Saturday, June 30, 2018

Bacaan Ringan "SEJARAH KISAH PERBUDAKAN DI BATAVIA - PART 8"

http://massandry.blogspot.com
Pemilik budak, ternyata, bukan cuma para tuan Eropa. Dalam perkembangan-nya, terdapat pula bekas budak yang menjadi tuan, kaya, kemudian membeli pula budak-budak. Agaknya para bekas budak ini tak belajar dari pengalaman perasaannya, tapi lebih cepat larut pada kebiasaan yang berjalan tradisi perbudakan itulah. Para bekas budak VOC itu dikenal dengan nama mardijkers. Mereka umumnya berasal dari pantai India dan Sri Lanka, khususnya Benggala. Kawasan ini merupakan penyuplai budak cukup tebal, sampai VOC kehilangan kekuasaan di sana. Mardijkers ini mula-mula dibebaskan sebagai budak karena mereka memeluk agama Kristen – ada ketentuan budak-budak yang masuk Kristen memang harus dibebaskan.

Namun, sulit dipastikan apakah ini satu-satunya alasan karena, di banyak kasus perbudakan, agama Kristen sama sekali tak jadi jaminan. Tapi begitulah catatan yang dibuat klerk-klerk VOC. Para bekas budak itu tercatat dibaptis di Gereja Reformasi Buitenkerk – ketika itu terletak tak jauh dari benteng Batavia. Salah satunya adalah Sigonora Dehan atau dikenal pula sebagai Titus van Bengalen (Titus dari Benggala). Ia dibaptis dengan saksi-saksi: Pieter Michielsz dan Monica van Bengalen. Sesudah dibaptis Titus dari Benggala ini menjadi warga bebas dengan nama baru Titus Michielsz – mengadopsi nama saksinya. Titus adalah salah satu contoh munculnya masyarakat Indo yang campur aduk, yang kemudian membentuk masyarakat tersendiri – merasa bukan Belanda tapi bukan juga pribumi. Titus Michielsz kemudian kawin dengan seorang gadis Indo, Martha Pieters, dan mendapat anak laki-laki yang dengan keputusan Gubernur Jenderal disebut inlandsche borger atau warga pribumi bebas – bukan budak. Dari keturunan ini, keluarga Michielsz mulai mendapat kesempatan mencari untung dan mulai pula menumpuk kekayaan.

Keturunan Michielsz yang terakhir tercatat Agustijn Michielsz. Ia ini seorang tuan tanah yang kaya raya. Tanahnya meliputi seperempat Keresidenan Batavia. Agustijn dikenal dengan panggilan Majoor Jantje. Majoor ini dikenal mempunyai sebuah rumah besar yang megah dan mewah di Semper Idem di pinggiran Batavia. Rumah ini dibelinya dengan harga sangat mahal karena awalnya milik Raad Ordinair Jacobus Martinus Baalje.

Namun, pada kenyataannya, Majoor Jantje tak betah nangkring di rumah megah bergaya Eropa itu dan lebih sering leha-leha di pesanggrahannya di Desa Tjitrap (Citeureup) dilayani – nah – 160 budak. Di pesanggrahannya ini Jantje menjamu pembesar-pembesar pemerintah dengan acara-acara yang eksotis. Dan para pembesar yang ningrat Belanda mulai pula menyukai sajian Jantje. Acara itu, antara lain, tandakpartijen – tak lain dari ngibing – yaitu para tamu bergantian menari dengan budak-budak perempuan yang bersolek dengan dandanan sangat seksi. Kita tahu apa yang menarik dari pertunjukan unik Jantje itu. Orkes yang mengiringi tarian itu sudah tentu bukan orkes Eropa, tapi orkes budak yang terdiri dari 20 orang pemain musik yang sedikit asal-asalan. Alat musik yang digunakan tak mengikuti kamus orkestra mana pun, tapi eksperimen bunyi dengan ketentuan asal ramai.

