Wednesday, September 11, 2013

Bacaan Perang "SEJARAH PERANG MALVINAS/FALKLAND - PART 4"

http://massandry.blogspot.com
Karena meremehkan “Wanita Besi” dan Rudal Exocet,
“Perang (Malvinas/Falkland) itu ibarat dua orang gundul
yang memperebutkan sisir.”
(Jorge Luis Borges, penulis Argentina)

Mungkin saja pernyataan pengarang Argentina tersebut benar. Artinya, lebih-lebih dalam konteks sekarang, orang bisa bertanya, “Untuk apa sih sebenarnya Inggris dan Argentina sampai harus berperang memperebutkan Kepulauan Falkland (menurut Inggris) atau Malvinas (menurut Argentina). Akan tetapi, terhadap sejarah kita diingatkan, tidak ada kata “seandainya”. Faktanya, perang ini akan dikenang sebagai perang yang mengandung pertempuran laut paling besar dan paling panjang semenjak kampanye Pasifik di masa Perang Dunia II.

Perang yang oleh Inggris disebut dengan nama Operation Corporate ini juga melibatkan operasi amfibi paling besar semenjak pendaratan Inchon pada tahun 1950. Juga penyelenggaraan logistik sejauh 11.000 km dari Inggris ke Atlantik Selatan, medan tempur musim dingin yang jauhnya sekitar 5.000 km dari pangkalan sahabat terdekat di Pulau Ascension.

Argentina menyerbu Malvinas/Falkland karena mengklaim kepulauan ini sebagai miliknya. Selain dekat dengan wilayah utama (mainland), juga karena merasa pihaknya merupakan pewaris kedaulatan dari Pemerintah Spanyol yang gagal pada tahun 1810 dan menyebabkan kepulauan itu lalu dikuasai Inggris. Klaim ini merasuk ke dalam sanubari rakyat Argentina dan masuk dalam kurikulum sejarah di sekolah dari generasi ke generasi. Ini sebenarnya juga isu yang umum semenjak berakhirnya Perang Dunia II, yaitu satu negara berkembang mengajukan klaim teritorial yang sudah lama diyakini terhadap bagian dari bekas negara si penjajah.

Namun, sejumlah pihak melihatnya dari sisi lain. Motivasi utama Argentina melancarkan perang ini adalah untuk mengalihkan ancaman terhadap rezim Jenderal Leopoldo Galtieri yang sedang mendapat tekanan dari berbagai penjuru karena dituduh melancarkan “perang kotor”, di mana 15.000 sampai 30.000 rakyat sipil Argentina dibunuh atau “hilang”, selain karena ekonomi buruk. Dengan adanya faktor terakhir, ide merebut kembali Kepulauan Malvinas yang terletak sekitar 500 km dari pantainya diperkirakan bisa menggalang dukungan kalangan nasionalis.

Tampak bahwa perang ini pecah akibat adanya salah hitung, baik di pihak Inggris maupun Argentina, ditambah adanya pengaruh AS. Argentina mengklaim bahwa AS mengisyaratkan pihaknya tidak akan ikut campur kalau Argentina mengkalim Kepulauan Malvinas. Oleh sebab itu, adanya bantuan AS ke Inggris dalam bentuk intelijen dan material dipandang sebagai wujud pengkhianatan terhadap Argentina dan warga Amerika Latin yang berharap bisa melihat adanya persatuan sesama warga hemisfer (Selatan) di pihak AS, atau sekurang-kurangnya sikap netral.

Argentina melihat peran AS kritikal dan menegaskan bahwa perang tidak akan pecah kalau saja Inggris tidak mendapat dukungan dari AS. Organisasi Negara-negara Amerika dan Amerika Latin pada dasarnya mendukung Argentina, tetapi pengaruh AS membuat anggota organisasi tak bisa mengambil langkah konkret. Pihak Inggris benar-benar mengharapkan bantuan AS untuk membebaskan warga Falkland dari cengkeraman rezim militer. Inggris juga mendapat dukungan dari masyarakat Eropa pada umumnya. Perancis, misalnya, mengembargo ekspor senjata ke Argentina, yang lalu secara drastis memangkas kemampuan militer Argentina.

