http://massandry.blogspot.com
Barangkali sedikit saja orang yang tahu bahwa sejarah bioskop nasional hampir sama tuanya dengan sejarah bioskop internasional.
Sejarah bioskop dimulai tahun 1895, ketika Robert Paul mendemonstrasikan kepada masyarakat di London mengenai kemampuan proyektor film.
Alat itu membuat serangkaian gambar statis (still photo) yang disorot ke layar serta merta menjadi gambar hidup (moving image).
"Jadi, dari segi penayangan gambar hidup, hanya terpisah lima tahun dengan di negara kita," ujar tokoh perbioskopan HM Johan Tjasmadi.
Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia periode 1970-1999 ini baru saja meluncurkan buku "100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000)", sebuah sumbangan bagi industri bioskop dan sekaligus kado ulang tahunnya yang ke-71.
Buku itu semula dijadwalkan terbit 5 Desember 2000, tepat satu abad sejak penayangan gambar hidup untuk pertama kali terjadi di Bumi Pertiwi.
Dalam bukunya, Johan mengatakan bahwa film masuk ke Hindia Belanda (Batavia, sekarang Jakarta) semula hanya lantaran rasa kebanggaan orang kulit putih yang tidak mau kalah dari saudara-saudaranya yang tinggal di tanah airnya.
Setahun kemudian muncul fenomena layar tancap, antara lain di Deca Park (Gambir), Lapangan Tanah Abang, Lapangan Mangga Besar, Lapangan Stasiun Kota (Beos).
"Tidak lama setelah itu (1903), sudah berdiri beberapa bioskop antara lain Elite untuk penonton kelas atas, Deca Park, Capitol untuk penonton kelas menengah, Rialto Senen dan Rialto Tanah Abang buat penonton kalangan menengah dan menengah ke bawah," tulis Johan dalam bukunya.
Kulit putih
Berdasarkan data tahun 1936, di seluruh wilayah Hindia Belanda terdapat 225 bioskop, terbanyak di Bandung (9), Jakarta (13), Surabaya (14), dan Yogyakarta (6).
Dibandingkan pengusaha "kulit putih" dan pribumi, pengusaha China mendominasi kepemilikan bioskop.
Mengapa demikian?
Johan mengaku tidak punya referensi tertulis. Tetapi berdasarkan pengalamannya ketika menjabat sekretaris GPBSI dan sering berkeliling daerah untuk mewawancarai pengusaha bioskop, ada dua kesimpulan yang diperoleh.
Pertama, pengusaha China saat itu merasa tertantang oleh anggapan bahwa hanya orang kulit putih yang mampu membuka usaha bioskop.
Kedua, dengan undangan nonton bioskop yang dibuat indah, mereka dapat mengiringi pengiriman hadiah makanan dan minuman (upeti) untuk para pejabat Belanda yang menjadi relasi mereka.
"Saya sendiri tidak berani memastikan kebenarannya, meskipun ada referensi (hasil wawancara) tertulis, tetapi kebanyakan pengusaha itu keberatan jika identitasnya diungkapkan," kata Johan.
Sepanjang tahun 1920-1930-an, film-film yang masuk ke Hindia Belanda berasal dari Amerika (Hollywood), Eropa (Belanda, Perancis dan Jerman), dan China (Legenda Tiongkok Klasik).
Tahun 1925, film produksi terbaru Hollywood pun sudah diputar di bioskop Hindia Belanda, bahkan lebih dahulu dari Negeri Belanda.
Setahun kemudian, film pertama Indonesia pun lahir, yakni "Loetoeng Kasaroeng", dibuat oleh L Houveldorp dengan dukungan Bupati Bandung pada masa itu.
Setelah itu, lahir pula Eulis Atiih, Lily van Java, Resia Boroboedoer, Nyai Dasima, Rampok Preanger, Si Tjomat, Njai Siti, Karnadi Anemer Bengkok, Lari Ka Arab, Melati van Agam, Nyai Dasima II dan III, Si Ronda, dan Ata De Vischer yang mengawali lahirnya film bersuara (1931).
Berikutnya, muncul film Bung Roos van Tjikembang, Indonesia Malasie, Sam Pek Eng Tay, Si Pitoeng, Sinjo Tjo Main Di Film, Karina`s Zeffopoffering, dan Nyai Dasima sebagai film bicara pertama (1932), disusul Raonah, Terpaksa Menika (film berbicara-musik) dan Zuster Theresia.
Pada periode 1933-1936, film Hindia Belanda diwarnai kisah-kisah legenda Tiongkok, di antaranya Delapan Djago Pedang, Doea Siloeman Oelar, Ang Hai Djie, Poet Sie Giok Pa Loei Tjai, Lima Siloeman Tikoes, dan Pembakaran Bio.
Sampai memasuki periode 1937-1942, film yang beredar di Hindia Belanda umumnya diproduksi oleh pengusaha keturunan China.
