Bacaan Ringan "ASAL USUL NAMA KAMPUNG DI JAKARTA - PART 4"
http://massandry.blogspot.com
Paseban
Merupakan nama kampung sekaligus nama kelurahan yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Paseban berasal dari kata yang artinya tempat berkumpul, yaitu tempat berkumpulnya pasukan Sultan Agung dari Jawa Tengah dalam penyerangan Kota Batavia pada tahun 1628 – 1629. Letak kampung Paseban dekat dengan kampung Matraman yang memiliki sejarah asal – usul yang sama.
-
Pegangsaan
Pegangsaan dewasa ini menjadi nama kelurahan, termasuk, wilayah Kecamatan Menteng, Kotamadya Jakarta Pusat.
Dalam Majalah Intisari Juni 2002, Mohammad Sulhi menyatakan dugaannya, bahwa Pegangsaan, yang terkenal sebagai tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, “dulunya tempat angon atau pemeliharaan angsa”. Dugaan demikian mungkin saja benar, seperti halnya dugaan lainnya
.
Kemungkinan lainnya, kawasan tersebut dahulunya menjadi tempat pengrajin barang – barang dari perunggu, atau gangsa. Tempatnya biasa disebut pegangsan atau pegangsaan. Para pengrajin itu akhir abad ketujuhbelas membuka kawasan Matraman (De Haan 1935:67). Di Kota Bogor, tempat yang dahulunya dihuni oleh orang – orang Jawa pengrajin barang – barang dari tembaga dinamai Paledang, sampai sekarang (Danasasmita 1983:89).
-
Pasar Rumput
Merupakan sebutan nama pasar yang sekarang lokasinya ada di Jalan Sultan Agung Jakarta Selatan. Pasar ini sekarang telah menyatu dengan pasar Manggarai.Asal mula penyebutannya Pasar Rumput ini berasal dari adanya para pedagang pribumi yang menjual rumput dan sering mangkal dilokasi itu
.
Para pedagang rumput terpaksa mangkal dilokasi ini karena mereka tidak diperbolehkan masuk ke permukiman elit Menteng. Masyarakat Menteng banyak yang memelihara kuda sebagai sarana angkutan dan masa itu sado merupakan sarana angkutan yang banyak membawa penumpang orang kaya keluar masuk lingkungan Menteng.
Walaupun para pedagang rumput sudah tidak dapat ditemukan lagi di pasar rumput masyarakat Jakarta sangat akrab dengan sebutan nama Pasar Rumput. Kalau di pasar burung kita dapat membeli burung, di pasar buah kita dapat membeli buah, namun di Pasar Rumput kita tidak dapat membeli rumput karena pedagangnya tidak ada yang menjual rumput.
-
Pasar Boplo
Merupakan nama pasar yang terletak di lokasi pemukiman elit Menteng Jakarrta Pusat. Nama pasar ini berasal dari kata dalam bahasa Belanda bouwploeg yang berarti tempat menjual alat bajak untuk mengolah pertanian. Pada masa lalu pasar ini tempat menjual alat – alat pertanian dan yang paling banyak dijual adalah alat bajak untuk mengolah sawah.
Kata boplo mungkin juga berasal dari sebutan kantor jawatan Pekerjaan Umum masa pemerintahan Belanda yang berada di dekat lokasi pasar. Kantor jawatan pekerjaan umum itu bernama jawatan Bouwploeg yang sekarang kantor itu berubah fungsi menjadi mesjid Cut Mutia
-
Pasar Genjing
Merupakan sebutan nama sebuah pasar kecil yang sekarang terletak di persimpangan jalan Pramuka dan jalan Utan Kayu di Jakarta Timur. Nama genjing berasal dari sebutan pohon besar yang ada dilokasi pasar.
Bagi masyarakat yang berasal dari Jawa, pohon ini disebut dengan pohon sengon. Sedangkan bagi masyarakat dari suku Sunda pohon ini disebut pohon jeungjing.
Karena sulit menyebut nama pohon ini dengan sebutan dari suku Sunda, maka masyarakat Betawi menyebutnya dengan sebutan genjing.
