Bacaan Ringan "SEJARAH DUNIA FILM INDONESIA - PART 3"
http://massandry.blogspot.com
Kebijakan Pemerintah di Bidang Perfilman
Kebijakan pemerintah memegang peranan kunci dalam pasang surutnya industri perfilman. Adanya kebijakan—yang di Indonesia biasanya tertuang dalam bentuk regulasi—memberikan jaminan kepastian usaha bagi para pelaku bisnis film. Dalam konteks Indonesia, jika menengok sejarah perjalanan perfilman nasional, tampak gambaran yang jelas pasang surutnya jumlah produksi film memiliki pertautan erat dengan regulasi dan kebijakan pemerintah.[2] Regulasi awal dalam perfilman berasal dari Film Ordonantie 1940 yang merupakan produk pemerintah kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan, pemerintah melahirkan regulasi lewat Keputusan Presiden. Regulasi ini amat sarat dengan muatan ideologis yang memposisikan film sebagai alat penyebarluasan nilai-nilai “revolusioner” yang dirumuskan oleh Presiden Soekarno, yang dalam perkembangannya dipenuhi dengan berbagai pertentangan politik. Setelah era Soekarno berlalu dan digantikan oleh rezim Soeharto, lahir serangkaian regulasi perfilman yang mencerminkan gonta-gantinya kebijakan Menteri Penerangan. Beberapa kebijakan yang pernah dilahirkan pemerintah Indonesia dalam bidang produksi film dan implikasinya antara lain:
Pertama, prosedur perizinan dan birokrasi. Prosedur baku dalam produksi film Indonesia sesungguhnya telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan terhadap UU Perfilman Nomor 8 Tahun 1992. Dalam peraturan itu telah diatur langkah-langkah pendaftaran produksi film. Tujuan pendaftaran adalah agar pemerintah maupun organisasi pembuatan film dapat mengetahui data perkembangan produksi film (jumlah maupun tema), penggunaan artis dan karyawan, serta perusahaan jasa teknik yang digunakan. Tata cara pendaftaran berlaku sama, baik untuk pembuatan film seluloid maupun rekaman video. Jika seluruh persyaratan terpenuhi, maka selambat-lambatnya lima hari kemudian pemerintah akan mengeluarkan Tanda Pendaftaran Pembuatan Film Seluloid (TPP-FS) dan Tanda Pendaftaran Pembuatan Rekaman Video (TPP-RV).
Menurut Irawanto dkk (2004:13), UU Perfilman No.8/1992 telah meniadakan kewajiban izin produksi yang selama ini ikut menyumbang seretnya produksi film. Kewajiban yang masih harus dilakukan hanyalah pendaftaran produksi yang bahkan prosesnya bisa dilakukan melalui surat-menyurat. Bahkan, sejak Departemen Penerangan dibubarkan, nyaris tak ada lagi otoritas yang mengurusi dan bertanggungjawab terhadap proses produksi film nasional. Dampaknya ternyata kurang menguntungkan: para pembuat film tidak lagi mendaftarkan filmnya sebelum mereka berproduksi sehingga saat ini amat sulit memperoleh data produksi film Indonesia (baik major maupun indie) secara akurat.