Bacaan Ringan "SEJARAH KISAH PERBUDAKAN DI BATAVIA - PART 6"
http://massandry.blogspot.com
Bandar internasional ini semakin berkembang. Orang Belanda menyebutnya “ratu di Timur”, de Koningin van het Oosten. Benteng yang merupakan kota tertutup akhirnya berkembang biak karena kemauan perdagangan yang pesat. Pada awal pertumbuhan kota ini, dagh register menyebutkan perihal berbagai kerusuhan yang ada di pinggiran kota. Catatan harian itu menyebutkan, perusuh-perusuhnya adalah perampok. Padahal, dalam kisah-kisah rakyat Jakarta terungkap, para “perampok” itu tak lain sebetulnya pengikut Pangeran Jayakarta. Juga pasukan Sultan Agung dari Mataram.
Kedua kekuatan lain itu semakin cemas melihat Belanda menjejakkan kakinya semakin kuat di Batavia. Rasa tidak aman, sejalan dengan berkembangnya kekuasaan VOC hampir 200 tahun, membuat Batavia mendapat bentuk baru: kota benteng dengan denah menyerupai Kota Amsterdam. Tijgersgracht (kini sekitar Jalan Lada, Jakarta Kota) merupakan kawasan permukiman elite.
Waktu itu – awal abad ke-17 telah berdiri sekitar 150 rumah tinggal dengan berbagai ukuran dan semuanya cukup mewah. Semuanya berderet melebar ke selatan, tapi tetap mencoba sedekat mungkin dengan benteng VOC. Di Tijgersgracht ini bermukim para pegawai tinggi (compagnie notabelen) VOC seperti heeren de seventien, para direktur pemegang kebijaksanaan dagang dan para opperkoopman. Rumah-rumah dibangun di sepanjang terusan (gracht) dengan lindungan pohon kenari yang rimbun. Cukup asri. Lebih-lebih di malam hari ketika cahaya lampu kandelier (lampu karbit) memantul ke air kanal yang dipenuhi perahu-perahu yang didayung oleh anak-anak muda memainkan musik. Sedangkan di pinggir gracht, duduk tuan-tuan pembesar VOC mengisap pipa dan gelas anggur di sandingnya.
Para penulis cerita roman selalu menyamakan Batavia waktu itu dengan Venesia di Italia atau Canal Grande yang penuh dengan gondola-gondola, itu perahu tradisional Italia. Tetapi perbudakan tetap jadi sisi gelap kemeriahan kota ala Venesia itu. Kekejaman perlakuan terhadap para budak masih saja terjadi meski sering kali pelakunya harus maju ke pengadilan kalau ada budak yang mati karena disiksa.
Dagh register 26 Oktober 1675 telah menulis tentang seorang budak perempuan yang meninggal. Pemiliknya, vrije borger Abraham Kampenar, harus memikul biaya penggalian kembali kubur budak tersebut untuk mengetahui sebab-sebab kematian. Seorang nyonya, Anna Appolonia Jens, harus berurusan dengan pihak kejaksaan karena telah menyiksa budaknya sampai mati. Pengadilan akhirnya menjatuhkan hukuman penjara 25 tahun karena terbukti, nyonya laknat itu memang yang menyiksa. Tak disebutkan jenis siksaannya, tapi Nyonya Jeins ini cukup beruntung karena sebelum hukumannya habis, pemerintah Inggris menguasai Pulau Jawa (1812). Dan dia dibebaskan.
Nasib budak sudah mulai diperhatikan pada tanggal 7 Agustus 1744 ketika nomor perdana koran Bataviasche Nouvelle terbit. Berbagai kejadian tak bisa lagi ditutup-tutupi. Ada berita tentang datang perginya kapal-kapal, berita tentang mutasi, naik pangkat pejabat-pejabat VOC, perkawinan, kelahiran dan kematian keluarga VOC. Ada juga iklan penjualan perabot rumah tangga dan kapal pesiar. Tak ketinggalan perihal budak-budak. Tak jarang, kritik-kritik sosial juga tercantum di situ. Ketajaman pena Bataviasche Nouvelle membuat risi kaum pejabat. Ini berarti wibawa VOC berada dalam bahaya.
Tahun berikutnya, setelah 10 bulan terbit, Bataviasche Nouvelle dibreidel. Dan siapa pemilik-pemilik budak itu? Tentu saja, pejabat-pejabat tinggi VOC yang jumlahnya sekitar 90 orang. Antara lain Raad Ordinair Peter Chasse (memiliki 167 budak), Van Hoessen (138 budak), Riemsdijk (110 budak). Padahal, ketika benteng Batavia didirikan, jumlah budak cuma 281 orang. Jumlah ini dianggap generasi pertama budak-budak, masih milik pemerintah. Kalangan perorangan waktu itu belum ada yang memiliki budak.
Tahun 1798, VOC dinyatakan bangkrut. Utangnya menumpuk, sementara pejabat-pejabat menjadi kaya raya. Ini, sekali lagi bukti korupnya para pejabat VOC. Coba lihat, gaji pejabat VOC sebetulnya kecil. Misalnya seorang Raad Ordinair – yang mempunyai wewenang besar untuk menentukan kebijaksanaan dagang – mendapat hanya 110 real ditambah uang representasi 20 real setiap bulan. Tapi pejabat ini nyatanya bisa memiliki rumah yang besar, kereta, dan sejumlah budak. Ongkos makan budak selama dipelihara memang cuma 15 real setahun – gila. Tapi harga pasaran budak sekitar 100 real seorang. VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang semula bernama de Generale Nederlandsche Geortrovide Oost Indische Compagnie dengan kondisi korupsi semacam itu tidak sanggup bersaing dengan armada laut (yang juga berdagang) dari kerajaan Inggris.
________
Sinarmentaripagihari.wordpress.com