-
Pejagalan
Merupakan nama kampung dan sekarang diabadikan menjadi nama jalan Pejagalan di Kelurahan Pekojan, Jakarta Barat. Nama Pejagalan berasal dari kata jagal atau pemotongan hewan. Pada masa lalu di kampung Pejagalan banyak tinggal orang keturunan Arab dan Pakistan. Mereka senang memasak nasi kebuli yang bahan bakunya adalah beras dan daging kambing karena banyak dan seringnya memotong hewan kambing, maka daerah ini disebut dengan kampung Pejagalan.
-
Petojo
Kawasan Petojo dewasa ini meliputi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Petojo Utara dan Kelurahan Petojo Selatan, termasuk wilayah Kecamatan Gambir, Kotamadya Jakarta Pusat.
Petojo berasal dari nama seorang pemimpin orang – orang Bugis yang pada tahun 1663 diberi hak pakai kawasan tersebut, bernama Aru Petuju. Perubahan dari petuju menjadi petojo, tampaknya lazim di Batavia pada waktu itu, seperti halnya kata pancuran, kemudian diucapkan jadi pancoran.
Beberapa tahun sebelum bermukim di kawasan yang terletak di sebelah barat Kali Krukut itu, Aru (Arung) Petuju bersama dengan Pangeran dari Bone Aru (Arung) Palaka, menyingkir ke Batavia, setelah gagal melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Sultan Hasanuddin dari kerajaan Gowa, yang telah lama dilakukannya. Dengan demikian terjalinlah kerjasama antara Aru(ng) palaka dengan Belanda dalam menghadapi Sultan Hasanuddin. Kerjasama antara dua kekuatan itu berhasil mengakhiri kekuatan Gowa atas Bone. Sultan Hasanuddin terpaksa harus menerima kenyataan, bahwa Belanda akan memegang, monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan. (Poesponegoro 1984 (IV):208).
Sebagaimana umumnya tanah – tanah yang semula dikuasai oleh sekelompok orang dibawah pemimpin masing – masing, kawasan Petojo juga kemudian beralih tangan. Pada tahun 1816 kawasan Petojo sudah dimiliki oleh willem Wardenaar, di samping tanah – tanah di daerah – daerah lainnya, seperti Kampung Duri dan Kebon Jeruk yang pada waktu itu biasa disebut Vredelust (De Haan 1910:101).
-
Penjaringan
Merupakan nama kampung dan sekaligus nama Kelurahan dan nama Kecamatan yang terletak disebelah Utara Pelabuhan Sunda Kelapa. Nama ini berasal dari sebutan tempat yang banyak memproduksi jarring untuk keperluan para nelayan teluk Jakarta.
Cerita lain ada juga yang menyebutkan bahwa nama penjaringan berasal dari tempat yang banyak terdapat jaring – jaring nelayan yang sering di jemur atau jaring yang sedang diperbaiki oleh nelayan. Melihat lokasi ini dekat dengan pantai, maka dua cerita tersebut bias saja menjadi asal – usul kata Penjaringan. Karena luasnya wilayah yang mencakup daerah penjaringan, maka sekarang kita mengenal kecamatan yang bernama Kecamatan Penjaringan.
-
Petamburan
Merupakan salah satu nama kelurahan yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Pada masa lalu rumah penduduk masih jarang dan masih banyak tumbuh pohon jati disekitar daerah ini. Pada suatu waktu terjadi peristiwa yang menjadikan peristiwa tersebut sebagai cikal bakal nama tempat ini. Peristiwa itu adalah meninggalnya seorang penabuh tambur didaerah ini dan dimakamkan di bawah pohon jati, sehingga nama kampung ini sebenarnya adalah Jati Petamburan.
-
Pejambon
Pejambon merupakan sebutan kampung yang bersebelahan dengan kampung Gambir. Kampung ini baru ada sejak Daendels membuka daerah ini dengan sebutan kawasan Weltevreden. Kata Pejambon berasal dari singkatan Penjaga Ambon. Penjagaan tersebut berada disebuah jembatan yang melintasi kali Ciliwung dan penjaganya adalah orang Ambon. Setelah dibangunnya gereja Imanuel di lingkungan kampung ini banyak tinggal masyarakat dari golongan nasrani (beragama Kristen) dari suku Ambon, Jawa dan Batak. Sekarang kampung Pejambon termasuk dalam kawasan Kelurahan Gambir.
