia, seperti Lola Amaria, Aulia Achsan, dan Fajar Umbara.
Hasil penjualan tiket film ini di seluruh dunia memang lumayan, 550 juta yen. Namun, jumlah itu kalah jauh dibanding film lain yang mencapai miliaran yen. Ia tak bisa disebut film laris.
Balibo (2009)
Ini memang film Australia. Namun konfliknya sangat dekat dengan Indonesia. Balibo mengisahkan 'Balibo Five', tragedi terbunuhnya lima wartawan yang meliput invasi Indonesia ke Timor Timur tahun 1975. Itu kisah nyata, yang terekam dalam buku Cover-Up tulisan Jill Jolliffe.
Gambaran konflik Timor Timur terekam jelas, sampai tokoh Ramos Horta yang diperankan Oscar Isaac. Film ini disutradarai Robert Connolly. Produksi film ini dimulai sejak 31 Juli 2008 di Dili, Timor Leste. Saat itu Timor Timur sudah bukan bagian dari Indonesia.
Film ini sampai melibatkan petugas PBB untuk mengamankan lokasi. Sayang, produksi besar itu justru tak dikehendaki di Indonesia. Film itu dilarang oleh LSF. Tidak ada alasan yang jelas.
Pelarangan pertama terjadi sesaat sebelum film itu diputra di Blitz Megaplex Grand Indonesia, Jakarta, akhir tahun 2009. Ratusan undangan sudah hadir dan siap menonton. Menjelang pukul tujuh malam, Ketua JFCC (Jakarta Foreign Correspondents Club) mengumumkan ultimatum larangan.
Meski begitu, Balibo sudah sempat beredar sebagai DVD bajakan. Kelompok-kelompok masyarakat yang penasaran memburu dan menontonnya. Semua lantas mafhum, larangan LSF mungkin untuk menutupi fakta kekejaman tentara Indonesia di Timor Timur kala itu.
Walau di Indonesia dilarang, Balibo telah diputar di beberapa negara. Pertama kali, ia diputar di Melbourne International Film Festival, 24 Juli 2009. Acara itu dihadiri oleh Ramos Horta dan keluarga jurnalis yang terbunuh tahun 1975.
“Sekarang Indonesia sudah lebih baik. Demokrasi di Indonesia hari ini bahkan sangat inspiratif bagi kawasan Asia Tenggara,” ujar Ramos.
The Act of Killing (2012)
Masih ingat film G30S/PKI versi pemerintah yang dulu selalu diputar setiap 30 September? Film itu dibuat untuk mengingatkan Indonesia soal kekejaman PKI karena telah membunuh tujuh jenderal dan merencanakan kudeta. Usai doktrinasi selama bertahun-tahun, akhirnya film itu dilarang.
Tahun 2012, Joshua Oppenheimer kemudian membuat film dokumenter bertema sama. Namun, sudut pandangnya berbeda. Ia justru menampilkan orang-orang tak berdosa yang menjadi korban pembantaian 1965-1966.
Joshua mengumpulkan data sejak 2005 sampai 2011. Film itu mengambil latar di Medan, Sumatera Utara. Adalah Anwar Kongo, seorang pemimpin gerakan pembunuh terkuat di Medan yang awalnya hanyanya calo tiket. Dalam film itu, ia membawa Joshua kembali ke masa lalunya yang kelam.
Anwar mengajaknya mendatangi tempat ia dan kawan-kawannya melakukan pembantaian. Ia juga mempraktekkan bagaimana dirinya membunuh korbannya yang berjumlah sampai ribuan orang. Kini, Anwar menjadi bagian dari organisasi Pemuda Pancasila.
Skandal pembunuhan terbesar di Indonesia itu tentu mengejutkan banyak pihak. Film yang merupakan proyek dari University of Westminster itu mendapat sanjungan di mana-mana. Tak hanya karena ia mampu membongkar sebuah skandal negara, tetapi juga ceritanya yang begitu kuat.
Sayang, berbagai penghargaan dari seluruh penjuru dunia itu tak mempan bagi tanah kelahiran sang film sendiri, Indonesia. Film ini jelas terlarang, atas nama kemanusiaan. Meski begitu, tercatat The Act of Killing sudah ratusan kali diputar secara ilegal di negeri Zamrud Khatulistiwa ini.