Bacaan Ringan "SEJARAH DUNIA FILM INDONESIA - PART 2"
http://massandry.blogspot.com
Kedua, Periode 1942-1949 disebut “Tahap Berjuang di Belakang”. Masa ini bercirikan produksi film sebagai alat popaganda politik Jepang. Perbandingan pemutaran film barat–nonbarat di bioskop seimbang. Pada 1942 Nippon Eigha Sha hanya memproduksi 3 film. Tahun 1951 diresmikan Metropole, bioskop megah dan terbesar saat itu. Jumlah bioskop meningkat pesat, sebagian besar dimiliki nonpribumi. Pada 1955 terbentuk Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia.
Ketiga, periode 1950-1962 adalah tahap “pulih kembali”. Ditandai dengan diresmikannya Metropole, bioskop megah dan terbesar saat itu (1951). Pada tahap ini, jumlah bioskop meningkat pesat, sebagian besar dimiliki nonpribumi. Namun unsur dagang lebih kental daripada upaya memajukan perfilman atau mencerdaskan bangsa. Pada 1955, terbentuk Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (PPBSI) dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI).
Keempat, Periode 1962-1965 sebagai “Hari-Hari Paling Riuh”. Ditandai dengan beberapa kejadian penting terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai agen imperialisme Amerika Serikat; pemboikotan, pencopotan reklame, hingga pembakaran gedung bioskop. Saat itu Jumlah bioskop mengalami penurunan sangat drastis akibat gejolak politik. Jika pada tahun 1964 terdapat 700 bioskop, tahun berikutnya, yakni tahun 1965 hanya tinggal 350 bioskop.
Kelima, Periode 1965-1970 adalah “Masa-Masa Sulit”. Gejolak politik G30S PKI yang mewarnai periode ini membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi. Saat itu, inflasi yang sangat tinggi melumpuhkan industri film. Kesulitan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah mengadakan senering pada 1966 yang menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Untungnya, membanjirnya film impor memulihkan bisnis perbioskopan dengan meningkatkan minat dan jumlah penonton.
Keenam, Periode 1970-1991 disebut sebagai “Gejolak Teknologi Canggih dan Persaingan”. Saat itu teknologi pembuatan film dan perbioskopan mengalami kemajuan, meski di satu sisi juga mengalami persaingan dengan televisi (TVRI). Tahun 1978 didirikan Sinepleks Jakarta Theathre oleh Sudwikatmono dan dibangun Studio 21 pada tahun 1987. Munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan krisis bioskop kecil.[1] Kala itu muncul fenomena pembajakan video tape.
Buku “Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia” yang terbit pada tahun 1992 memetakan tahap perfilman Indonesia hanya sampai periode keenam (s.d tahun 1991). Tentu saja perjalanan perfilman nasional masih terus berlanjut. Penulis menyebut periode selanjutnya: periode Ketujuh, yakni periode 1992-1998 sebagai “Tahap Mati Suri”. Film Indonesia mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Film-film dengan tema seks mendominasi. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya teknologi VCD, LD, DVD yang menjadi pesaing baru. Uniknya, bertepatan dengan momentum kematian perfilman nasional itu, lahir UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.
Kedelapan, periode 1998 s.d sekarang disebut sebagai “Tahap Bangkit Kembali”. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama di era ini adalah “Cinta dalam Sepotong Roti” karya Garin Nugroho. Setelah itu muncul Mira Lesmana dengan “Petualangan Sherina”, dan Rudi Sudjarwo dengan “Ada Apa dengan Cinta? (AADC)” yang sukses di pasaran. Hingga saat ini, jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat, meski masih didominasi oleh tema-tema horor dan film remaja. Pada tahun 2005, hadir Blitz Megaplex di dua kota, Jakarta dan Bandung. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film.