-
Pekojan
Merupakan nama Kampung, sekaligus nama Kelurahan yang terdapat di wilayah Jakarta Barat. Pekojan berasal dari kata Koja (Khoja) yang mengacu kepada nama tempat yang ada di India. Penduduk Koja pada umumnya adalah orang India yang senang berdagang, Orang Koja dalam berdagang sekaligus menyiarkan agama Islam.
Karena banyaknya orang India yang umumnya mempunyai pekerjaan berdagang yang bermukim di daerah ini, maka Kampung ini disebut dengan Pekojan atau tempat tinggal orang Koja.
-
Pluit
Kawasan Pluit yang kini dikenal dengan perumahan mewahnya itu merupakan sebuah kelurahan, Kelurahan Pluit, termasuk wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara.
Menurut peta yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau Batavia, 1903, lembar H II dan III, demikian pula pada peta Plattegrond van Batavia, yang dibuat oleh Biro Arsitek di Batavia sekitar tahun 1935, sebutan bagi kawasan itu adalah Fluit, lengkapnya Fluit Muarabaru. Menurut kamus Belanda – Indonesia (Wojowasito, 1978:196), fluit berarti:
1. “suling”; 2. “bunyi suling”; 3. “roti panjang – sempit “.
Rupanya nama kawasan itu tidak ada hubungannya dengan suling, atau pluit semacam pluit wasit sepakbola, atau pluit polisi lalu – lintas. Demikian pula dengan roti panjang – sempit. Ternyata nama kawasan tersebut berasal dari kata fluit, yang lengkapnya: fluitschip, yang berarti “kapal (layar) panjang berlunas ramping”, seperti yang dijelaskan dalam verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal (Koenoen – Endepols, 1948:281). Sekitar tahun 1660 di pantai sebelah timur muara.
Kali Angke diletakan sebuah fluitschip, bernama Het Witte Paert, yang sudah tidak laik laut, dijadikan kubu pertahanan untuk membantu Benteng Vijhoek yang terletak di pinggir Kali Grogol, sebelah timur Kali Angke, dalam rangka menanggulangi serangan serangan sporadis yang dilakukan oleh pasukan bersenjata Kesultanan Banten. Kubu tersebut kemudian dikenal dengan sebutan De Fluit (De Haan 1935:104).
Sebutan Fluit yang berubah menjadi Pluit, ternyata berlanjut sampai dewasa ini, mengingatkan kita pada suasana sekitar pertengahan abad ke-17.
-
Pondok Cina
Merupakan sebutan nama untuk kampung yang ada di perbatasan Jakarta dengan daerah Depok Jawa Barat. Menurut sejarah nama Pondok Cina berasal dari sebutan tempat tinggal sementara bagi orang – orang Cina yang mengelola tanah pertanian yang ada disekitar Depok. Karena jarak Depok dengan Batavia cukup jauh, maka diperlukan pemondokan sementara bagi pekerja penggarap tanah partiklelir tersebut. Pondokan itu dibangun dilokasi kampung Pondok Cina sekarang.
Kemudian dilokasi pemondokan ini oleh orang Cina dibangun rumah besar yang cukup bagus dan oleh masyarakat disebut dengan Pondok Cina.
-
Pondok Gede
Merupakan penyebutan wilayah yang ada dipinggiran sebelah Timur Jakarta yang berbatasan dengan daerah Bekasi. Yang tersisa sekarang adalah penyebutan untuk Pasar Pondok Gede. Nama Pondok Gede berasal dari sebuah bangunan besar yang disebut dengan Landhuis. Bangunan Landhuis adalah rumah besar yang terletak dipinggiran kota sebagai tempat tinggal dan sekaligus sebagai tempat pengurus usaha pertanian dan peternakan.
Sekitar tahun 1775 lokasi ini adalah lahan pertanian dan peternakan yang disebut juga dengan anderneming. Pondok Gede adalah milik tuan tanah yang bernama Johannes Hoojiman yang kaya raya. Bangunan pondok gede merupakan satu – satunya bangunan rumah besar yang ada dilokasi tersebut dan bagi masyarakat pribumi sering disebut pondok gede.
-
Pondok Labu
Kawasan Pondok Labu dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan dengan nama yang sama, termasuk wilayah Kecamatan Cilandak Kotamadya Jakarta Selatan.