3.1 Pelajaran Berharga

Tidak ada perang yang tidak meninggalkan korban dan kisah sedih, dan oleh karena itu sebisa mungkin memang perang harus dihindari. Untuk perang yang telah terjadi, sebagaimana Perang Malvinas/Falkland, dunia harus bisa menangkap pelajaran darinya. Ini diperlukan justru ketika dunia masih terus terperangkap dalam potensi konflik akibat perbedaan kepentingan antarbangsa yang sulit diselesaikan secara damai.

Di antara yang digugat oleh Perang di Atlantik Selatan ini adalah benarkah yang selalu terjadi adalah perang dipicu oleh serangan pihak yang “lebih kuat” terhadap “pihak lebih lemah”. Argentina, negara terpencil yang sejarahnya tidak mencatat adanya perang nyata semenjak pertengahan abad ke-19, ternyata berani menyerang negara yang lebih kuat, bahkan bersenjata nuklir lagi.

Argentina ternyata juga bisa menyerang Inggris, negara yang menjadi konsumen terbesar ekspor pertaniannya. Terus siapa yang menyangka bahwa Inggris, anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), akan berperang untuk mempertahankan kepulauan berbatu terpencil di Samudra Atlantik Selatan yang sebagian besar penghuninya penggembala biri-biri? Juga siapa yang mengira bahwa Inggris akan pergi berperang untuk mempertahankan sisa-sisa imperiumnya 37 tahun setelah Perang Dunia II? Yang juga baik, antara Argentina dan Inggris pun terjadi rekonsiliasi dan keduanya memulihkan hubungan diplomatik. Pada tahun 1995, kedua negara menandatangani sebuah kesepakatan untuk mempromosikan eksplorasi minyak dan gas di Atlantik Baratdaya, mencairkan isu yang sensitif sekaligus membuka peluang kerja sama lebih lanjut.

Meski telah lama berakhir, Pemerintah Inggris pada tahun 2005 menerbitkan sejarah resmi mengenai Perang Falkland. Tentu saja buku versi pemerintah Inggris ini membangkitkan kembali perdebatan mengenai apa sesungguhnya makna perang tersebut. Seperti dikutip di awal tulisan kesimpulan pertama, penulis Jorge Luis Borges menyebut perang tersebut sebagai “dua orang botak yang memperebutkan sisir“. Sementara dari Inggris dan juga banyak tempat lain tidak sedikit yang menyebut perang tersebut sebagai sikap imperialisme ketinggalan zaman.

Meski demikian, tulis William Pfaff di International Herald Tribune (2/10/2005), orang harus melihat satu sisi penting yang dulu maupun sekarang jarang dilihat orang, yakni Perang Malvinas/Falkland adalah perang untuk membela hukum internasional dan ketertiban antarbangsa. Dari segi aksi, tindakan junta militer Argentina, menurut Pfaff, bisa dibandingkan dengan invasi Saddam Hussein ke Kuwait tahun 1990. Pada kasus Kuwait, Amerika Serikat membentuk koalisi internasional yang dikukuhkan DK PBB untuk membebaskan Kuwait. Ini pun aksi untuk menciptakan ketertiban.

Lebih dari itu, dampak jatuhnya pemerintahan diktator di Argentina setelah kekalahan perang Falkland, juga berimbas ke bidang politik negara lain, yakni Cile dan Brasil. Di kedua negara ini rezim pun beralih ke pemerintahan demokratis. Pfaff mencoba melihat, mungkin saja Presiden George W Bush mencoba menerapkan Perang Irak untuk menciptakan demokratisasi di Timur Tengah. Namun, hasil yang dicapai, karena sejumlah alasan, ternyata beda jauh dari keinginan awal. AS justru dengan invasi ke Irak kini dikenal sebagai pencipta ketidaktertiban dan ketidakadilan, bukan pencipta ketertiban dan keadilan.

