Bacaan Ringan "TIGA BELAS FILM TERBAIK INDONESIA - PART 2"
http://massandry.blogspot.com
7. November 1828 (1978)
Film ini menceritakan tentang sebuah kelompok penduduk desa di Jawa yang memberontak melawan pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Film ini mengandung tema loyalitas dan pengkhianatan.
Jalinan kisah November 1828 ini dimulai ketika Kapten van der Borst, disertai pasukannya, berusaha mengorek informasi tentang lokasi persembunyian Sentot Prawirodirdjo, tangan kanan Pangeran Diponegoro. Jayengwirono, seorang demang gila jabatan, memberitahukan bahwa Kromoludirolah yang mengetahui informasi tersebut. Kromoludiro pun ditangkap, ditawan di rumahnya sendiri, dan dengan berbagai upaya dipaksa membuka mulut.
Sepanjang proses interogasi dan mata rantai peristiwa yang ditimbulkannya, terlihat bahwa dibalik konflik antara Belanda dan rakyat Jawa ini sebenarnya berkecamuk konflik internal yang tak kalah dahsyat dalam diri tokoh-tokohnya. Film ini mengingatkan bahwa permusuhan atau sikap agresif berlebihan terhadap orang lain seringkali merupakan ungkapan yang tak disadari dari ketegangan dalam diri orang itu sendiri.
Hal kontras yang menarik juga diperlihatkan dalam sosok Kapten de Borst dan Letnan van Aken. Kapten de Borst pada film ini banyak disulut oleh ambisi pribadi. Ia gerah karena perwira lain yang lebih muda dari dia, ternyata sudah meraih pangkat lebih tinggi. Alasannya karena ia merasa mereka orang Belanda tulen, dan van Aken hanya seorang Indo. Sebaliknya, Letnan van Aken, yang juga seorang Indo, diam-diam bersimpati terhadap rakyat Jawa, dan menolak untuk menghalalkan segala cara.
Kalau dicermati, pihak-pihak yang berkonflik secara frontal adalah para bawahan. Para atasan -- dalam hal ini Belanda dan Pangeran Diponegoro -- hanya berada di latar belakang. Di pihak Belanda, sebenarnya bahkan tidak ada orang Belanda; hanya ada sejumlah perwira Indo dan yang lainnya adalah prajurit bayaran. Pangeran Diponegoro sendiri hanya diperbincangkan; yang muncul di layar adalah orang kepercayaannya, Sentot Prawirodirjo. Itu pun ia ditampilkan dalam citra mesianis: muncul pada detik-detik terakhir untuk memetik hasil perjuangan gotong-royong
8. Gie (2005)
Soe Hok Gie dibesarkan di sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang tidak begitu kaya dan berdomisili di Jakarta. Sejak remaja, Hok Gie sudah mengembangkan minat terhadap konsep-konsep idealis yang dipaparkan oleh intelek-intelek kelas dunia. Semangat pejuangnya, setiakawannya, dan hatinya yang dipenuhi kepedulian sejati akan orang lain dan tanah airnya membaur di dalam diri Hok Gie kecil dan membentuk dirinya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan mengimpikan Indonesia yang didasari oleh keadilan dan kebenaran yang murni. Semangat ini sering salah dimengerti orang lain. Bahkan sahabat-sahabat Hok Gie, Tan Tjin Han dan Herman Lantang bertanya "Untuk apa semua perlawanan ini?".
Pertanyaan ini dengan kalem dijawab Soe dengan penjelasan akan kesadarannya bahwa untuk memperoleh kemerdekaan sejati dan hak-hak yang dijunjung sebagaimana mestinya, ada harga yang harus dibayar, dan memberontaklah caranya. Semboyan Soe Hok Gie yang mengesankan berbunyi, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."
Masa remaja dan kuliah Hok Gie dijalani di bawah rezim pelopor kemerdekaan Indonesia Bung Karno, yang ditandai dengan konflik antara militer dengan PKI. Soe dan teman-temannya bersikeras bahwa mereka tidak memihak golongan manapun. Meskipun Hok Gie menghormati Sukarno sebagai founding father negara Indonesia, Hok Gie begitu membenci pemerintahan Sukarno yang diktator dan menyebabkan hak rakyat yang miskin terinjak-injak.
Hok Gie tahu banyak tentang ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kedaulatan, dan korupsi di bawah pemerintahan Sukarno, dan dengan tegas bersuara menulis kritikan-kritikan yang tajam di media. Soe juga sangat membenci bagaimana banyak mahasiswa berkedudukan senat janji-janji manisnya hanya omong kosong belaka yang mengedoki usaha mereka memperalat situasi politik untuk memperoleh keuntungan pribadi. Penentangan ini memenangkan banyak simpati bagi Hok Gie, tetapi juga memprovokasikan banyak musuh. Banyak interest group berusaha melobi Soe untuk mendukung kampanyenya, sementara musuh-musuh Hok Gie bersemangat menggunakan setiap kesempatan untuk mengintimidasi dirinya.
