Bacaan Ringan "SEJARAH FESTIVAL FILM INDONESIA - PART 4"
http://massandry.blogspot.com
Di bioskop itu pula berlangsung kongres yang melahirkan persatuan bioskop Indonesia, 10 April 1955.Penutupan/pengumuman pemenang festival menimbulkan suara pro dan kontra. Disebabkan terpilihnya juara-bersama untuk aktor utama AN Alcaff (Lewat Djam Malam) dan A. Hadi (Tarmina); aktris utama Dhalia (Lewat Djam Malam) dan Fifi Young (Tarmina); serta aktor pembantu Bambang Hermanto dan Awaludin (bintang Persari) dalamLewat Djam Malam.
Ada yang menyambut hasil festival sebagai kemenangan Perfini. Lalu ada yang menulis bahwa penulis itu pro Perfini. Sebaliknya si penyanggah itu kemudian dituding pro Persari. Tentu tidak lepas dari peran Djamal, yang tidak cuma jadi penggagas, tapi sekaligus men”cukongi” festival. Terlihat juga dari direbutnya gelar sutradara terbaik oleh Lilik Sudjio (Tarmina), bukan oleh Usmar (Lewat Djam Malam).Lepas dari itu terselenggaranya festival juga dimungkinkan oleh kondisi perfilman Indonesia yang memang sedang “lancar”, produksi naik dari tahun ke tahun: • 1949 - 8 film • 1950 - 23 film • 1951 - 40 film • 1952 - 50 film • 1953 - 41 film • 1954 - 60 film • 1955 - 65 film
Efek festival, yang dimaksud bersifat tahunan, pada 10 Maret 1956 lahir Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), disusul berdirinya (secara resmi) PPFI yang dipimpin Djamaludin Malik pada 16 Juli 1956. Tapi, pada 1956tidak ada festival. Kondisi film Indonesia mulai goyah, produksi 1956 (36 film) turun dibanding tahun-tahun sebelumnya.Setelah kongres, para artis langsung ber”demo” ke presiden Sukarno. Mereka diterima di Istana. Wakil artis adalah Rd. Sukarno (Rendra Karno). “Aksi” itu didukung PPFI, menunjukkan bahwa kepentingan artis dan “boss” itu sama. Sama-sama ter”gencet” film impor (di bioskop), baik yang dari Hollywood/Barat maupun Malaya/Malaysia dan India.Gerakan “protes” artis itu seperti tak meninggalkan bekas sama sekali.
Maka, kembali Djamal bertindak berani: sebagai ketua (baru) PPFI, dia umumkan “tutup studio”, mulai 19 Maret 1957. Artinya stop produksi! Pernyataan para produser itu didukung artis. Lagi-lagi terlihat bahwa produser dan artis punya kepentingan yang sama, ingin “film Indonesia jadi tuan rumah di negeri sendiri.”Ternyata berhasil membikin pemerintah dan parlemen (DPR) terkejut. Kenapa para artis langsung menghadap presiden Sukarno, dan mengapa produser perlu “mogok”?.
Karena hingga saat itu urusan film ditangani oleh berbagai Kementerian/Departemen. Pada 1950-an itu urusan pengimporan bahan baku dan peralatan di bawah Kementrian Perdagangan, urusan film impor di bawah Perdagangan/Keuangan, sensor dibawah Pendidikan & Kebudayaan, bioskop dibawah Dalam Negeri, dan PFN dibawah Penerangan. (Peresmian pawai pada FFI 1955 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan malam pertama festival diresmikan Menteri Penerangan).Akhirnya pemerintah menyetujui untuk mengurangi/membatasi impor film India pada khususnya, dan penjatahan (quota) film impor secara umum.
Namun pelaksanaan peraturan itu baru terjadi berbulan-bulan kemudian, sehingga importir film India sempat “menimbun”. Padahal PPFI segera menghentikan “pemogokan”nya pada 26 April 1957.Sementara itu pihak kiri/PKI memancing di air keruh. Djamal dan Usmar dikenal pula sebagai tokoh-poltik, mereka pengurus Nahdatul Ulama (NU). Hal itu membikin PKI punya alas an untuk melepaskan peluru, aksi “tutup studio” PPFI dianggap tidak tepat alasannya, karena (menurut kaum komunis) yang merusak film Indonesia adalah produksi Hollywood (Amerika yang di-cap imperialis/neo-kolonialis).Padahal film (dari) Barat itu sulit digoyang dari bioskop “atas” di kota-kota besar.