Nama kawasan itu diambil dari kata majemuk:pondok dan labu. Pondok berarti “gubuk”, atau “dangau – dangau tempat pemondokan atau ‘ tempat penginapan sementara”. Labu adalah nama beberapa macam tanaman merambat, antara lain labu yang bahasa ilmiahnya Lagenaria hispida Ser. Famili Cucurbitaceae, yaitu labu besar yang biasa dimakan (Fillet 1888: 193). Kata majemuk pondok- labu dapat berarti “pondok atau gubuk yang dirambati ( tanaman) labu”
Kawasan Pondok Labu baru disebut – sebut pada tahun 1803 sebagai milik Pieter Walbeck, disamping Cinere dan Lebak Bulus yang pada jaman dulu oleh orang – orang Belanda biasa Simplicitas (baca Simplisitas). Di kawasan Pondok Labu tuan tanah tesebut mempunyai penggilingan padi dan sebuah rumah peristirahatan yang diberi nama Simplicitas (De Haan 1910, (I):103). Pada peta yang dibuat oleh Topographisch Bureau, Batavia 1900, penggilingan padi dan rumah peristirahatan itu terletak tidak begitu jauh dari Kali Pesanggrahan sebelah utara Rempoa.
-
Pondok Rangon
Merupakan nama kampung yang ada diperbatasan Jakarta dengan Bekasi di Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur. Wilayah Pondok Rangon cukup luas dengan batasnya:
-Sebelah Utara berbatasan dengan markas Hankam Cilangkap
-Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Jagorawi dan
-Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Sunter dan Pondok Gede
Asal – Usul nama Kampung Pondok Rangon berdasarkan cerita lisan masyarakat adalah sebagai berikut. Pada masa lalu ada seorang lelaki tua (aki – aki) yang bermukim disuatu tempat dengan seorang nenek – nenek yang ditemukan ditempat tersebut tanpa melalui perkawinan. Bagi masyarakat Sunda menyebut kehidupan kakek nenek itu dengan istilah Rangon. Karena kakek nenek itu tinggal disuatu pondok, maka masyarakat menyebut tempat itu dengan nama pondok rangon
-
Ragunan
Kawasan Ragunan dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan, Kelurahan Ragunan, termasuk wilayah Kecamatan Pasar Minggu, Kotamadya Jakarta Selatan.
Nama Ragunan berasal dari Pangeran Wiraguna, yaitu gelaran yang disandang tuan tanah pertama kawasan itu, Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperolehnya dari Sultan Banten Abunasar Abdul Qahar, yang biasa disebut Sultan Haji, putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Menarik untuk disimak, bagaimana seorang Belanda kelahiran Steenwijk, dianugerahi gelar begitu tinggi oleh Sultan Banten, musuh Belanda. Sekilas, rangkaian peristiwanya mungkin dapat digambarkan sebagai berikut.
Pada tahun 1675 dari Banten terbetik berita, bahwa sebagian dari Keraton Surasowan, tempat bertahtanya Sultan Ageng Tirtayasa, terbakar Dua bulan setelah kebakaran itu datanglah Hendrik Lucaasz. Cardeel, seorang juru bangunan, mengaku melarikan diri dari Batavia, karena ingin memeluk agama Islam dan membaktikan dirinya kepada Sultan Banten bak pucuk dicinta, ulam tiba, Sultan sedang membutuhkan ahli bangunan berpengalaman, tanpa dicari dating sendiri. Kemudian Cardeel ditugasi memimpin pembangunan istana, dan kemudian bangunan – bangunan lainnya, termasuk bendungan dan istana peristirahatan si sebelah hulu CiBanten, yang kemudian dikenal dengan sebutan bendungan dan istana Tirtayasa.
Seluruh perhatian sultan Tirtayasa seolah – olah tersita kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh Cardeel. Rupanya tidak sedikit pun terlintas dalam pikirannya untuk melakukan suatu gerakan militer ke Batavia, ketika sebagian besar kekuatan Kompeni sedang dikerahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam rangka “membantu” Mataram menghadapi Pangeran Trunijoyo, dari tahun 1677 sampai akhir tahun 1681.