Dari cerita-cerita Betawi, banyak yang menduga, inilah asal muasal musik Tanjidor, yang menjadi sangat populer pada awal abad ke-19. Saking pandainya bergaul dan menyervis penguasa, pergaulan Jantje makin lama makin menanjak. Belakangan, sampai komisaris jenderal VOC datang berkunjung ke pesanggrahannya di Citeureup. Satu generasi sebelumnya hal itu tak mungkin terjadi karena Mardijkers kendati sudah kaya raya tetap saja dianggap rendah oleh penguasa kolonial kulit putih. Mereka, kata para orang putih, walaupun menggunakan pakaian yang mahal-mahal – kemeja berenda dengan pantalon yang berlimpit – tetap saja norak. Umpamanya saja jarang menggunakan sepatu atau, kalau toh memakai sepatu, tanpa kaus kaki. Mereka juga biasanya menggunakan topi mahal lengkap dengan bulu burung. Tapi barangkali ia gerah, topi itu lebih banyak ditenteng. Karena itu, Mardijkers dikenal pula dengan nama ejekan hoeddragers (penenteng topi). Namun, di sisi lain, para penguasa terbilang punya juga kepentingan bersahabat dengan Majoor Jantje. Dan juga secara terencana membuat Indo Benggala ini jadi kaya raya. Soalnya, Jantje adalah komandan kompi Papangers, pasukan bela diri – setingkat pasukan komando – yang umumnya terdiri dari jago-jago berkelahi orang Pampanga, keturunan Luzon.

Papangers ini adalah bagian dari pasukan Kompeni yang disebut Schutterij, pasukan pribumi yang terdiri dari berbagai divisi yang terkelompok dalam suku: Bugis, Makassar, Jawa, dan Bali. Di antara divisi-divisi itu pasukan Majoor Jantje tampaknya yang paling top. Karena itu, ia termasuk bisa menjamin keselamatan, selain menghadapi serangan dari luar, juga bahaya konflik antarklik di antara kekuatan pegawai VOC. Dalam perang, adu kekuatan, dan pengamanan umumnya, para Schutterij inilah yang maju, sementara para opsir Belanda yang disebut Pennist ongkang-ongkang saja di garis belakang – berdalih menyusun strategi, padahal perang di masa itu yang bergaya perang ketoprak mana perlu strategi.

Pangkat yang disandang Majoor Jantje kala itu sebenarnya setingkat kolonel. Pada masa Belanda itu, dalam deskripsi disebutkan, oud-majoor setingkat di atas majoor. Dalam tingkat kepangkatan sekarang memang dikenal mayor senior, overste (letnan kolonel), baru kolonel. Namun, di masa itu, mayor senior terbilang sama dengan kolonel – tapi yang kolonel, umumnya, perwira Belanda. Jantje lebih suka menggunakan pangkat majoor, karena pengertian itu bisa juga diartikan lain: majoor (atau kapitein) der Mardijkers.

Ini bukan kepangkatan dalam militer, tapi kepangkatan dalam masyarakat, yaitu kepala masyarakat Mardijker. Mardijkersj, pengikut Jantje di Batavia, tercatat sebagai warga bebas: vrijman, gheen slaeve – bukan budak. Salah satu pembuktian paling nyata dari kebebasan itu – baik simbolis maupun status resmi – adalah mereka memiliki budak. Tapi pada kenyataannya Mardijkers ini tetap saja dianggap warga negara kelas dua. Bukan cuma dicemoohkan, tapi dalam berbagai hal juga sulit mendapat izin. Paling jauh mereka mendapat status sama dengan warga negara keturunan asing, Cina dan Arab. Pada mereka juga dikenakan peraturan pemukiman, dan harus mempunyai izin bila berkeliaran di luar permukiman.

Ketika Agustijn Michielsz, si Jantje, meninggal, 1833, ia menulis wasiat agar budak-budaknya dibebaskan. Namun, keluarganya berpendapat lain. Dalam iklan di Javasche Courant, 9 Maret 1833, terlihat keluarga Majoor Jantje menjual 75 budak, yang perinciannya: koki, pemasang lampu, jongos, penjahit, pembuat lonceng, pembuat sambal, tukang cuci, peniup suling, dan pemain harpa.

__________________
Sinarmentaripagihari.wordpress.com

Newer Post Older Post Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds