Bacaan Perang "JALAN PANJANG KISAHPEMBANTAIAN RAWAGEDE 1947 - PART 1"
http://massandry.blogspot.com
KAPTEN Lukas Kustarjo alias “Begundal Karawang” kepalanya dihargai 10 ribu gulden oleh Belanda. Kustarjo dan pasukannya yang dicari-cari Belanda itu menjadikan Desa Rawagede (sekarang Desa Balongsari Kecamatan Rawamerta) sebagai basis gerilya. Seperti gaya hit and run, dari desa itu dia menyusup ke kota Karawang di malam hari untuk melakukan penyergapan pasukan Belanda dan langsung menghilang usai menjalankan aksinya. Entah berapa banyak pos Belanda yang diserang olehnya, yang pasti membuat Belanda geram dan bernafsu menangkapnya: hidup atau mati.
“Desa Rawagede sangat strategis,” tulis Her Suganda dalam Rengasdengklok, Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945. Desa Rawagede berada di tengah segi tiga konsentrasi tentara Belanda yang bermarkas di Karawang, Cikampek, dan Rengasdengklok. Sejak lama, tentara Belanda mengincar desa tersebut karena pusat pemerintahan kecamatan yang dipimpin oleh Camat Ili Wangsadidjaja itu menjadi markas gabungan pejuang Republikein seperti Satuan Pemberontakan 88 (SP 88) dan sisa-sisa Tentara Republik Indonesai (TRI) yang tidak ikut hijrah ke Jawa Tengah.
“SP 88 memusatkan diri untuk perang psikologis atau perang pemikiran,” tulis Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949. Intimidasi adalah modal utama psywar dan SP 88 menyebarkan poster-poster: “Barang siapa berani bekerja untuk Belanda adalah pengkhianat. Semua pengkhianat harus dibunuh. Barang siapa menjadi kakitangan NICA dan lurah-lurah serta wakil pilihan NICA harus dibunuh, demikian juga putra Indonesia yang bertugas dalam ketentaraan dan kepolisian Belanda. Macan Jakarta, Sapu Dunia, alias Halilintar.”
Lukas Kustarjo lahir di Magetan, Jawa Timur, pada 1920. Dia kemudian masuk Pembela Tanah Air (Peta) pada masa pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan bergabung dengan Brigade III/Kian Santang Purwakarta pimpinan Letkol Sidik Brotoatmodjo. Brigade ini terdiri dari empat batalyon menguasai wilayah Purwakarta dan Karawang. Lukas Kustarjo menjadi komandan kompi Batalyon I Sudarsono/kompi Siliwangi –kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi– yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda.
Karawang jadi tempat pelarian para pejuang dari Jakarta yang terdesak oleh Operasi Sergap Sekutu yang dilancarkan sejak 27 Desember 1945. Menurut Cribb, Sekutu memasang barikade di sekeliling kota, menempati bangunan-bangunan publik yang krusial, merampas semua mobil yang dimiliki penduduk sipil, menahan kepolisian Indonesia dan orang-orang Indonesia lain yang dianggap ekstrimis. Pada akhir 1945, sebanyak 743 orang dijebloskan ke penjara dan Jakarta sepenuhnya dalam cengkeraman Sekutu.
Pagi Selasa 9 Desember 1947, tanah becek karena hujan deras semalaman tidak hanya membawa berkah karena musim tanam padi rendeng dimulai tapi juga menjadi pertanda peristiwa berdarah. Penduduk Desa Rawagede dikejutkan oleh rentetan senjata tentara Belanda dari detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen), dipimpin oleh Mayor Alphons J.H. Wijnen. Desa Rawagede dikepung dari arah timur, utara, dan selatan; sebelah barat berbatasan dengan kali Rawagede terlambat diblokir. Setiap rumah didatangi dan pintunya digedor. Warga desa ditanya: “Di mana Lukas Kustarjo?”
Lukas Kustarjo lolos dari maut. Sehari sebelum pembantaian terjadi, dia sempat bermalam di Desa Pasirawi, tetangga Desa Rawagede. Namun nasib malang menghampiri warga desa Rawagede. Gagal temukan Lukas, tentara Belanda mengumpulkan warga desa dalam kelompok kecil antara 10-30 orang. Di bawah todongan moncong bedil, mereka dipaksa untuk mengatakan posisi Lukas Kustarjo. Tapi tak seorang pun membuka mulut. Hilang kesabaran, tentara Belanda pun membantai habis mereka.
Salah seorang korban selamat, Saih bin Sakam menuturkan kisahnya kepada Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Saat kejadian, dia bersama ayah dan tetangganya, sekitar duapuluh orang laki-laki diperintahkan berdiri berjejer lalu diberondong senapan. Saih kena tembakan di tangan, menjatuhkan diri pura-pura mati. Ketika tentara Belanda pergi, dia melarikan diri.
“Kami semua dibantai,” kata Surya, seorang saksi hidup lainnya seperti dikutip Her Suganda. Surya berhasil melarikan diri dengan sebutir peluru bersarang di pinggulnya. Karena ingin selamat, dia mengabaikan rasa sakit dan terus berlari. Untuk membuktikan kebenciannya kepada Belanda, namanya ditambahi Suhanda, akronim dari Surya “musuh Belanda”.
Berapa korban pembantaian Rawagede? Beberapa sumber menyebut angka berbeda. Menurut laporan setebal 201 halaman yang dibuat sejarawan Belanda, Jan Bank di bawah supervisi komisi antardepartemen Pertahanan, Dalam Negeri, Kehakiman, Luar Negeri, Pendidikan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda, berjudul De Excessennota (1995), tentara Belanda mengeksekusi sekitar 20 orang. Dan jumlah korban tewas selama operasi berlangsung 150 jiwa. Sementara pada peringatan di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga, jumlah korban tewas sebanyak 431 jiwa.
Harm Scholtens, seorang sejarawan Belanda menemukan angka lain dari arsip het Hooggerechtshof (Pengadilan Tinggi) di Batavia, yaitu antara 100 hingga 120 jiwa. Tentara Belanda mengeksekusi sebanyak delapan atau sembilan kali dengan cara membariskan sejajar penduduk yang akan dieksekusi. Setiap jejeran terdiri dari duabelas orang. Di luar desa, mereka juga masih menembak mati sekitar tujuh atau sepuluh orang penduduk.
“Arsip dokumen tersebut juga memuat informasi bahwa komandan kompi tentara Belanda tidak lupa menekankan, agar jangan mengeksekusi orang yang tidak bersalah, semua orang yang dieksekusi berambut panjang dan telapak tangan serta kaki mereka tidak kapalan. Selain itu, mereka membawa surat-surat yang bersangkut-paut dengan Hizbullah atau organisasi semacamnya,” tulis Radio Nederland Wereldomroep, 8 September 2011.
Menurut sumber koran Berita Indonesia yang dikutip Nieuwsgier, 16 Desember 1947, menyebutkan bahwa korban operasi Belanda selama empat hari itu sebanyak 312 orang dan melukai sekitar 200 orang. Sejak lima tahun terakhir keluarga korban peristiwa Rawagede gigih menuntut Belanda.
Credit to Hendri F Isnaeni