Bacaan Ringan "SEJARAH PERJALANAN PERMAINAN TOPENG MONYET DI INDONESIA"
http://massandry.blogspot.com
TEK… dur… tek… dur… tek… dur… Suara tambur mengalun, pertanda atraksi topeng monyet dimulai. Anak-anak dan dewasa berkumpul mengeliling para pemain. “Sarimin pergi ke pasar,” perintah sang dalang. Dia lalu memberikan tas dan payung kecil kepada seekor monyet berekor panjang (macaca fascicularis). Sang monyet pun berjalan berkeliling sejauh tali yang mengikat lehernya. Sang dalang kemudian memberikan peralatan lain: motor-motoran, kuda-kudaan, dan dorong-dorongan seperti gerobak dorong, tentu semuanya berukuran kecil.
Bagaimana melacak topeng monyet? Y.W. Mangunwijaya dalam Rara Mendut: Sebuah Trilogi menyebut topeng monyet sebagai kethek ogleng: monyet yang serba bergerak tak seimbang, kikuk, dan lucu; dimanfaatkan untuk ngamen dalam pertunjukan topeng monyet. Mangunwijaya agaknya keliru sebab kethek ogleng, sebagai salah satu cerita rakyat (folklore) dalam kisah Panji dari Jawa, kemudian menjadi dongeng anak-anak dan sendratari tradisional Tari Kethek Ogleng.
Menurut Matthew Isaac Cohen, “Multiculturalism and Performance in Colonial Cirebon,” dalam The Indonesian Town Revisited karya Peter J.M. Nas, pertunjukan yang menampilkan monyet dan anjing direproduksi di Indonesia. Di Jakarta dikenal dengan nama “topeng monyet” dan tempat lain di Jawa sebagai ledhek kethek. Miniatur sirkus ini merupakan salah satu hiburan mengamen paling umum di pasar, jalan-jalan pedesaan, dan perkotaan di seluruh barat Indonesia. Pertunjukan akrobatik ini menjadi umum pada awal 1890-an.
Dalam hasil riset postdoktoralnya di International Institute for Asian Studies (IIAS) Ohio University, mengenai Komedi Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891–1903, Cohen menjelaskan bahwa atraksi monyet dan anjing terkait dengan perkembangan seni pertunjukan komersial di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Selain pertunjukan komersial berskala besar seperti sirkus, kelompok akrobatik Jepang, operet, dan burlesque (pertunjukan drama atau musik yang bertujuan membuat tertawa), ada juga hiburan berskala kecil: panggung pesulap Eropa, India dan Cina; balloonists (orang yang mengoperasikan wahana balon terbang), pertunjukan anjing dan monyet, serta seniman boneka.
Hindia Belanda terkenal dengan keragaman seni pertunjukan tradisional. Banyak bentuk seni rumit yang ditampilkan orang Jawa, Bali, Madura, dan etnis lain dari kepulauan bagian barat, seperti wayang kulit yang berakar seribu tahunan atau lebih. Ada berbagai bentuk tari kerasukan yang terkadang dikaitkan dengan perdukunan dan penyembuhan, tari topeng dan teater topeng, tarian rakyat komunal, serta bercerita dengan iringan musik. Prosesi dengan tandu, patung raksasa, musik, dan menari sebagai bagian dari ritus dalam banyak masyarakat Hindia Belanda.
“Rombongan musisi rakyat, penari, aktor, dan hewan mengamen di pasar dan sudut-sudut jalan,” tulis Cohen.
Pertunjukan topeng monyet terutama dinikmati oleh anak-anak, baik pribumi maupun Belanda dan Eropa. Hal ini bisa dilihat dari foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam, Belanda. Foto yang bertarikh 1900-1920 ini memperlihatkan seorang dalang Arab dengan dua monyetnya yang dirantai (lihat foto di atas). Ada enam foto pertunjukan topeng monyet lainnya (lihat foto di bawah) diambil antara 1 Januari 1947 sampai 31 Desember 1949 oleh Charles Breijer, anggota de Ondergedoken Camera atau persatuan juru foto Amsterdam yang bekerja sebagai juru kamera di Indonesia dari 1947 sampai 1953. Dia kerap membuat foto kehidupan sehari-hari. Breijer meninggal dunia pada 18 Agustus 2011 di usia 96 tahun.
Hingga 1970-an, topeng monyet menjadi hiburan anak-anak yang populer. Sampai-sampai, penyanyi cilik Adi Bing Slamet menyanyikan lagu berjudul Topeng Monyet. Saking populer, banyak anak yang menginginkan pertunjukan topeng monyet untuk mengisi acara ulang tahun.
Topeng Monyet - Adi Bing Slamet
“Sebagai anak pada awal tahun 1970-an, saya ingin topeng monyet untuk ulang tahun saya, orangtua saya awalnya menentang, tetapi saya memohon dan mereka akhirnya menurut,” tulis Dyah Suharto, The Jakarta Post, 8 Mei 2008. “Monyet yang akhirnya datang ke rumah saya bernama Sarimin.”
Di balik atraksinya yang lucu, Sarimin memendam rasa sakit. Karena itu, pada 15 September lalu, aktivis Jakarta Animal Aid Network (JAAN) berunjuk rasa di kantor Gubernur DKI Jakarta, menuntut pemerintah daerah melarang topeng monyet. Selain karena menyiksa, monyet membawa banyak jenis virus seperti hasil penelitian Lisa Jones Engel dan kawan-kawan dari Pusat Penelitian Primata Universitas Washington, Amerika Serikat terhadap sampel darah 20 monyet di Jakarta. Hasil penelitiannya, yang dimuat di jurnal Tropical Medicine and International Health edisi 8 Desember 2005, antara lain menunjukkan monyet positif membawa virus herpes B (CHV-1) dan simian T-cell lymphotropic virus (STLV) –leluhur Human T-lymphotropic virus (HTLV), penyebab penyakit leukemia (kanker darah). Belajar dari banyak penelitian di kawasan Afrika, tim peneliti juga mencurigai kemungkinan monyet menjadi perantara HIV, penyebab AIDS pada manusia.
Sumber:
Hendri F Isnaeni (Majalah Historia)
http://collectie.tropenmuseum.nl
http://www.geheugenvannederland.nl
Youtube.com