Bacaan Ringan "PASUKAN KAMIKAZE : PENGORBANAN TERTINGGI SEBUAH PERJUANGAN - PART 2 "
http://massandry.blogspot.com
Sebuah kamikaze, pesawat Mitsubishi Zero, yang akan menabrak USS Missouri.
Kamikaze pertama dilakukan oleh Laksamana Madya Masafumi Arima, komandan Armada Udara ke-26 pada 15 Oktober 1944. Tatkala memimpin 100 pembom tukik Yokosuka D4Y, is tiba-tiba menukikkan pesawatnya ke arah kapal induk USS Franklin. Kapal itu pun hancur. Pangkat Arima kemudian dinaikkan setingkat menjadi Laksamana.
Masafumi Arima
Hingga kini, seberapa besar jumlah kapal perang yang berhasil dihancurkan pasukan kamikaze masih menjadi perdebatan sejumlah pihak. Menurut catatan AU AS, Jepang setidaknya telah melancarkan 2.800 serangan kamikaze dan menenggelamkan 34 kapal perang. Kamikaze juga telah merusak 368 kapal, membunuh 4.900 pelaut, serta melukai 4.800 orang lainnya.
Meski sudah melawan mati-matian, Jepang toh tak bisa menepis kekalahan. Bom atom yang dijatuhkan AS di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 benar-benar mengandaskan ambisi Jepang yang ingin menguasai Asia Pasifik. Rakyat Indonesia sendiri tak akan pernah melupakan kekejaman Jepang yang selalu ingin disebut Pemimpin Asia, Pelindung Asia dan Cahaya Asia itu.
Sukar dinalar Kekalahan, dalam tradisi dan kebudayaan Jepang, ternyata merupakan fakta yang amat memalukan. Secara turun temurun orang Jepang seperti sudah mewarisi watak untuk pantang menerima kekalahan. Dalam pekerjaan dan cita-cita, mereka akan berusaha merengkuhnya dengan gigih. Sementara dalam bertempur, mereka akan berusaha menundukkan musuh-musuhnya hingga titik darah terakhir.
Pada saat yang sangat kritikal, tentara Jepang kerap dirasuki semangat Bushido: loyal dan menjunjung tinggi kehormatan sampai mati. Inilah yang luar biasa dan tak dimiliki bangsa-bangsa lain. Semangat ini merupakan warisan utama dari tradisi Samurai – para pejuang yang menjadi pendahulu mereka. Mereka berjuang demi kehormatan bangsa dan Kaisar, kalau perlu sampai menyerahkan nyawa.
Bushido adalah buah keyakinan, dan yang namanya keyakinan memang sukar dinalar. Itu sebab, hanya kesima dan guman tak masuk akal saja yang muncul jika kita ingin memahami keyakinan yang mendasari keberanian untuk mengorbankan nyawa itu. Ketika semangat kamikaze sudah merasuk ke dalam jiwa, tindakan mereka seolah tak lagi masuk akal.
Semangat bushido tumbuh, hidup dan dipelihara di lingkungan Samurai, kelompok pejuang kelas menengah atas yang rela mengorbankankan nyawa demi mempertahankan budaya dan kekuasaan Kaisar. Bagi mereka, Kaisar adalah titisan Dewa Matahari yang harus dijaga keberadaannya. Mereka akan berjuang habis-habisan dengan seluruh skill dalam berlaga. Meski kaum Samurai hanya hidup antara tahun 905 hingga pengujung abad ke-12, semangatnya masih tertanam dalam sanubari kebanyakan orang Jepang, hingga sekarang.
Selain didasari semangat Bushido, keberanian mengorbankan nyawa juga dilandasi sentimen nasionalisme akibat ketaatan yang amat tinggi terhadap Shinto, agama yang dianut hampir seluruh orang Jepang. Shinto juga menanamkan pegangan hidup agar menaruh hormat kepada negara dan Kaisar. Lewat Shinto mereka menyakini, bahwa dengan mengorbankan nyawa, roh akan menjadi “eirei” atau penjaga negara.
Nama pasukan kamikaze yang gugur di medan tugas akan diabadikan di Kuil Yasukuni. Penganut Shinto yang fanatik akan merasa terhormat jika namanya diabadikan di kuil ini, karena Yasukuni merupakan satu-satunya kuil di Jepang yang dikunjungi Kaisar. Kaisar akan mengunjunginya dua kali dalam setahun.
Meski begitu, toh ada juga sekolompok orang Jepang yang memandang keyakinan itu amat berlebihan atau mengada-ada. Tsuneo Watanabe Redaksi harian Yomiuri Shimbun, misalnya, menganggap bahwa cerita tentang pilot-pilot muda yang mau melakukan serangan kamikaze dengan gagah berani dan bahagia melakukannya sebagai bohong belaka. Mereka lebih meyakini semua itu dilakukan dengan keterpaksaan. Mereka adalah pemuda Jepang yang tersesat di “rumah pembantaian”.
“Mereka tertunduk, sebagian tak sanggup berdiri, sehingga harus dipaksa masuk ke dalam kokpit,” ungkap Watanabe, mengisahkan penderitaan pilot-pilot muda yang direkrut masuk ke dalam kesatuan udara kamikaze.
Saburo Sakai, salah satu aces kenamaan Jepang dari masa Perang Pasifik, bahkan termasuk orang yang memandang miris pasukan ini. Terlebih karena sebagian dari pilot-pilot muda itu adalah murid-muridnya sendiri. Ia tak habis pikir, mengapa pimpinan Tentara Jepang sampai membentuk pasukan bunuh diri.
Di mata Saburo Sakai yang tutup usia pada tahun 2000 akibat serangan jantung, kamikaze adalah blunder tentara Jepang. Hingga di penghujung usianya, dia mengaku kecewa dan masih sering membayangkan wajah murid-muridnya yang gugur dengan cara yang konyol itu. “Pimpinan Tentara Jepang telah berbohong bahwa para pilot kamikaze telah menyerahkan diri secara sukarela. Mereka berbohong.” Menurutnya, kamikaze memang bisa digunakan sebagai serangan kejut, dan ini memang merupakan salah satu taktik perang. Namun taktik seperti ini hanya efektif jika dilakukan sekali, dua kali, atau tiga kali. Tetapi jika dilakukan sampai sepuluh bulan, kamikaze sudah sangat berlebihan. Tak akan ada artinya lagi. Kaisar Hirohito sebenarnya harus menghentikan serangan ini.
Apa pun itu, meski akhirnya ditentang sekali pun, kamikaze tetap menjadi legenda yang selalu hidup. Yang tak pernah terlupakan, meski lawan yang diahadapi adalah negara superhebat yang memiliki berbagai keunggulan dan tak pernah habis diceritakan.
Sumber:
"(Review of) No Surrender: German and Japanese Kamikazes" Bill Gordon, 2005.
Wikipedia
Sejarahperang.com
Divine Thunder: The life and death of the Kamikazes, Bernard Millot, 1971.