Dalam pada itu Sultan Haji terus – menerus mendesak agar dia segera dinobatkan menjadi Sultan. Akhirnya terjadilah perang perebutan tahta antara ayah dan anak. Dalam keadaan terdesak, Sultan Haji mengirim utusan ke Batavia , untuk meminta bantuan Kompeni. Dengan bantuan Kompeni akhirnya Sultan Haji berhasil menduduki tahta Kesultanan Banten, sudah barang tentu dengan keharusan memenuhi segala tuntutan penolongnya, Belanda.
Adapun yang diutus ke Batavia, untuk meminta bantuan itu, tidak lain tidak bukan, adalah Kiai Aria Wiraguna, alias Cardeel. Atas jasanya itu, Cardeel ditingkatkan gelarannya, menjadi Pangeran Wiraguna.
Beberapa tahun kemudian oleh Pangeran Wiraguna Kesultanan Banten terasa sempit, karena semakin banyak yang tidak menyukainya. Pada tahun 1689 Cardeel pamit kepada Sultan, dengan dalih akan pulang dahulu kenegerinya. Tetapi ternyata dia terus menetap di Batavia, kembali memeluk agama Kristen dan menjadi tuan tanah yang kaya raya. Tanahnya yang terluas adalah dikawasan yang namanya sampai dewasa ini mengingatkan kita pada seseorang Belanda jaman VOC yang sangat beruntung, Hendrik Lucaasz Cardeel bergelar Pangeran Wiraguna, yang makamnya oleh sementara orang bangsa Indonesia dikeramatkan (Sumber De Haan 1910, 1911, 1935; Colenbrander 1925, jilid 2).
-
Rawa Badak
Merupakan penyebutan daerah atau kampung yang terletak dekat pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta Utara. Asal – usul nama Rawa Badak berasal dari penyebutan tempat yang merupakan rawa – rawa yang sangat besar. Daerah ini pada masa lalu merupakan rawa – rawa yang luas, kemudian oleh para pendatang rawa ini diuruk sehingga tanah di daerah ini kering dan layak dihuni.
Rawa Badak berasal dari dua kata yang digabung. Rawa berarti tempat yang selalu basah karena banyak air dan badak berasal dari bahasa Sunda atau Jawa yang berarti besar atau luas. Maka bagi orang Sunda atau orang jawa daerah ini disebut dengan Rawa Badak yang artinya rawa yang luas.
-
Roa Malaka
Kawasan Rowamalaka, atau Ruamalaka, dewas ini menjadi sebuah Kelurahan, Kelurahan Roamalaka, termasuk wilayah Kecamatan Tambora, Kotamadya Jakarta Barat.
Mengenai asal nama kawasan itu ada dua pendapat. Pertama berasal dari kata rawa dan malaka” sebuah rawa dengan pohon malaka” (Garicinia cornea L. termasuk keluarga Clusiaceae), yang buahnya dapat dimakan. Hal itu masuk akal, karena kawasan tersebut jaman dahulu memang berawa – rawa, sedang pohon malaka dapat tumbuh di dataran rendah.
Keterangan lain menyatakan, bahwa kawasan tersebut dikenal dengan nama Roa – Malaka, karena pernah dijadikan tempat pemukiman orang – orang Portugis yang ditawan di Malaka, setelah kota tersebut pada tamggal 1 Januari 1641 direbut oleh Belanda dari orang – orang Portugis yang menguasainya selama 130 tahun. Sebagian besar orang – orang Portugis yang ditawan ditempatkan di Nagapatman, pantai barat India. Sebagian lagi ditempatkan di Batavia (De Haan 1935:83). Golongan atas dari tawanan perang itu, termasuk mantan Gubernur Malaka Dom Luiz Martin de Chichorro, ditempatkan di Jonkersgracht, yang pada jaman itu terbilang daerah pemukiman elit (J.R. van Diessen 1989:191).
Jonkersgracht kemudian dikenal dengan sebutan Rua Malaka atau Jalan Malaka Rua Malaka lambat – laun berubah pengucapannya, menjadi Roa Malaka. Pada masa pemerintahan Van Der Cappellen (1816 – 1826), Jonkersgratch diuruk (De Haan 1935:205), mungkin karena proses pendangkalannya makin cepat sehingga menimbulkan genangan – genangan air yang menjadi sumber penyakit (De Haan 1935:205).
-