Bacaan Ringan "BABAD TANAH JAWI - PART 2"
http://massandry.blogspot.com
Kasus buku Babad Tanah Jawi ini juga kami samakan dengan naskah wangsakerta yang diklaim Penulisnya adalah Pangeran Wangsakertaa. Padahal Pangeran Wangsakerta adalah Keturunan Cirebon dan merupakan sosok yang sangat membenci Belanda, namun kenapa ada Sejarawan belanda senang ?
Beberapa “sejarawan” belanda seperti De Graff “sangat percaya” dengan isi buku babad tanah Jawa terutama sejak masa Pajang sampai pada masa abad ke 18. Walaupun demikian menurut kami apa yang dipercayai De Graff ini juga patut dikritisi, Benarkah pada era tersebut itu semua data yang ada pada buku ini bisa mentah-mentah kita percayai ? Disamping itu tokoh sejarah lain yang juga tidak kalah tertariknya dengan buku ini adalah Meinsma, bahkan pada tahun 1874 Masehi, Meinsma menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.”
Perhatikan, siapa saja yang tertarik dan “semangat” mensosialisasikan buku Babad Tanah Jawa ini:
Dr. De Graff Dan Dr. Piageud (mereka yang menulis sejarah kerajaan Islam di Jawa, isi dari buku ini sebagian kami mendapati hal-hal yang janggal terutama penulisan beberapa nasab yang campur aduk)
Meinsma
Dr WL Olthop
Mereka adalah sejarawan yang berasal dari dari fihak kolonial penjajah, dan menjadi sebuah pertanyaan besar, kenapa mereka ini sangat “semangat” sekali mengsosialisasikan buku yang satu itu. Kami bukan berarti tidak memakai buku yang ditulis De Graff misalnya, namun memang jika kami amati ketika dia sudah masuk pada penulisan silsilah ataupun nasab, seringkali kami mendapati satu dengan yang lainnya saling bertentangan.
Buku ini menurut kami bukan saja menyimpang tapi buku ini jelas sangat merusak pemahaman sejarah dan nasab leluhur kita, terutama keluarga besar Walisongo. Yang juga menjadi perhatian kami, kenapa ketika berbicara masalah Nasab atau silsilah tokoh-tokoh Islam, kebanyakan buku Babad Tanah Jawi banyak terdapat penyimpangan, dan menurut kami bukan tidak mungkin bahwa ini adalah faktor kesengajaan. Karena sepengalaman kami, jika sejarah sudah salah menulis silsilah atau nasab seorang tokoh, akan biaslah sejarah kedepannya, khususnya yang bersangkutan dengan tokoh tersebut. Satu satu saja diselewengkan maka akan “bablaslah” ke depannya, sekalipun faktor silsilah atau nasab ini sering dianggap kecill dan sepele, namun kalau saja kita mau kritis, maka kita akan melihat betapa besar akibat dari adanya kesalahan sebuah penulisan sejarah jika dilihat dari silsilah dan nasab.
Akademisi dan intelektual yang berani mengambil sumber dari buku ini sebagai bagian penting (bukan sebagai pembanding) kebanyakan karyanya kurang begitu diakui oleh sebagian sejarawan. Salah satu korbannya adalah Prof. Dr. Slamet Mulyana, dia pada tahun 1968 menulis sebuah buku yang berjudul Runtuhnya Kerajaan Majapahit dan Timbulnya Kerajaan Islam di Nusantara. Slamet Mulyana, disamping menggunakan “naskah Resident Poortman’ (naskah fiktif yang tidak pernah ada), dia juga menggunakan rujukan dari buku Babad Tanah Jawa, sehingga akhirnya karyanya ini kurang mendapat pengakuan dari sejarawan UGM dan juga UI.