Saturday, June 30, 2018

Bacaan Ringan "SEJARAH KISAH PERBUDAKAN DI BATAVIA - PART 5"

http://massandry.blogspot.com
Budak di lingkungan pejabat Kompeni biasanya berkembang mengikuti kenai- kan jenjang karier dan kekayaan mereka Misalnya dr. Paulus Valckenaer, semula cuma menjabat kepala kesehatan kota (stadgeneesheer). Dia masuk dalam pangkat opperkoopman (kepala pembelian). Jumlah budaknya pada awal karier cuma 27 orang, termasuk dua orang pemain biola. Ketika ia diangkat jadi gubernur Ternate, budaknya mencapai 70 orang. Memiliki budak sebanyak mungkin seperti sudah diutarakan – merupakan salah satu gaya hidup pembesar VOC. Hal ini menyangkut status dan gengsi. Pejabat yang hanya mempunyai dua orang budak dianggap kere. Orang melarat.

Maka, tak mengherankan, muncullah persaingan di antara mereka untuk memiliki budak sebanyak-banyaknya. Melihat perlombaan yang tak sehat ini, pada tahun 1755, Gubernur Jenderal J. Mossel mengeluarkan maklumat penyederhanaan jumlah budak yang boleh dipunyai oleh seorang pejabat.

Maklumat itu antara lain memuat peraturan jumlah budak yang diperbolehkan mengiring seorang nyonya pejabat sesuai dengan tinggi rendahnya jabatan sang suami. Misalnya seorang istri atau janda kepala Pengadilan Tinggi hanya boleh memamerkan tiga orang budak pengiring. Istri opperkoopman hanya boleh dua orang budak. Mereka yang suaminya di bawah dari jabatan itu cuma diperbolehkan membawa seorang budak saja yang biasanya mengiringi majikan sambil membawa payung dan benda-benda lainnya. Mossel juga menetapkan pakaian dan perhiasan apa saja yang boleh dipinjampakaikan kepada para budak. Semua ini dalam konteks “hidup sederhana” dan lepas dari kebiasaan jor-joran.

Perbudakan menggambarkan berlebihnya kekayaan Kompeni dan pegawai-pegawainya yang didapat tak bisa lain dari korupsi, karena nyata-nyata tak wajar. Setiap kali VOC menang dalam penguasaan wilayah perdagangan, berarti pula jumlah budak mereka bertambah. Pada tahun 1614, ketika Kompeni berhasil merebut Malaka dari kekuasaan Portugis, sejumlah 210 budak termasuk dalam daftar kekayaan hasil perang. Semua budak itu biasanya diangkut ke Batavia, sehingga benteng VOC yang tak seberapa luas itu – lokasinya kini berada di sekitar gedung Pantja Niaga, Jalan Roa Malaka, Jakarta Kota bertambah padat populasinya.

Jan Pieterszoon Coen, dalam sebuah suratnya tanggal 26 Juni 1620, kepada direksi VOC di Amsterdam mengeluh, jumlah budak dan warga kota bebas (vrije borger), yaitu orang Eropa yang bukan serdadu Kompeni di permukiman bentengnya, mencapai dua ribu orang. Ini menandakan meningkatnya jumlah budak. Jumlah ini terus bertambah sehingga pada tahun 1757, Batavia mengalami ledakan populasi budak. Pembatasan pun perlu diberlakukan mengingat masalah keamanan. Peraturan yang ditetapkan menentukan jumlah budak yang diperkenankan tinggal dalam benteng tak boleh lebih dari 1.200 orang. Sebagian dari budak itu kemudian diseberangkan ke pulau-pulau yang ada di Teluk Jakarta. Tapi pada suatu saat, budak-budak yang ada di “pulau buangan” meledak pula jumlahnya.

Keluar lagi pengumuman bahwa Pulau Onrust, yang luasnya 12 ha, tak boleh menampung lebih dari 300 orang budak. Januari 1758, keluar lagi pengumuman pembatasan yang lebih ketat. Hanya budak yang usianya 14 tahun ke atas yang boleh masuk Batavia. Batavia, pada akhir abad ke-17, telah menjadi pusat perniagaan dan pusat kekuasaan VOC di Asia Timur.

Newer Post Older Post Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds