Bacaan Ringan "SEJARAH FESTIVAL FILM INDONESIA - PART 3"
http://massandry.blogspot.com
KERDEKAAN memang membawa berkah. Tapi Proklamasi 1945 juga me”lahir”kan revolusi fisik, di kala tergonjang-ganjing hingga 1949. Tidak sedikit yang hijrah ke ibu kota perjuangan, Yogyakarta, meninggalkan Jakarta yang di”kuasai” lagi oleh (bekas) penjajah Belanda. Termasuk para seniman muda yang kemudian jadi tokoh perfilman nasional, seperti Usmar, D. Djajakusuma (1918-1987), Surjosoemanto (1918-1971), dll. Mereka belajar (teori) tentang film dari para senior. Antara lain Andjar Asmara (1902-1961), R.M. Soetarto (1914-2001) dan DR. Huyung(1907-1952).
Sementara Djamal pada 1947 mengumpulkan pemain 2 rombongan sandiwara miliknya, masing-masing Pantjawarna (dari Solo) pimpinan M. Budhrasa (1901-1977) dan Bintang Timur (dari Yogya) yang dipimpin Darussalam (1920-1993). Pertemuan di Solo itu mengeluarkan keputusan terbentuknya badan usaha Firma Perseroan Artis Indonesia (PERSARI), yang tujuan jangka panjangnya adalah mendirikan sebuah perusahaan film. Djamal telah berpikir “jauh ke depan”, PERSARI berdiri pada 1951.Di masa sebelum kemerdekaan, terdapat 3 perusahaan film Cina, yaitu Tan Khoen Yauw dan adiknya Tan Khoen Hian (TAN’s Film), Wong Bersaudara dan Java Industrial Film (JIF) yang dikelola Teng Chun bersama adik-adiknya.
Sempat menikmati “masa panen” sehabis sukses Terang Boelan pada 1938. • 1937 - 2 film • 1938 - 3 film • 1939 - 5 film • 1940 - 14 film • 1941 - 30 film • 1942 - 3 filmAnjloknya produksi 1942, yang hanya sepersepuluh dibanding 1941, adalah disebabkan menyerahnya Belanda kepada Jepang (8 Maret 1942). Yang pertama dilakukan Jepang adalah menyita peralatan perusahaan film swasta, dan melarang swasta membikin film, cerita maupun dokumenter.
Jepang lebih banyak membikin film non-cerita yang bersifat propaganda/penerangan. Beberapa film cerita juga dibikin, tapi melulu berisi propaganda (Berdjoang/1943, Ke Seberang/1944).Di masa pendudukan Jepang, cuma Tan Bersaudara yang tetap di bidang film, sebab kedua kakak-adik itu adalah pengusaha dua bioskop di Jakarta yang bernama sama, Rialto (di Senen dan Tanah Abang).
Teng Chun bikin rombongan sandiwara Djantoeng Hati, tapi tidak lama. Sedangkan Wong Bersaudara dagang kecap dan limun.Pada 1948 Wong dan Tan bergabung dalam Tan & Wong Bros. dengan produksi pertamanya Airmata Mengalir di Tjitarum, yang menampilkan Sofia (Sofia WD, 1925-1986). Teng Chun, bekerja sama dengan teman sekolahnya Fred Young (1900-1977) bikin perusahaan baru, Bintang Surabaja, pada 1949. (Nama itu semula nama rombongan sandiwara yang dikelola Fred dari 1941 hingga 1948).
Dengan JIF-nya Teng Chun telah coba membangun usaha film sebagai industri. Namun Bintang Surabaja tak bertahan lama, tutup pada 1962, seiring lesunya produksi film dalam negeri. Sementara itu PERSARI muncul sebagai kekuatan baru. Djamal mendirikan kompleks studio yang luas di Polonia Jakarta Timur. Studio dibangun Djamal pada 1952, setahun sesudah berdirinya PERSARI. Juga mengikat sejumlah bintang yang semula adalah anggota rombongan Pantjawarna dan Bintang Timur.
Tindakan serba berani nyaris selalu muncul dari Djamal. “Big Boss” Persari itulah yang pada akhir 1954 melontarkan gagasan penyelenggaraan Festival Film Indonesia yang pertama, Maret 1955. Dengan salah satu maksudnya adalah menyeleksi film wakil Indonesia ke Festival Film Asia (Tenggara) di Singapura, Mei 1955. Sebagaimana disampaikan panitia, sehabis rapat pada 2 Pebruari 1955 : 1. sebagai pendorong bagi perbaikan mutu/tehnik film Indonesia. 2. Membikin penonton-penonton Indonesia (ber) film-minded terhadap filmnya sendiri. 3. Sebagai pemilihan terhadap film-film Indonesia yang akan dikirimkan ke Festival Film Asia Tenggara, Mei 1955, di Singapura. 4. Merapatkan hubungan kebudayaan serta silaturahmi di antara bangsa melalui film, di Asia khususnya dan di dunia umumnya.
