Saturday, June 30, 2018

Bacaan Ringan "SEJARAH KISAH PERBUDAKAN DI BATAVIA - PART 9"

http://massandry.blogspot.com
Gerakan antiperbudakan muncul, 1845, meluas pada sekelompok orang Belanda yang bermukim di Batavia. A.R. van Hoevel, yang pernah bermukim di Jawa misalnya, setibanya di negerinya menulis De Slavernij in Nederlandsch Indie, sebuah buku yang cukup jujur dalam membeberkan kebobrokan bangsanya sendiri dalam hal perbudakan.

Penulis lainnya ialah Willem van Hogendorp, seorang administratur Pulau Onrust: Kecamannya tentang perbudakan antara lain diterbitkan dalam bentuk buku setebal 43 halaman. Judulnya Kraspoekol, of de droevige gevolgen van Eene te Verregaande Strengheid jegen de Slaafen. “Kraspoekol” (yang berasal dari kata “keras” dan “pukul”) adalah akibat mengerikan dari perlakuan yang terlalu kejam terhadap budak-budak.

Seperti juga kisah Rossinna karangan Kommer, Hogendorp menerangkan, kata “kraspoekol” berasal dari kisah sungguhan tentang seorang nyonya yang kemudian dijuluki Nyonya Kraspoekol karena selalu menyiksa budak-budaknya dengan kejam. Dalam kisah Hogendorp Tjampakka, seorang budak perempuannya yang cantik mati karena dihukum bakar. Tapi karena itulah, Nyonya Kraspoekol bersama mandornya juga mati karena keris seorang budak yang lain. Anak Hogendorp, bernama Dirk, kemudian mengubah Kraspoekol dan menulis kembali dalam bentuk sandiwara.

Judulnva disederhanakan: Kraspoekul of Slavernij. Lakon Kraspoekol mendapat sambutan hangat. Para kritikus Belanda kemudian menempatkan Kraspoekol sebagai acuan ide yang mengilhami cerita perbudakan lain Uncle Tom’s Cabin – yang kemudian sangat terkenal.

Di Negeri Belanda, kabarnya, Kraspoekol sama populernya dengan buku Multatuli. Keduanya pada akhir abad ke-19 membangkitkan gerakan politik etis untuk tanah jajahan Belanda, Nederlandsche Indie. Pers cetak di Hindia Belanda pun ikut menempatkan diri sebagai pahlawan. Mereka menolak iklan pelelangan atau penjualan budak, setelah gerakan antiperbudakan mendapat angin. Komisaris jenderal Kerajaan yang menerima penyerahan pemerintahan Inggris atas Pulau Jawa pun tetap melarang perbudakan dan mengeluarkan serangkaian peraturan yang mempersulit kedudukan para pemilik budak, yang sudah diperhalus dengan sebutan lijfeheer.

Tahun 1860, tepat tanggal 1 Januari, perbudakan berakhir di Hindia Belanda, khususnya Batavia. Praktek itu dinyatakan terlarang menurut undang-undang. Bila dilihat lebih luas, tampak gerakan antiperbudakan yang kemudian membuahkan larangan terhadap praktek itu tidak datang dari kesadaran para tuan pegawai VOC. Lebih cocok ia dikatakan akibat meluasnya paham antiperbudakan yang berawal di Eropa dan Amerika.

Gerakan kemanusiaan ini dimotori kaum intelektual yang dikenal sebagai golongan liberal – yang juga membuahkan berbagai pikiran baru di bidang politik dan tata negara. Dengan terbukanya Terusan Suez pada tahun 1869, perjalanan Eropa-lndonesia menjadi lebih cepat. Melalui Tanjung Harapan perjalanan makan waktu tujuh bulan, sedangkan melalui Terusan Suez cuma tiga minggu. Singkatnya perjalanan ini membuat banyak orang Belanda berdatangan ke negeri jajahan yang dikuasai para pedagang VOC. Yang ikut berdatangan, antara lain, mereka dari kelompok liberal itulah. Juga para nyonya dan nona Belanda yang dulunya takut dilahap para pelaut beringas.

Sastrawan Indo terkenal Rob Niuewenhuijs dalam bukunya Over Europeesche Samenleving van “Tempo Doeloe” menyebutkan kedatangan orang-orang Belanda itu sebagai eksodus orang-orang yang ingin mencari keuntungan secara halal, atau ingin berspekulasi mengadu nasib, atau bertualang. Yang pasti, mereka adalah orang-orang yang lebih berpikir, terdidik, dan – katakanlah – berbudaya.

