Bacaan Ringan "SEJARAH KISAH PERBUDAKAN DI BATAVIA - PART 7"
http://massandry.blogspot.com
Ketika Pulau Jawa dikuasai Inggris dan Letnan Gubernur Stamford Raffles berkuasa, serangkaian pembaruan dilakukan. Juga masalah perbudakan. Tindakan pertama yang dilakukannya, pendaftaran budak-budak. Daftar itu hingga kini tersimpan rapi di Arsip Nasional Jakarta. Sesudah jumlah dan pemilik budak terdaftar, Raffles melakukan tindakan kedua. Pemilik budak dikenai pajak, satu real untuk setiap budak yang berusia di atas delapan tahun.
Berdasarkan hasil pencacahan, diketahui bahwa jumlah budak di Batavia dan seputarnya ada 18.475 orang. Jumlah sesungguhnya diduga lebih besar karena rupanya para pemilik budak cenderung memperkecil jumlah budak yang dimilikinya untuk mengelabui pajak. Sebagai perbandingan, jumlah penduduk di Batavia waktu itu hanya 47.048 orang. Setiap budak juga menurut aturan Raffles harus mempunyai sertifikat budak untuk memudahkan pemungutan pajak.
Budak-budak yang tidak memiliki sertifikat harus dibebaskan. Tindakan Raffles tentang perbudakan yang ketiga ialah dikeluarkannya Maklumat No. 59, tanggal 15 Mei, 1812. Yaitu melarang pemasukan budak-budak ke Pulau Jawa sejak tahun 1813.
Daftar budak hasil pencacahan jiwa ini bukan sekadar angka-angka. Di balik angka-angka itu tersirat gambaran kehidupan sosial masyarakat jajahan masa itu. Bukan hanya siapa pemilik-pemilik budak atau asal etnis budak-budak itu. Tapi diketahui juga preferensi atas komoditi budak ini di pasaran. Ternyata, harga budak perempuan lebih tinggi. Dalam History of Java, Raffles mencatat harga budak perempuan lebih tinggi 50-100 real. Budak perempuan ini lebih disenangi ketimbang budak lakilaki. Budak laki-laki yang berasal dari Sulawesi dan Bali kurang disenangi karena mereka terkenal sebagai pengamuk (ingat, budak Untung Surapati yang diangkat anak kemudian memberontak berasal dari Bali). Tetapi perempuan berasal dari Sulawesi dan Bali sangat digemari untuk kemudian bisa dijadikan selir atau istri peliharaan.
Tak ada catatan-budak yang berasal dari etnis Jawa atau Sunda. Rupanya, permusuhan VOC dengan kedua suku bangsa yang melancarkan serangan-serangan membuatnya tak mampu mendapatkan budak dari Pulau Jawa.
Pemilik budak lainnya ialah orang Cina, pemilik budak terbesar sesudah Belanda, kemudian orang Arab. Budak yang dimiliki majikan Cina umumnya tak ada yang bisa bertahan sampai usia 40 tahun. Kondisi tempat tinggal dan lingkungan kerja mereka – kebun tebu di hulu Ciliwung, pabrik penyulingan arak begitu buruk sehingga budak-budak mati lebih cepat. Orang Cina yang memiliki budak perempuan kemudian ada yang menjadikannya selir. Pada beberapa keluarga Cina lainnya, budak-budak ini diajar pula menari atau bermain wayang (sandiwara Cina). Mempunyai sejumlah budak yang pandai sesuatu merupakan lambang kekayaan dan status sosial yang tinggi. Beberapa keluarga kaya – tercatat dengan nama marga Gouw, Oey, dan Tan – mempunyai budak sampai di atas 15 orang. Jumlah budak di kalangan Cina tak pernah melebihi 40 orang.