Panitia inti adalah Djamal (Ketua), Usmar (wakil ketua), Mansur Bogok (Sekretaris) dan The Teng Hoei (bendahara). Diperkuat oleh direksi bioskop-bioskop Metropole/Megaria (Jakarta), Broadway (Surabaya), ODB (Medan), International (Palembang), Kalimantan (Banjarmasin) dan Capitol (Makasar).Kepada pemenang aktor/aktris utama dan aktor/aktris pembantu diutus menghadiri Festival Film Asia (Tenggara), yang ongkos p.p. maupun biaya-biaya lain selama di Singapura, semua ditanggung oleh panitia.Tapi nama hadiah banyak sekali yang diajukan/disarankan, dari hadiah “Roekiah”, “Cornel Simanjuntak”, “S. Turur”, “Ronggowarsito” hingga “Dr. Huyung.”
Kemudian diputuskan nama yang panjang, yaitu hadiah Festival Film Indonesia yang pertama, karena tak satupun dari calon-calon nama itu yang disepakati.Dalam majalah Aneka No. 5 Th. V, 10 April 1955 disebutkan bahwa panitia diperkuat/disempurnakan: Djamal (Ketua), R.M. Soetarto (wakil ketua), Mansur Bogok (sekretaris), The Teng Hoei (bendahara), Usmar Ismail (formatur dewan juri), M. Panji Anom (dekorasi), The Teng Hoei (urusan booking), M. Bogok/Ong Soen Hin (Publicity) dan D. Djajakusuma (urusan hadiah).Sedangkan Dewan Juri terdiri dari Prof.dr. Bahder Djohan (ketua kehormatan), Sitor Situmorang (wakil ketua), Oei Hoay Tjiang (sekretaris) dengan para anggota dr. Rusmali, Basuki Resobowo, Andjar Asmara, Oei Soen Tjan, Jusuf Ganda, Armijn Pane, T. Sjahril, Lodge Cunningham, Kay Mander, Sudjatmoko dan RAJ Sudjasmin.
Festival diikuti 12 film: Harimau Tjampa (Perfini), Krisis (Perfini), Lewat Djam Malam (Perfini/Persari), Tarmina (Persari), Antara Tugas dan Tjinta (PFN), Pulang (PFN), Rentjong & Surat (GAF Sang Saka), Djakarta di Waktu Malam (Tan & Wong), Burung Merpati (Canary), Rela (Garuda), Debu Revolusi (Ratu Asia) dan Belenggu Masjarakat (Raksi Seni).Tujuh di antara film-film itu diusahakan pemutarannya serentak di 7 kota:Jakarta (Metropole dan Cathay), Medan (Olympia), Palembang (International), Surabaya (Broadway), Makasar (Capitol) dan Banjarmasin (Kalimantan).
Pembukaan festival (di Jakarta) dimeriahkan pawai artis. Nyaris semua bintang sedia ikut. Antara lain yang ketika itu sedang popular: Rd. Mochtar, Netty Herawati, AN Alcaff, Ellya (Rosa), Ermina Zainah, Sofia Waldy (Sofia WD), Rd. Sukarno (Rendra Karno), Amran S. Mouna, Turino Djunaidi, A. Hamid Arif, S. Poniman, Nurnaningsih, Rd. Ismail, Nurhasanah, Risa Umami, Lies Noor, Mimi Mariani, Djuriah (Karno), Fifi Young, Salmah, Bambang Hermanto, Chatir Haro, S.A. Rosa, dll.
Pawai dimulai dari Gedung Olahraga (depan kantor Gubernur Jakarta-tapi sekarang telah jadi bagian dari lapangan Monas), Merdeka Selatan, Merdeka Barat, Segara (Veteran) III, Pecenongan, Krekot, Gunung Sahari/Cathay (kini pasar swalayan), Gunung Sahari/Senen, Salemba, Jalan RSCM, Metropole, Cikini, Merdeka Selatan, Gedung Olahraga.
Pawai diadakan pada 30 Maret 1955, dimulai pukul 17.00. Pawai dilepas oleh Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Prof. Moh. Yamin, SH.Kemeriahan itu berlanjut dengan pemutaran film-film (pilihan) di Metropole dan Cathay. Malam pembukaan di Metropole dibuka resmi oleh Menteri Penerangan, dr. F.L. Tobing. Kembali Metropole menunjukkan rasa kebangsaan setelah pada 1954 berani memutar KRISIS (yang ternyata laris hingga 5 minggu) padahal terikat importir asing (MGM/Amerika).