Tapi di bioskop kelas dua/bioskop rakyat, film Indonesia terengah-engah di”keroyok” film Malaya/Malaysia dan India. Tak sedikit produser Indonesia yang ikut-ikutan “menyanyi dan menari” ala Malaya/India.Bahkan Usmar/Perfini coba berkompromi, bikin film musikal Tiga Dara (1956). Film hiburan yang (tetap) bermutu itu ternyata laris. Tapi kemudian Perfini kembali ke “jalur”, membuat Pedjuang (1960) dengan prestasi best actor untuk Bambang Hermanto (1925-1991) di festival internasional Moskwa tahun 1961.
Merupakan piala pertama yang digondol pemain Indonesia di ajang internasional.“Rame-rame” yang dipicu PKI bikin tak terselenggaranya festival pada 1956 dan 1957 maupun 1958 dan 1959. Lebih-lebih si pendorong festival, Djamal dikenai tahanan rumah (masalah politik) pada 1957, tanpa diadili hingga 2 tahun kemudian. Biar situasi produksi memprihatinkan • 1956 - 36 film • 1957 - 21 film • 1958 - 16 filmNamun Djamal justru melakukan “lompatan”, bikin festival pada 21-26 Pebruari tahun 1960. Golongan kiri mulai “masuk”, karya orang “mereka” TURANG terpilih sebagai film terbaik.
Formatur juri Usmar dan Asrul Sani menghasilkan dewan juri Ny. Utami Surjadarma, dr. Rusmali, Sitor Situmorang, Pak Said dan Kotot Sukardi. Hasil festival dikirim ke Festival Asia (5-9 April) 1960 di Tokyo, Suzzanna terpilih sebagai aktris cilik terbaik dalam karya Usmar Asrama Dara. • Film Center • Penghargaan • Kegiatan • KomunitasPerfilman Nasional dari Masa ke Masa (2)Ketika Rakyat Indonesia Perlu HiburanOleh Hardo SukoyoMinggu, 27 November 2005Selama masa pemerintahan Presiden Soeharto, lahir beberapa kebijakan perfilman yang dilakukan tujuh Menpen, yaitu; B.M. Diah (1967-1971), Boedihardjo (1971- 1975), Mashuri (1975 - 1978), Ali Moertopo (1978 - 1983), H. Harmoko (1983-1996), Hartono (1996 - 1997), dan Alwi Dahlan (1997 - 1998).
Untuk kepentingan POLEKSOSBUD saat itu, Menpen B.M. Diah (1967-1971) menempuh kebijakan di bidang politik, agar gedung bioskop tidak dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonseia (PKI) dalam melakukan agitasi. Di bidang ekonomi, dengan inflasi 600% (masuk buku Guiness Book Of Records), kegiatan produksi film jadi tidak menguntungkan, produksi berkurang. Karena itu kebutuhan film di Indonesia terus ditunjang dengan keberadaan film impor.
Di bidang sosial budaya, agar rakyat Indonesia dapat melepaskan diri dari ketegangan, perlu segera diberi hiburan. Karena itu perlu diadakan pemutaran film di gedung-gedung bioskop di Indonesia.Guna melaksanakan kebijakan memanfaatkan film impor untuk membantu tumbuhnya kembali film Indonesia, dikeluarkanlah SK Menpen No.71 tahun 1967; yang isinya antara lain;
Memungut "sumbangan film impor untuk rehabilitasi film nasional", dengan ketentuan wajib setor Rp. 250.000,- untuk setiap judul film yang diimpor, dengan hanya memasukkan 2 copy film.Pungutan itu disebut saham produksi atau dikenal dengan nama Dana SK 71 yang dikelola Yayasan Dana Film. Dan dana yang terkumpul melalui mekanisme Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), digunakan untuk memproduksi film Indonsia percontohan.Dampak negatif dari kebijakan membuka kran impor tentu saja bertambahnya jumlah importir dan itu mengakibatkan harga film impor mahal.
Dampak positifnya, jumlah gedung bioskop dan pertunjukan film bertambah di. Rakyat dapat menikmati hiburan film dengan harga murah. Kehidupan malam di sekitar bioskop menjadi marak, dan menghidupkan usaha kecil di sekitar gedung bioskop. Dihapuskannya jam malam, sehingga menimbulkan rasa aman pada masyarakat secara luas.Di era Menpen Boediardjo (1971-1975) di bidang impor film ada dua kebijakan. Yaitu, ditetapkannya "Quota film impor" setiap tahunnya, yang membatasi jumlah film yang diimpor, tapi mengijinkan penambahan jumlah copy per judul dari 2 copy menjadi 4 copy.
Dan dibentuknya Badan Koordinasi Impor Film (BKIF) sebanyak 3 buah yaitu: kelompok film Eropa Amerika, Mandarin, dan film Asia non Mandarin.