Tan Tjin Han, teman kecil Hok Gie, sudah lama mengagumi keuletan dan keberanian Soe Hok Gie, namun dirinya sendiri tidak memiliki semangat pejuang yang sama. Dalam usia berkepala dua, kedua lelaki dipertemukan kembali meski hanya sebentar. Hok Gie menemukan bahwa Tan telah terlibat PKI tetapi tidak tahu konsekuensi apa yang sebenarnya menantinya. Hok Gie mendesak Tan untuk menanggalkan segala ikatan dengan PKI dan bersembunyi, tetapi Tan tidak menerima desakan tersebut.
Hok Gie dan teman-temannya menghabiskan waktu luang mereka naik gunung dan menikmati alam Indonesia yang asri dengan Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) UI. Selain itu, mereka juga gemar menonton dan menganalisa film, menikmati kesenian-kesenian tradisional, dan menghadiri pesta-pesta.
Film ini menggambarkan petualangan Soe Hok Gie mencapai tujuannya untuk menggulingkan rezim Sukarno, dan perubahan-perubahan dalam hidupnya setelah tujuan ini tercapai.
9. Taksi (1990)
Film ini menceritakan tentang “Desi” (Meriam Bellina), seorang wanita cantik, yang meninggalkan bayinya di dalam taksi yang dikendarai oleh “Giyon” (Rano Karno). Setelah berusaha menberika informasi kepada wartawan untuk menemukan keberadaan Desi, lalu dia membawa bayi itu pulang. Dia lambat laun menjadi terkenal karena budi baiknya dan akhirnya dapat menemukan Desi, yang menjadi penyanyi di kota besar. Akan tetapi semuanya menjadi runyam ketika surat kabar memberitakan bahwa bayi tersebut adalah hasil hubungan gelap antara “Giyon” dan Desi.
10. Ibunda (1986)
Film ini menceritakan sebuah kisah di kota Jakarta, ketika Ibu Rakhim (Tuti Indra Malaon) seorang janda priyayi, menghadapi dua masalah terpisah dalam keluarganya. Fitri anak perempuan bungsunya, mempunyai pacar Luke (Alex Komang) yang dibenci oleh Farida (Niniek L. Karim), kakak Fitri, dan suaminya yang kaya dari kalangan bangsawan Jawa, Gatot, karena Luke adalah seorang Papua bukan Orang Jawa.
Pada saat yang bersamaan anak laki-lakinya, Fikar, meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk tinggal dengan seorang artis. Film ini berusaha menunjukkan sisi psikologi dari seorang ibu dan hubungan moral diantaranya dalam menyelesaikan masalah keluarganya. Juga mengingatkan kita akan pentingnya arti keluarga / ibu. Dukungan seorang Ibu terhadap anak-anaknya maupun pasangannya, dari status sosial hingga warna kulit, dikupas di film ini.
Di akhir film ada sebuah bacaan, yaitu: "Ibu, buku yang habis kau baca, baru kubaca pada halaman pertama".
11. Tiga Dara (1956)
Film ini berkisah tentang romantika keluarga dengan tiga anak perempuan yang semuanya masih lajang. Ibu mereka meninggal, dan ketiganya tinggal bersama nenek dan ayah yang terus sibuk.
Mengemban amanat almarhumah, sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk si sulung. Namun calon suami itulah yang kemudian menjadi rebutan dua dari tiga dara dimana si bungsu Neni berkomplotan untuk menyelesaikan konflik. Konflik inilah yang menjadi cerita menarik dari lakon Tiga Dara.
12. Si Doel Anak Betawi (1973)
Si Doel (Rano Karno) dibesarkan olah ibunya (Tuti Kirana) dan ayahnya (Benyamin S.) mengikuti budaya Betawi asli. Karena sebuah kecelakaan, ayahnya meninggal hingga ia hidup berdua dengan ibunya. Si Doel membantu ibunya berjualan untuk meneruskan hidup. Pada suatu saat datang sebuah bantuan dari Asmad (Sjuman Djaya), pamannya yang kemudian diterima sebagai ayahnya. Asmad memberi kesempatan pada si Doel untuk bersekolah, juga sekaligus untuk menolak anggapan jelek anak Betawi karena banyak yang tidak bersekolah.
13. (Cintaku di) Kampus Biru (1976)
Walaupun tokoh utama film ini adalah Anton Rorimpandey, mahasiswa antropologi, namun ceritanya bukan sebatas kehidupan Anton tampan dan don juan, melainkan gambaran seorang mahasiswa yang berotak encer namun bukan kutu buku dan terisolasi di menara gading pemikiran.
Intrik di kalangan mahasiswa, termasuk perebutan posisi ketua dewan mahasiswa untuk tingkat universitas atau ketua senat mahasiswa untuk lingkup fakultas, menjadi miniatur perpolitikan Indonesia. Dengan demikian, menjadi relevan jika Anton mengidentifikasikan diri dan mengidolakan sosok berambut gondrong Che Guevara, pemimpin gerilya di Bolivia tahun 1965, serta sebelumnya memimpin Revolusi Kuba tahun 1956-1959