Bacaan Ringan "FILM "THE ACT OF KILLING" a.k.a "JAGAL" - FILM TERLARANG DI INDONESIA"
http://massandry.blogspot.com
“Kalau PKI Kejam, kita lebih kejam”
(Adi Zulkadry dalam The Act of Killing)
Beberapa waktu yang lalu akhirnya saya berkesempatan menonton The Act of Killing. Sayangnya pada kesempatan tersebut kami tidak sempat berdiskusi, sehingga banyak pertanyaan yang muncul dalam benak saya setelah menonton film tersebut. Namun sebelum membahas pertanyaan atau memberi komentar pada filmnya, saya akan sedikit membahas mengenai film tersebut.
Review Singkat
The Act of Killing menceritakan tentang seorang ‘algojo’ 65 bernama Anwar Congo, yang menuturkan pengalamannya bersama beberapa kawannya ‘mengeksekusi’ orang-orang yang dianggap sebagai PKI di wilayah Medan. Film ini memperlihatkan bahwa peembantaian 65 banyak menggunakan’jasa’ organisasi pramiliter, salah satunya Pemuda Pancasila dimana Anwar menjadi anggotanya.
Dalam film berdurasi 140 menit tersebut, Anwar dan beberapa orang kawannya menceritakan dengan bangga, bagaimana mereka ‘berjasa’ menumpas komunis di Indonesia. Anwar juga menceritakan, dan mempraktikan bagaimana cara mereka mengintrogasi, membunuh, bahkan metode mana yang paling efisien dalam membunuh, yang didapatkan Anwar dari film-film gangster yang biasa dia tonton.
Selain kesaksian Anwar, di dalam film ini juga menampilkan kesaksian beberapa orang lainnya yang terlibat di dalam pembantaian 65 tersebut. Salah satunya adalah Ibrahim SInik, pemilik harian Medan Pos, yang kantornya juga digunakan untuk tempat menginterogasi dan membunuh orang-orang PKI. Tak hanya itu, ia juga mengaku dalam proses interogasi untuk keperluan berita, memang ‘diusahakan’ agar pemberitaan memancing kebencian masyarakat terhadap PKI.
Adegan dalam Adegan
Film The Act of Killing, kabarnya menghabiskan waktu hampir tujuh tahun untuk proses pembuatan. Kalau boleh saya memisahkan, di dalam film ini ada dua kelompok adegan. Pertama adalah adegan wawancara dengan beberapa ‘tokoh.’ Kelompok kedua adalah adegan di dalam adegan. Jadi, memang Anwar Congo dkk yang tergabung di dalam kelompok preman bioskop, berniay untuk membuat film bertajuk Arsan dan Aminah, untuk mengenang jasa mereka dalam membantai PKI.
Adegan demi adegan dimana Anwar Congo dkk menjadi bintang filmnya. Juga ditampilkan di dalam The Act of Killing. Namun, kita tidak hanya menonton adegan Arsan dan Aminah, tetapi juga adegan di balik pembuatannya, termasuk berbagai wawancara dengan tokohnya.
Adegan di dalam adegan tersebut langsung dimainkan oleh Anwar dengan mempraktikan adegan-adegan interogasi dan pembunuhan. Di dalam salah satu adegan, tokoh PKI yang diinterogasi diperankan oleh pria yang ayah angkatnya menjadi korban pembunhan 65, ketika dia kecil. Setelah adegan selesai dia perankan, dia terus menangis.
Adegan lainnya menunjukan penyerbuan Pemuda Pancasila ke sebuah perkampungan, menyeret orang-orang yang dianggap PKI, dan membakar rumah mereka. Adegan ini juga melibatkan anak-anak dan perempuan. Bagi saya, adegan tersebut menunjukan kengerian yang luar biasa. Visualisasi diseretnya para pria, diiringi suara bentakan dari orang-orang Pemuda Pancasila, dilengkapi dengan jeritan dan tangisan perempuan dan anak-anak yang memekakan telinga. Adegan itu, sukses mencekam perasaan saya. Setelah adegan selesai, sejumlah anak yang terlibat dalam film tersebut tidak berhenti menangis, sementara seorang perempuan pingsan.
Preman = Freeman?
Peran organsiasi paramiliter dalam hal ini Pemuda Pancasila juga sangat menonjol di dalam film. Peran-peran untuk ‘membela’ Pancasila melalui forum-forum pertemuan mereka terus digelorakan. Berkali-kali istilah preman dikaitkan dengan free man. Bebagai argumentasi tentang perlunya ada preman juga keluar di dalam film ini. bukan hanya dari Anwar, dkk, tapi juga dari sejumlah tokoh, seperti Yapto, Gubernur Sumatera Utara, anggota MPR, Deputi Kementerian Pemuda dan Olah Raga, serta Jusuf Kalla. Melihat sejumlah tokoh di dalam film ini, saya menjadi yakin bahwa negara ini dijalankan oleh Preman.