Rencana Raffles menghapuskan perbudakan tidak semulus cita-citanya. Dia harus berhadapan dengan oligarki masyarakat kolonial yang selama dua abad lebih membentuk corak masyarakatnya sendiri. Para pemilik budak adalah keluarga terkemuka yang menguasai jaringan pemerintah “orde lama” Kompeni yang masih bermukim di Batavia, dan tetap berperan dalam semua kegiatan perekonomian. Raffles, buntutnya, menyerah. Gebrakan penarikan pajak budak, yang semula dimaksud untuk membatasi pemilikan budak, cuma hangat-hangat tahi ayam belaka.
Selain itu Raffles juga menghadapi tantangan dari raja-raja di luar Jawa yang puluhan tahun telah menyuplai budak ke Batavia. Hingga tak jarang, armada laut Inggris harus berhadapan dan adu senjata dengan pelaut-pelaut Bugis, Sawu, atau lainnya.
Ada sebuah cerita. Alexander Hare, sahabat Raffles, memiliki perkebunan yang cukup luas di Banjarmasin. Dia memerlukan sejumlah tenaga perkebunan. Secara diam-diam, Raffles menyetujui rencana Hare untuk mendeportasikan 5.000 orang Jawa Tengah. Alasan resminya: orang-orang yang dibanjarmasinkan ini penjahat dan gelandangan yang membahayakan ketertiban umum. Tapi kebijaksanaan pilih kasih ini akhirnya tercium juga. Pemerintah Inggris akhirnya tahu, ini perbudakan terselubung. Berbagai protes muncul, dan Wong Jowo, yang sudah sampai di Kalimantan, akhirnya dikembalikan lagi pada 1816. Alexander Hare diusir dan izin pemilikan tanahnya dicabut.
Setahun sebelum Raffles harus angkat kaki, barangkali membayar rasa berdosanya pada orang Jawa, ia sempat mendirikan suatu perhimpunan kemanusiaan yang bernama Java Benevolent Institution. Tujuan institusi ini ialah menghapus adanya perbudakan dan mencoba mengangkat derajat budak-budak itu sebagai warga bebas yang bermartabat.
Institusi ini kemudian mengganti nama menjadi Javaansche Menslievend Genootschap – dengan tujuan kemanusiaan – ketika gerakan menentang perbudakan sedang melanda Negeri Belanda. Berkat kelompok antiperbudakan dalam institusi inilah peraturan umum mengenai perbudakan dirancang baru dirancang saja – pada tahun 1825. Lumayan, ketimbang tidak pernah ada yang memperjuangkannya sama sekali.
Ada sebuah cerita. Alexander Hare, sahabat Raffles, memiliki perkebunan yang cukup luas di Banjarmasin. Dia memerlukan sejumlah tenaga perkebunan. Secara diam-diam, Raffles menyetujui rencana Hare untuk mendeportasikan 5.000 orang Jawa Tengah. Alasan resminya: orang-orang yang dibanjarmasinkan ini penjahat dan gelandangan yang membahayakan ketertiban umum. Tapi kebijaksanaan pilih kasih ini akhirnya tercium juga. Pemerintah Inggris akhirnya tahu, ini perbudakan terselubung. Berbagai protes muncul, dan Wong Jowo, yang sudah sampai di Kalimantan, akhirnya dikembalikan lagi pada 1816. Alexander Hare diusir dan izin pemilikan tanahnya dicabut.
Setahun sebelum Raffles harus angkat kaki, barangkali membayar rasa berdosanya pada orang Jawa, ia sempat mendirikan suatu perhimpunan kemanusiaan yang bernama Java Benevolent Institution. Tujuan institusi ini ialah menghapus adanya perbudakan dan mencoba mengangkat derajat budak-budak itu sebagai warga bebas yang bermartabat.
Institusi ini kemudian mengganti nama menjadi Javaansche Menslievend Genootschap – dengan tujuan kemanusiaan – ketika gerakan menentang perbudakan sedang melanda Negeri Belanda. Berkat kelompok antiperbudakan dalam institusi inilah peraturan umum mengenai perbudakan dirancang baru dirancang saja – pada tahun 1825. Lumayan, ketimbang tidak pernah ada yang memperjuangkannya sama sekali.