Keuntungan dari Jepang
Pada periode 1942-1945, setiap bioskop di Hindia Belanda diwajibkan menayangkan slide dan memutar film-film pendek berisi bahan penerangan dan propaganda Pemerintah Pendudukan Jepang.
Pembentukan Jawa Eiga Kosha (perusahaan film) dan Jawa Eiga Haikyu Sha (perusahaan distribusi) menjadi awal pelarangan bagi film impor (Amerika dan Inggris).
Nama bioskop pun banyak yang diganti, misalnya Rex Bioscoop di Jakarta menjadi Yo Le Kwan, Emma Bioscoop di Malang menjadi Ki Rak Kwan, Central Bioscoop di Bogor menjadi Thoeo Gekijo.
Untuk menarik hati kaum Muslimin, bioskop dilarang beroperasi pada waktu maghrib dan isya. Bioskop yang semula hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih, seperti Deca Park dan Capitol, dibuat terbuka untuk pribumi.
Belakangan, pemerintah pendudukan Jepang juga membangun Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho), tempat sineas pribumi menjadi pengurus di dalamnya, antara lain Mohammad Jamin, Chaeroel Saleh, R.M Soetarto, Kaharudin, Armijn Pane, Usmar Ismail, Cornel Simandjoentak.
Keberadaan sineas pribumi di kantor itu memudahkan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan untuk mendapatkan buku-buku sitaan dari Belanda yang mahal dan isinya semakin membuka wawasan politik dan kebangsaan mereka.
Pada masa pendudukan Jepang di Nusantara, jumlah bioskop menurun tajam, dari semula sekitar 300 gedung menjadi hanya 52 gedung, masing-masing tersebar di Surabaya, Malang, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta.
Penyebabnya hanya satu, harga tiket yang mahal, setara harga satu kilogram beras jatah pemerintah (10 sen) dan film yang diputar hanya berisi propaganda tanpa sedikitpun mengandung unsur hiburan.
Setelah Jepang menyerah di PD II, Soekarno-Hatta pun memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, dan mulai dari itu lahirlah tiga lembaga perfilman yang menjadi cikal bakal film Indonesia.
Ketiga lembaga itu adalah Perusahaan Produksi Film, Perusahaan Peredaran Film, dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia).
Film Indonesia yang diproduksi setelah kemerdekaan antara lain Air Mata Mengalir di Tjitaroem yang disutradarai oleh Rustam St Panidih, Anggrek Boelan (Anjar Asmara), Djaoeh Dimata (Anjar Asmara), Aneka Warna (Moh Said), Bengawan Solo (Jo An Tjiang), Harta Karun (Usmar Ismail), Menanti Kasih (Moh Said), Sehidup Semati (Fred Young), dan Tjitra (Usmar Ismail).
Tukang sobek karcis
Buku "100 Tahun Bioskop Indonesia (1900-2000)" merupakan kado ultah ke-71 H.M Johan Tjasmadi.
Pria asal Pekalongan itu telah bekerja di dunia usaha bioskop dan film sejak 1954, dan mengawali karirnya sebagai penjaga sepeda di bioskop Garden Hall (sekarang TIM 21).
Belakangan, Johan remaja alih profesi sebagai tukang sobek karcis hingga akhirnya sukses meraih jabatan manajer bioskop.
Keluwesannya dalam pergaulan membuat ia disukai banyak pengusaha bioskop, yang kemudian mempercayainya sebagai Ketua GPBSI selama 1970-1999.
Dalam menulis buku tentang sejarah satu abad bioskop di Tanah Air, ia mengaku hanya menuangkan apa yang diketahuinya.
"Saya tidak menggunakan metode apapun dalam menulis buku ini. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat, paling tidak bisa dijadikan dasar bagi siapa saja yang ingin menulis selanjutnya," katanya, dalam acara bedah buku yang dihadiri Rosihan Anwar, Titi Said dan Ilham Bintang.
Menurut Rosihan, dirinya sendiri masih ragu, apakah buku itu merupakan biografi Johan Tjasmadi atau buku yang berisi data kering tentang sejarah bioskop nasional.
Sementara Ilham Bintang menyatakan apa yang dilakukan Johan Tjasmadi perlu diacungi jempol, karena selama ini tidak ada yang mau membuat buku yang menjadi data penting dalam sejarah film Indonesia.
Senada Ilham, Ketua LSF Titi Said pun menyatakan bahwa Johan di masa tuanya telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan film dan bioskop di Indonesia.
"Beliau telah memberikan semua yang dimilikinya dalam buku ini," kata Titi.
Diterbitkan PT Megindo Tunggal Sejahtera, buku "100 Tahun Bioskop di Indonesia" dijual seharga Rp85.000, lengkap dengan sebuah DVD Sejarah Perfilman Indonesia karya sutradara Akhlis Suryapati. (*)
COPYRIGHT © 2008