Kekuasaan Pemuda Pancasila sebagai preman pun masih berlanjut sampai saat ini. bahkan, dalam salah satu adegan sempat ditunjukan bagaimana seorang pimpinan Pemuda Pancasila Medan ‘mengemis dengan kekerasan’ kepada para pedagang Tionghoa di Pasar.
Kasihan Itik
Adegan ‘menarik’ lainnya adalah ketika Anwar Congo bersama kedua cucunya sedang memberi makan ituk. Dalam adegan tersebut, Anwar menyuruh cucunya meminta maaf kepada salah satu ana itik yang kakinya pincang, karena terpukul/tertendang (saya lupa persisinya) oleh cucu Anwar. Anwar sempat berkata, kasihan itiknya. Kontras, mengingat dia telah membunuh manusia tanpa rasa kasihan.
Ruang untuk Pelaku
Sebenarnya pertanyaan saya lebih banyak tertuju kepada proses produksi dari film The Act of Killing. Apakah para aktor diberikan ruang dan dilibatkan dalam menentukan plot cerita, adegan mana yang dimasukan ke dalam film, adegan mana yang di cut, dll. Karena saya mendapatkan kesan, seolah-olah mereka memang ingin membuat sebuah film, untuk memperingati jasa mereka sebagai penumpas PKI, serta mengingatkan agar PKI tidak muncul lagi. Namun, secara keseluruhan saya justru mendapat kesan bahwa film ini hendak membongkar sebuah ‘kejahatan kemanusiaan’ yang jelas terjadi di Indonesia.
Di dalam film juga terlihat perdebatan mengenai salah atau benar tindakan para algojo membunuhi warga sipil ini. Joshua Oppenheimer bahkan menegaskan bahwa berdasarkan hukum internasional yang berlaku, perbuatan para algojo ini salah, dan bisa disidangkan di Pengadilan Ham Internasional Den Haag.
Di beberapa media, Anwar mengemukakan keberatannya terhadap The Act Of Killing. Bahkan dalam sebuah media yang saya baca Anwar merasa ditipu. Di media lain, Anwar juga mengaku belum menonton hasil akhir dalam film tersebut.
Tapi apapun itu, film ini menjadi bukti bahwa impunitas terjadi di Indonesia. seorang pembunuh (menurut pengakuannya 100 korban), yang secara gamblang menceritakan perbuatannya, masih bisa berkeliaran dan hidup tenang. Sementara keluarga korban tidak mendapatkan pemulihan apapun, malah masih banyak yang ketakutan dengan stigma PKI, mengalami pengucilan, dan lain-lain.
Trauma Healing
Hal lainnya, yang menjadi concern saya adalah beberapa orang yang dilibatkan dalam proses pembuatan film, yang berpotensi trauma. Saya pribadi saja, yang hanya menonton merasakan sebuah kegoncangan. Apalagi orang-orang yang terlibat di dalam pembuatan film tersebut. Antara lain, seorang pria yang memerankan PKI yang diinterogasi. Mungkin dia meningat ayah angkatnya yang dulu ikut dibunuh. Selain itu, beberapa anak-anak dan perempuan juga mengalami histeris setelah memerankan penduduk kampung yang suami/ayahnya dituduh PKI, sehingga diseret, dibunuh, dan rumah mereka dibakar.
Bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah mereka mengalami trauma? Adakah upaya untuk pemulihan bagi mereka?
Menarikan Apa?
Pertanyaan saya lainnya adalah soal beberapa adegan perempuan-perempuan yang menari, yang menjadi pembuka film, dan muncul melalui beberapa adegan lainnya. katakanlah saya tidak mengerti seni perfilman. Tapi saya memang tidak paham keterkaitan adegan tersebut dengan isi cerita.
Apresiasi
Bagaimanapun, buat saya film ini harus diapresiasi. Film ini menjadi begitu jujur dalam menceritakan sejarah kelam bangsa Indonesia. kalau biasanya, film-film dokumenter menjadi ruang bagi para korban 65 bercerita, kali ini, yang diangkat adalah sutu pandang si pelaku. Buat saya pribadi tidak terlalu penting seberapa bangga mereka sebagai pelaku pembunuhan. Toh kita sama-sama tahu betapa propaganda Orba memberangus nilai kemanusiaan kita terhadap orang-orang yang dilabel PKI. Namun yang penting adalah bahwa fakta-fakta yang mereka paparkan harusnya menjadi modal bagi kita dalam mengungkap sejarah bangsa ini. pembantaian 65 jelas terjadi tidak hanya dibuktikan oleh para korban/keluarga, tetapi juga secara gamblang dipaparkan oleh para pelaku.
Tapi saya perlu mengingatkan kawan-kawan yang ingin menonton film ini. terutama apabila kawan-kawan memiliki keterkaitan dengan para korban. Keinginan kita untuk membongkar sejarah kelam bangsa ini, dimulai dari diri kita sendiri. Seberapa bisa kita menghadapi kisah yang (setidaknya bagi saya pribadi) menggoncang rasa kemanusiaan kita. Cerita 65 itu sangat kelam, tetapi itulah kenyataan bangsa ini.