Bila dibandingkan dengan para pedagang VOC yang kemudian jadi penguasa yang datang jauh lebih dulu, umumnya orang-orang nekat – berani berkelana jauh mengarungi samudra. Kelompok nekat ini dikenal sebagai kelompok Kreol petualang yang darahnya sudah kecampuran macam-macam bangsa. Mereka umumnya tak berbudaya dan sulit diterima di kalangan “sopan” Eropa. Bisa dimaklumi kalau mereka cuma kenal “hukum rimba” – siapa kuat, dia berkuasa – dan memanifestasikan kekuasaan dengan pemilikan, termasuk manusia dalam bentuk perbudakan.

Munculnya kelompok “sopan” di Batavia tentunya mengubah total gaya hidup orang-orang Belanda di kota benteng itu. Perbudakan dengan segala manifestasinya segera jadi bahan cemoohan. Iring-iringan budak sebagai pawai kekayaan segera dijuluki rampok partijen atau rombongan garong.

Ejekan itu tak hanya tertuju pada cara pegawai VOC memperlakukan budak, tapi juga sindiran pada sikap korup mereka – semua ‘kan tahu, bagaimana mungkin seorang pegawai bisa punya budak, dan lagi bertatahkan berlian segala. Ejekan kaum liberal sampai ke telinga pemerintah Kerajaan Belanda di Den Haag. Hasilnya: pemerintah pusat itu mengeluarkan peraturan, gubernur jenderal Hindia Belanda tak boleh lagi dari kelompok Kreol yang kampungan itu. Pejabat itu, menurut peraturan yang dikeluarkan tak lama setelah Terusan Suez dibuka, harus datang dari keluarga aristokrat Belanda. Bahkan begitu juga akhirnya pejabat tinggi di bawahnya. Selain itu, gubernur jenderal yang pensiun tidak diperkenankan menetap sebagai blijvers – agar tidak menghimpun kekayaan dengan jalan tak halal.

Tapi apa yang terjadi? Sejumlah gubernur jenderal – yang aristokrat itu – tetap saja korup dan kaya raya. Dan setelah pensiun tak bersedia pulang: lebih suka menjadi “raja kecil” pemilik perkebunan maha luas. Izinnya? “Bisa diatur” – dengan berbagai cara, antara lain menyogok atau kawin dengan anak pejabat tinggi di Negeri Belanda. Sejumlah nama bekas gubernur jenderal yang tercatat sebagai blijvers: Van der Parra, Senn van Bassel, Van Riemsdijk, dan De Klerck.

Dan yang mengejutkan, para aristokrat itu, setelah menetap lama di kawasan jajahan, tiba-tiba “mengkreol” kembali. Bahkan yang mengaku penganut liberalisme masih saja mereka mempraktekkan perbudakan. Kendati mereka sudah meninggalkan kebiasaan pergi ke gereja dengan “rombongan garong”, misalnya, rumah mereka masih saja penuh jongos, babu, dan bon (tukang kebon) yang diperlakukan tak jauh dari budak.

Untuk mendapatkan “TKW” dan “TKI” itu, kendati tak melalui transaksi jual beli resmi, orang harus melibatkan diri dalam praktek calo pencari tenaga kerja yang bermotif semata-mata “untung besar dan mudah” – kendati itu berarti tipuan – dan kemudian beroleh hak memperbudak. Memang, kerakusan adalah impuls manusia yang sulit dijinakkan bila sekali “dibudayakan”.

Munculnya kelompok liberal di Batavia, yang konon antiperbudakan, nyatanya tak mengubah apa pun. Peraturan yang mereka buahkan paling jauh membuat praktek pemerasan berkelit dan makin pintar. Kelompok liberal itu pun barangkali pura-pura saja tidak tahu bukankah mereka sendiri terlibat. Bahkan para sastrawan masa penjajahan, yang mengaku humanis, mencatatnya sebagai kenyataan yang wajar.

Newer Post Older Post Home

Tokoh Islami "HABIB ABDURRAHMAN BIN ZEIN BIN ALI BIN AHMAD AL JUFRY"

http://massandry.blogspot.com Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahand...

Blogger Template by Blogcrowds