Seperti itulah bahwa setelah 25 tahun Perang Malvinas masih terus dikaji dampak dan pengaruhnya. Namun, satu hal yang menarik adalah komentar yang muncul di situs online Daily Telegraph London. Satu dari 196 komentar yang masuk mengatakan bahwa satu hari nanti, cepat atau lambat, Malvinas akan kembali ke kedaulatan Argentina. Ini hanya masalah waktu. Namun, jelas itu hanya pandangan dari satu sisi, yaitu dari warga Argentina. Dari sisi Inggris, muncul komentar “Falkland milik Inggris, sekarang dan selamanya!” Biarlah waktu terus berjalan dan sejarah masa depan yang akan memutuskan.

3.2 Kajian Perspektif Hukum Internasional

“Frontiers are the chief anxiety of nearly every Foreign Office in the civilized world“, demikian tukas Lord Curzon dalam kuliahnya yang termasyhur di Universitas Oxford pada tahun 1907, genap seratus tahun yang silam. Pernyataan mantan Wakil Kerajaan Inggris yang menyelia lima komisi perbatasan di anak benua India sebelum menjadi Menteri Luar Negeri itu mengandung kebenaran profetis. Dua Perang Dunia yang berkecamuk sesudahnya tidak lepas dari ambisi teritorial sejumlah aktor penting percaturan politik dunia pada masa itu.

Konflik-konflik internasional paling serius dalam sejarah umat manusia seringkali berpangkal dari klaim wilayah yang tumpang tindih di sepanjang garis perbatasan. Penelitian empiris di kemudian hari bahkan menunjukkan bahwa dibandingkan isu lainnya, masalah perbatasan berpotensi dua kali lipat lebih besar untuk tereskalasi menjadi konflik bersenjata.

Di berbagai penjuru dunia, kontrol atas wilayah merupakan sesuatu yang diperebutkan tanpa ragu mengorbankan nyawa manusia. Kepulauan Falkland/Malvinas adalah salah satu saksi sejarah pertumpahan darah akibat perebutan wilayah. Peta dunia kontemporer seperti sekarang ini bukanlah sesuatu yang statis.

International Boundaries Research Unit (IBRU) di Universitas Durham mengidentifikasi bahwa dewasa ini masih terdapat berpuluh-puluh perbatasan darat dan laut serta klaim kedaulatan atas sejumlah pulau yang secara aktif dipersengketakan. Bahkan masih terdapat ratusan perbatasan maritim internasional yang belum disepakati oleh negara-negara yang berbatasan. Memang, banyak di antara pertentangan yang terjadi baru berlangsung di tataran diplomasi, namun tidak tertutup kemungkinan hal itu memburuk menjadi konflik yang berujung perang: “war starts where diplomacy ends“.

Sejarah dunia hanya mengenal tiga cara untuk mensahkan perbatasan antarnegara:  negosiasi, litigasi, atau kekuatan bersenjata. Dalam studi konflik internasional, dengan mudah terlihat bahwa sengketa wilayah masih merupakan sumber pertentangan yang paling potensial. Dengan demikian, masalah perbatasan antarnegara adalah suatu ancaman yang konstan bagi perdamaian dan keamanan internasional. Karena menyangkut kedaulatan yang seringkali sifatnya tidak dapat dinegosiasikan (non-negotiable), konflik teritorial tergolong pertentangan yang paling sulit dipecahkan.

Perbatasan internasional juga merupakan faktor penting dalam upaya identifikasi dan pelestarian kedaulatan nasional. Bahkan negara-negara bertetangga yang menikmati hubungan yang paling bersahabat pun perlu mengetahui secara persis lokasi perbatasan mereka guna menegakkan hukum dan peraturan masing-masing negara. Oleh karena itu, penetapan perbatasan antarnegara secara jelas tidak hanya dapat mengurangi resiko timbulnya konflik perbatasan di kemudian hari, tetapi juga dapat menjamin pelaksanaan hukum di masing-masing sisi perbatasan.

Newer Post Older Post Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds